Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum adalah:
Diatur dalam Pasal 1365 BW/KUH Perdata yakni:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.[1]
Pengertian Perbuatan Melawan Hukum di Indonesia diterjemahkan dari istilah Belanda yaitu “Onrechtmatige daad”. Menurut M.A. Moegni Djojodirdjo, dalam istilah “melawan” melekat sifat aktif dan pasif, sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga Nampak dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “melawan” tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja atau dengan lain perkataan apabila ia dengan sikap pasif saja sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya.[2]
Pada tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan melawan hukum secara luas. Ajaran luas tersebut ditandai dengan Arrest tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen dimana dipelopori oleh Pengadilan Tertinggi Belanda (Putusan Hoge Raad), termuat dalam majalah “Nederlandsche Jurisprudentie” 1919-101, istilah “Onrechtmatige daad” ditafsirkan secara luas, sehingga meliputi juga suatu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat. Adapun Hoge Raad berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar:
- Hak subyektif orang lain.
- Kewajiban hukum pelaku.
- Kaedah kesusilaan.
- Kepatutan dalam masyarakat.[3]
Lindenbaum melawan Cohen
Peristiwa yang menjadi perkara pada waktu itu adalah ada dua kantor percetakan buku-buku, yang satu dari seorang bernama Cohen, yang lain dari seorang bernama Lindenbaum. Dua kantor percetakan ini bersaingan hebat satu sama lain. Pada suatu hari seorang pegawai dari Lindenbaum dibujuk oleh Cohen dengan macam-macam pemberian hadiah dan kesanggupan, supaya memberitahukan kepada Cohen turunan dari penawaran-penawaran yang dilakukan oleh Lindenbaum kepada khalayak dan memberitahukan pula nama-nama dari orang-orang yang melakukan pesanan di kantor Lindenbaum atau yang minta keterangan harga-harga cetak.
Dengan tindakan ini, Cohen tentunya bermaksud akan mempergunakan hal-hal yang ia dapat tahu itu, untuk menetapkan suatu siasat agar supaya khalayak lebih suka pergi ke kantornya daripada ke kantor Lindenbaum.
Kemudian tindakan Cohen ini diketahui oleh Lindenbaum, yang merasa dirugikan oleh Cohen, dan maka itu menggugat Cohen di muka pengadilan, yaitu Arrondissementrechtbank di Amsterdam. Lindenbaum menamakan tindakan Cohen itu adalah suatu perbuatan melanggar hukum dari pasal 1401 BW Belanda (sama dengan Pasal 1365 BW Indonesia) dan minta ganti kerugian.
Dalam pemeriksaan perkara tingkatan kesatu Cohen dikalahkan, tetapi dalam pemeriksaan perkara tingkatan bandingan Gerechtschof di Amsterdam, Lindenbaum dikalahkan, berdasarkan atas jurisprudensi yang dulu-dulu diturut, yaitu bahwa tindakan Cohen tidak dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Oleh karena tidak dapat ditunjuk suatu pasal dari undang-undang yang telah dilanggar oleh Cohen.
Lindenbaum mohon pemeriksaan kasasi dan pada akhirnya Hoge Raad memenangkan Lindenbaum, dengan menyatakan bahwa dalam Pengertian perbuatan melanggar hukum dari pasal 1401 BW Belanda itu, termasuk suatu perbuatan yang memperkosa suatu hak hukum orang lain, atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) atau dengan suatu keputusan dalam masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain (“indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders person of goed”).[4]
Sejak Arrest 1919 peradilan selalu menafsirkan pengertian “melawan hukum” dalam arti luas. Pengikut penafsiran sempit khawatir bahwa penafsiran luas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pendapat-pendapat modern memang meletakkan beban berat bagi hakim dengan menuntut yang lebih berat daripada ajaran lama. Hal ini tidak hanya berlaku untuk perbuatan melawan hukum tetapi untuk seluruh bidang hukum. Hukum semakin banyak menyerahkan pembentukannya kepada hakim dan perundang-undangan modern juga mendukung hal tersebut.
Perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah:
- Melanggar hak subyektif orang lain;
- Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;
- Bertentangan dengan kaedah kesusilaan;
- Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan orang lain;[5]
Contoh kasus di Indonesia:
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menganut ajaran luas terdapat dalam Putusan MA No. 3191 K/Pdt./1984 antara Masudiati melawan I Gusti Lanang Rejeg dimana Masudiati sebagai Penggugat merasa dibohongi oleh I Gusti Lanang Rejeg selaku Tergugat. Tergugat berjanji bahwa dalam waktu 4 (empat) bulan Penggugat akan dinikahi secara adat maupun agama maka Penggugat rela dibawa lari kawin oleh Tergugat. Ternyata walaupun Penggugat telah mendesak untuk menikah, Tergugat tidak juga mau menikah hingga berlangsung sampai 1 tahun 4 bulan. Selama hidup Bersama itu penggugatlah yang menaggung biaya rumah tangga. Penggugat bekerja sebagai guru. Karena tidak kunjung dinikahi secara sah maka penggugat kemudian menuntut kerugian yang telah dikeluarkan selama hidup Bersama. Mahkamah Agung memutuskan mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan pertimbangan bahwa tergugat telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri penggugat. Dengan mendasarkan pada norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat yang merupakan hukum tidak tertulis maka dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Indonesia telah menganut penafsiran luas mengenai Perbuatan Melawan Hukum.[6]
Untuk mengetahui lebih detail silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada.
Sumber:
- Wirjono Prodjodikoro, 2000, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, CV. Mandar Maju, Bandung.
- Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan I, Program Parcasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
- Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2007, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
[1] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2007, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 346.
[2] Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan I, Program Parcasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 36.
[3] Ibid., h. 37.
[4] Wirjono Prodjodikoro, 2000, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 8.
[5] Rosa Agustina, Op.Cit., h. 38.
[6] Rosa Agustina, Ibid., h. 43.
Dharma Na Gara
Latest Posts
Hak Tersangka dan Terdakwa
Hak Tersangka dan Terdakwa KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 50 KUHAP 1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh...
Rekam Medis
Rekam Medis Dokter yang menjalankan praktek kedokteran wajib membuat suatu catatan yang harus dibuat dengan segera setelah pasien menerima pelayanan....