Peninjauan Kembali Pada Hukum Acara Pidana
Peninjauan Kembali Pada Hukum Acara Pidana
Peninjauan kembali merupakan Upaya hukum luar biasa terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP yakni terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
- Putusan Pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Terhadap putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde) peninjauan kembali dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung. Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, Upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi. Selama upaya hukum biasa masih terbuka, upaya hukum biasa itu dulu yang mesti dilalui. Tahap proses upaya peninjauan kembali adalah tahap proses yang telah melampaui upaya hukum biasa.
b. Dapat diajukan terhadap semua putusan Pengadilan
Sebagaimana yang sudah ditegaskan, upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya peninjauan kembali dapat diajukan terhadap semua putusan instansi Pengadilan, dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan negeri, asalkan putusan instansi itu telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap putusan Pengadilan Tinggi, dapat diajukan permintaan peninjauan kembali, jika terhadap putusan itu sudah tertutup jalan mengajukan permintaan kasasi, sebab putusan Pengadilan Tinggi yang demikian sudah melekat sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sejak itu terbuka kemungkinan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Demikian pula terhadap putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan upaya peninjauan kembali, setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali
Mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali, ditegaskan dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP, yakni:
- Terpidana atau
- Ahli warisnya.
Dari penegasan ketentuan ini, jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali. Sebabnya undang-undang tidak memberi hak kepada penuntut umum karena upaya hukum ini bertujuan untuk melindungi kepentingan terpidana. Untuk kepentingan terpidana undang-undang membuka kemungkinan untuk meninjau kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena itu selayaknya hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Lagipula sisi lain upaya hukum luar biasa ini yakni pada upaya kasasi demi kepentingan hukum, undang-undang telah membuka kesempatan kepada Jaksa Agung untuk membela kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran dan keadilan undang-undang telah membuka upaya hukum bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum. Oleh karena itu, hak mengajukan permintaan peninjuan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan hak mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan undang-undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. Dengan demikian, melalui upaya hukum luar biasa, sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang. Terkait hali ini, Mahkamah Konstitusi memberikan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XXI/2023 yang menyatakan:
- Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan Pasal 30C huruf h dan penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-undang No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 298 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6755) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
- Permintaan Peninjauan Kembali oleh Kuasa
Sebagaimana yang sudah dijelaskan, Pasal 263 ayat 1 hanya memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Apakah ketentuan ini melarang penasihat hukum atau seorang yang dikuasakan terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali? Memang kalau secara ketat berpegang pada ketentuan Pasal 263 ayat 1, undang-undang tidak memberi hak kepada kuasa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Harus langsung terpidana atau ahli waris. Ketentuan yang seperti ini dijumpai dalam Pasal 244 KUHAP. Yang menentukan permohonan kasasi hanya dapat dilakukan oleh terdakwa yang bersangkutan, tidak dapat dikuasakan kepada penasihat hukum atau orang lain. Akan tetapi, ketentuan Pasal 244 tersebut diperlunak oleh angka 24 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 2983, tanggal 10 Desember 1983. Oleh angka 24 Lampiran tadi yang merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, telah memperkenankan kuasa mengajukan permohonan kasasi. Cuman ada syaratnya, pemberian kuasa itu harus dibuat terdakwa “secara khusus”. Artinya penunjukan kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi harus dibuat terdakwa dalam surat kuasa yang khusus untuk tujuan permintaan permohonan kasasi.
Bagaimana halnya dalam permohonan peninjauan kembali? Apakah dapat diminta oleh seorang kuasa? Menurut hemat M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, menyatakan “Dapat”! Dasar hukumnya, diterapkan “secara konsisten” pedoman yang terdapat pada angka 24 Lampiran Menteri kehakiman tersebut. Alasan penerapan pedoman petunjuk yang terdapat pada angka 24 ini ke dalam proses permohonan peninjauan kembali, didasarkan pada motivasi yang terkandung dalam pedoman itu sendiri. Motivasi memperbolehkan seorang kuasa mengajukan permintaan kasasi, tiada lain demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terdakwa. Kalau begitu dengan motivasi yang sama, pedoman petunjuk angka 24 tadi dapat diterapkan dalam permintaan peninjauan kembali, demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terpidana. Bukankah setiap orang berhak menunjuk penasihat hukum atau kuasa yang dapat diharapkan membela kepentingan dan melindungi hak asasi!
- Alasan Peninjauan Kembali
Pasal 263 ayat 2 memuat alasan yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali yang dituangkan pemohon dalam surat permintaan peninjauan kembali. Dalam surat permintaan atau permohonan peninjauan kembali itulah pemohon menyebut secara jelas dasar alasan permintaan.
Memperhatikan ketentuan Pasal 264 ayat 1 dan ayat 4, syarat formal menentukan sahnya permohonan peninjauan kembali ialah surat permintaan peninjauan kembali. Tanpa surat permintaan yang memuat alasan-alasan sebagai dasar, permintaan yang demikian dianggap tidak ada. Pendapat ini di dukung oleh Pasal 264 ayat 2 dan ayat 4 yang menegaskan:
- Ayat 1 kalimat terakhir menegaskan pemohon harus menyebut secara jelas alasan permintaan peninjauan kembali.
