Hukum dan Keadilan
A. Hukum
Pengertian Hukum
Hukum menurut Soerojo Wignojodipoero dalam buku Pengantar Ilmu Hukum menyatakan bahwa hukum adalah:
Himpunan peraturan perundang-undangan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan, atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur keterlibatan dalam kehidupan.
Satjipto Raharjo menjelaskan hukum adalah karya manusia berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tungkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan hukum adalah kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogianya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya atau seyogianya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman kaidah hukum bersifat umum dan pasif.
J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto menjelaskan hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukuman.
B. Peradilan
Pengertian Peradilan
Peradilan adalah pekerjaan hakim atau badan pengadilan. Hakim dan pengadilan adalah badan yang oleh penguasa dengan tegas dibebani tugas untuk memeriksa pengaduan tentang gangguan hak (hukum) atau memeriksa gugatan dan badan itu memberi putusan hukum.
Kata peradilan terdiri dari kata dasar adil dan mendapat awalan per serta akhiran an berarti segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan. Pengadilan disini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai Pengertian yang abstrak, yaitu hal memberikan keadilan. Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberikan keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan konkretnya kepada yang mohon keadilan, apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya. Dengan kata lain, peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara, baik perkara perdata maupun perkara pidana, untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum material.
Peradilan hukum lebih cenderung menyelesaikan perkara melalui pengadilan sebagai lembaganya sedangkan peradilan keadilan lebih menempuh jalur di luar pengadilan, seperti dengan jalan perdamaian melalui Lembaga arbitrase.
C. Hukum dan Keadilan
Hukum merupakan salah satu institusi untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Para ahli hukum banyak berbeda pendapat dalam merumuskan keadilan.
Keadilan memang dapat dirumuskan secara sederhana sebagai tolak ukur yang dipakai oleh para ahli dalam mendefinisikan keadilan. Rumusan tersebut diantaranya adalah:
- Keadilan dari sudut pandang Hans Kelsen
Keadilan menurutnya adalah suatu tertib sosial tertentu dalam usaha untuk mencari kebenaran yang berkembang dengan subur. Keadilan itu diantaranya adalah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi, keadilan toleransi.
- Herber Spenser
Setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain.
- Justinian
Keadilan adalah kebajikan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang mendapatkan apa yang merupakan bagiannya.
- Ulpianus
Keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya (Justitia est constans et perpetua voluntas ius ssum curique tribuendi)
- Aristoteles
Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Orang harus mengendalikan diri dari Pleonesia yaitu memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dengan merebut apa yang merupakan kepunyaan orang lain, atau menolak apa yang seharusnya diberikan kepada orang lain.
D. Hukum sebagai Pelindung Hak
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak.
Hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi hak juga mengandung unsur kehendak. Apabila seseorang memiliki sebidang tanah, maka hukum memberikan hak kepada dia dalam arti bahwa kepentingan di atas tanah tersebut mendapat perlindungan. Dia bebas berkehendak dengan tanah yang ia miliki tersebut.
Menurut Fitzgerald, ciri-ciri hak yang melekat pada hukum adalah:
- Hak itu dilekatkan kepada seseroang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.
- Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
- Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) suatu perbuatan. Hak ini bisa disebut sebagai isi dari hak.
- Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut sebagai objek dari hak.
- Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.
Pengertian hak juga dipakai dalam arti kekebalan terhadap kekuasaan hukum orang lain. Sebagaimana halnya kekuasaan itu adalah kemampuan untuk mengubah hubungan-hubungan hukum, kekebalan ini merupakan pembebasan dari adanya suatu hubungan hukum yang bisa diubah oleh orang lain. Kekebalan mempunyai kedudukan yang sama dalam hubungan dengan kekuasaan seperti antara kemerdekaan dengan hak dalam arti sempit: kekebalan adalah pembebasan dari kekuasaan orang lain, sedangkan kemerdekaan merupakan pembebasan dari hak orang lain.
Hak-hak dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Hak sempurna dan hak tidak sempurna
Hak yang sempurna adalah yang dapat dilaksanakan melalui hukum seperti kalau perlu melalui pemaksaan oleh hukum. Hak yang tidak sempurna adalah yang diakui oleh hukum, tetapi tidak selalu dilakukan oleh pengadilan, seperti hak yang dibatasi oleh lembaga daluawarsa.
- Hak-hak utama dan tambahan
Hak utama adalah yang diperluas oleh hak-hak lain. Hak tambahan adalah yang melengkapi hak-hak utama, seperti perjanjian sewa menyewa tanah yang memberikan hak tambahan kepada hak utama dari pemilik tanah.
- Hak publik dan hak perdata
Hak publik adalah yang ada pada masyarakat umumnya, yaitu negara. Hak perdata adalah yang ada pada perorangan, seperti hak seseorang untuk menikmati barang yang dimilikinya.
- Hak-hak positif dan negatif
Hak positif menuntut dilakukan perbuatan-perbuatan positif dari pihak tempat kewajiban korelatifnya berada, seperti hak menerima keuntungan pribadi.
- Hak-hak milik dan pribadi
Hak-hak milik berhubungan dengan barang-barang yang dimiliki oleh seseorang yang biasanya bisa dialihkan. Hak-hak pribadi berhubungan dengan kedudukan seseorang yang tidak pernah bisa dialihkan.
E. Kewajiban
Antara hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat erat. Kewajiban merupakan hal mutlak dibutuhkan seseorang yang ingin haknya terpenuhi. Seseorang dapat menuntut haknya apabila ia telah menyelesaikan kewajibannya.
Curzon mengelompokkan kewajiban ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
- Kewajiban-kewajiban yang mutlak dan nisbi
Austin berpendapat bahwa kewajiban yang mutlak adalah yang tidak mempunyai pasangan hak, seperti kewajiban yang tertuju kepada diri senidri, yang diminta oleh masyarakat pada umumnya; yang hanya ditujukan kepada kekuasaan (sovereign) yang membawahinya. Kekuasaan nisbi adalah yang melibatkan hak di lain pihak.
- Kewajiban-kewajiban publik dan perdata
Kewajiban publik adalah yang berkorelasi dengan hak-hak publik, seperti kewajiban untuk mematuhi hukum pidana. Kewajiban perdata adalah korelatif dari hak-hak perdata, seperti kewajiban yang timbul dari perjanjian.
- Kewajiban-kewajiban yang positif dan yang negatif
Kewajiban positif menghendaki dilakukannya perbuatan positif seperti kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembelinya. Kewajiban negatif adalah yang menghendaki agar suatu pihak tidak melakukan sesuatu, seperti kewajiban seseorang untuk tidak melakukan sesuatu yang mengganggu milik tetangganya.
- Kewajiban-kewajiban universal, umum dan khusus
Kewajiban universal ditujukan kepada semua warga negara, seperti yang timbul dari undang-undang. Kewajiban umum ditujukan kepada segolongan orang-orang tertentu, seperti orang asing, orang tua (ayah, ibu). Kewajiban khusus adalah yang timbul dari bidang hukum tertentu, seperti kewajiban dalam hukum perjanjian.
- Kewajiban-kewajiban primer dan yang bersifat memberi sanksi
Kewajiban primer adalah yang tidak timbul dari perbuatan yang melawan hukum, seperti kewajiban seseorang untuk tidak mencemarkan nama baik orang lain yang dalam hal ini tidak timbul dari pelanggaran terhadap kewajiban lain sebelumnya. Kewajiban yang bersifat memberi sanksi adalah yang semata-mata timbul dari perbuatan yang melawan hukum, seperti kewajiban tergugat untuk membayar gugatan pihak lain yang berhasil memenangkan perkara.
F. Tanggung Jawab dalam Pandangan Hukum
Tanggung jawab merupakan hasil yang ditimbulkan dari suatu perbuatan. Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan maka perbuatan itu akan berdampak kepada orang lain, dampak atau akibat itu harus ditanggung oleh orang yang melakukan perbuatan tersebut. Tanggung jawab dituntut karena ada suatu kesalhaan yang dapat merugikan hak dan kepentingan orang lain.
Menurut Roscoe Pound, ada tiga macam jenis tanggung jawab, yaitu:
- Pertanggungjawaban atas perugian dengan disengaja.
- Pertanggungjawaban atas perugian karena kealpaan dan tidak disengaja.
- Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas perugian yang dilakukan tidak karena kelalaian serta tidak disengaja.
Pertanggungjawaban adalah perkara delik, apabila pihak yang dirugikan tidak mengajukan perkara, maka tidak ada tuntutan untuk bertanggung jawab. Pengajuan perkara delik ini dapat ditempuh dengan jalan pengadilan dan dapat juga ditempuh dengan jalan perdamaian dengan penggantian kerugian (kompensasi).
G. Keadilan
- Pengertian Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia, adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah.[1] Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma yang objektif, jadi tidak subjektif apalagi sewenang-wenang. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, kapan seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala di definisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat tersebut. Bagi kebanyakan orang keadilan adalah prinsip umum, bahwa individu-individu tersebut seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima.[2]
Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasikan atau dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasarkan pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan dibenarkan oleh hal lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh Sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dianggap mapan, hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial.[3]
Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di dasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup Bersama. Maka di dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan Bersama (kehidupan sosial). Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.[4]
Rasa keadilan pada pokoknya merupakan buah pekerjaan kerohanian dari seorang manusia. Dan, seorang manusia pada pokoknya bersifat perseroangan atau subjektif. Akan tetapi, dalam hidup kemasyarakatan bertahun-tahun, berwindu-windu, berabad-abad, berzaman-zaman, tiap-tiap anggota masyarakat sudah dengan sendirinya, tanpa pikiran, merasa bahwa hawa nafsu masing-masing pada akhirnya harus dikurangi untuk memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat lain untuk merasakan kenikmatan juga dalam hidup Bersama di dunia ini.
Maka, rasa keadilan tiap-tiap anggota masyarakat, meskipun melekat pada orang perorang, pada umumnya sudah mengandung unsur saling menghargai berbagai kepentingan masing-masing sehingga sudah selayaknya apabila di antara berbagai rasa keadilan dari berbagai oknum anggota masyarakat ada persamaan irama yang memungkinkan persamaan wujud juga dari buah rasa keadilan itu[5].
Jika keadilan dimaknai sebagai kebahagiaan sosial, maka kebahagiaan sosial tersebut akan tercapai jika kebutuhan individu sosial terpenuhi. Tata aturan yang adil adalah tata aturan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun tidak dapat dihindarkan adanya fakta bahwa keinginan seseorang atas kebahagiaan dapat bertentangan dengan keinginan orang lain. Maka keadilan adalah pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat tertentu. Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang.[6] Tetapi kalau keadilan dimaknai sebagai legalitas. Adalah adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan pelaksanaannya. Menurut legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adalah adil atau tidak adil berarti legal atau illegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum positif. Hanya dalam makna legalitas inilah keadilan dapat masuk ke dalam ilmu hukum.[7]
Keadilan merupakan suatu perilaku adil, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya atau sesuai dengan porsinya, adil itu tidak harus merata berlaku bagi semua orang tetapi sifatnya subjektif. Segala yang sudah menjadi ketentuan Allah pastilah adil, karena itu Allah memerintahkan kepada umat manusia agar berperilaku adil, karena adil itu lebih dekat ketakwaan. Untuk menerima suatu keadilan pada mulanya akan terasa berat dan tidak menerimanya, oleh karena itu untuk menerima keadilan itu kuncinya adalah keikhlasan, sedangkan untuk menerima keikhlasan itu pada mulanya juga begitu berat, tetapi jika dirasakan dan diserahkan kepada Allah Tuhan Semesta Alam, pastilah akan bisa menerimanya, sehingga untuk menjalankan ikhlas itu harus sabar dan tawakal.[8]
Sehingga tidak terjadi keadilan mirip cerita gajah yang diteliti oleh para peneliti buta. Setiap peneliti merasakan bagian yang berbeda kaki, telinga, gading, sehingga masing-masing melukiskan ini dengan cara yang berbeda-beda pula gemuk dan kuat, tipis dan lentur, halus dan keras. Sementara si gajah itu sendiri sang keadilan tidak pernah bisa dikenal seluruhnya oleh deskripsi individual manapun.[9]
Jadi kriteria keadilan seperti hal kriteria kebenaran, tidak tergantung pada frekuensi dibuatnya pembenaran tersebut. Karena manusia terbagi menjadi banyak bangsa, kelas, agama, profesi dan sebagainya, yang berbeda-beda, maka terdapat banyak ide keadilan yang berbeda-beda pula. Terlalu banyak untuk menyebut salah satunya sebagai keadilan.[10] Begitu juga penelitian orang-orang buta terhadap gajah tersebut di atas, setiap peneliti merasakan bagian yang berbeda-beda.
Karena keadilan dan kebenaran sebagai kompas, maka proses hukum berjalan objektif dan rasional, rasional artinya terdapat tolak ukur yang jelas, logis dan diterima akal sehat siapapun. Objektif, artinya penyelesaian kasus harus mengikuti prosedur normatif yang terkait dengan masalah yang ditangani, bukan mengikuti kehendak subjektif pihak pelaksana hukum. Tolak ukur itulah yang mesti diterapkan kepada siapa pun tanpa pandang bulu. Sehingga semua orang beruntung dari adanya hukum yang benar-benar objektif, adil, rasional. Yang jahat pasti dihukum, yang lemah tidak diperlakukan sewenang-wenang menurut pesanannya orang kuat. Dan, orang kuat, tidak ada kompromi, harus diadili jika terbukti melanggar hukum. Hukum menempatkan semua orang sama.[11]
- Keadilan