- Ayat 4 menegaskan, jika pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjuan kembali, wajib menanyakan alasannya kepada pemohon dan untuk itu panitera membuat surat permintaan peninjauan kembali.
Bertitik tolak dari penegasan di atas, syarat formal permohonan peninjauan kembali ialah adanya surat permintaan yang memuat alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali. Apakah surat permintaan yang memuat alasan itu dibuat sendiri oleh terpidana atau panitera Pengadilan Negeri sesuai dengan Pasal 264 ayat 4, tidak menjadi soal. Yang penting sebagai syarat sahnya permohonan, harus diajukan dalam surat permintaan peninjauan kembali yang menjelaskan alasan-alasan yang mendasari permohonan. Dan alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali, sudah dirinci undang-undang dalam Pasal 263 ayat 2 serta ayat 3 KUHAP. Namun alasan pokok yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali ialah hal-hal yang disebut satu per satu dalam Pasal 263 ayat 2.
a. Apabila Terdapat Keadaan Baru
Alasan pertama yang dapat dijadikan landasan mendasari permintaan peninjauan kembali adalah “keadaan baru” atau novum. Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat”:
- Seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau
- Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan factor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
- Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam Pelbagai Putusan Terdapat Saling Pertentangan
Alasan kedua yang dapat dipergunakan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali, yakni apabila dalam pelbagai putusan terdapat:
- Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
- Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara,
- Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.
c. Apabila Terdapat Kekhilafan yang Nyata dalam Putusan
Alasan ketiga yang dijadikan dasar mengajukan permintaan peninjauan kembali, apabila dalam putusan terdapat dengan jelas ataupun terlihat dengan nyata:
- Kekhilafan hakim, atau
- Kekeliruan hakim.
Hakim sebagai manusia, tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan itu bisa terjadi dalam semua Tingkat Pengadilan.
- Beberapa Asas yang Ditentukan Dalam Upaya Peninjauan Kembali
a. Pidana yang Dijatuhkan Tidak Boleh Melebihi Putusan Semula
Asas ini diatur dalam Pasal 266 ayat 3, yang menegaskan, pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali “tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula”. Mahkamah Agung tidak boleh menjatuhkan putusan yang melebihi putusan pidana semula. Yang diperkenankan adalah menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 266 ayat 2 huruf b angka 4. Prinsip yang diatur dalam Pasal 266 ayat 3 ini sejalan dengan tujuan yang terkandung dalam Lembaga upaya peninjauan kembali, yang bermaksud membuka kesempatan kepada Terpidana untuk membela kepentingan, agar bisa terlepas dari ketidakbenaran penegakan hukum. Oleh karena upaya ini memberi kesempatan untuk membela kepentingannya, tidak patut jika sarana yang memberi peluang untuk melumpuhkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, berbalik menjadi boomerang merugikan diri pemohon. Lain halnya dalam putusan Tingkat banding atau kasasi, dalam proses tersebut putusan belum berkekuatan hukum tetap, sehingga masih diperkenankan menjatuhkan putusan baik yang berupa memberatkan atau meringankan kepada terdakwa.
b. Permintaan Peninjauan Kembali Tidak Menangguhkan Pelaksanaan Putusan
Asas kedua pada upaya peninjauan kembali “tidak mutlak” menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan eksekusi. Peninjauan kembali tidak merupakan alasan yang menghambat apalagi menghapus pelaksanaan putusan. Proses permintaan peninjauan kembali berjalan terus, namun pelaksanaan putusan juga berjalan terus. Apakah ketentuan ini “imperative” atau tidak? Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Beliau berpendapat “tidak imperative” secara kaku! Dapat ditinjau secara kasuistis, tergantung pada keadaan yang meliputi permintaan peninjuan kembali. Masih menurut M. Yahya Harahap, S.H., seandainya berdasar pemeriksaan Pengadilan Negeri, alasan yang diajukan terpidana sedemikan rupa sifat dan kualitasnya, benar-benar diyakini dapat melumpuhkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali, lebih bijaksana untuk menangguhkan pelaksanaan eksekusi. Benar kita mengakui bahwa upaya peninjauan kembali tidak mulus dan mudah, dan seperti dikatakan, dari sekian banyak permintaan, hanya satu dua yang dibenarkan.
Akan tetapi, dalam hal-hal yang eksepsional dapat dilakukan penangguhan atau penghentian pelaksanaan putusan, sehingga ketentuan Pasal 268 ayat 1 dapat sedikit diperlunak: permintaan peninjauan kembali “tidak secara mutlak” menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan. Namun anjuran pelunakan bunyi Pasal 268 ayat 1 jangan disalahgunakan. Sikap serampangan menimbulkan bahaya dan keguncangan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Yang dikehendaki ialah sikap dan kebijaksanaan yang matang dan beralasan serta mengaitkan dengan jenis tindak pidana maupun dengan sifat dan kualitas alasan yang menjadi landasan permintaan peninjauan kembali.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19106 (diakses tanggal 18 Desember 2024 Pukul 7.09AM).
Dharma Na Gara
Latest Posts
Peninjauan Kembali Pada Hukum Acara Pidana
Peninjauan Kembali Pada Hukum Acara Pidana Peninjauan kembali merupakan Upaya hukum luar biasa terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan...
Hak Tersangka dan Terdakwa
Hak Tersangka dan Terdakwa KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 50 KUHAP 1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh...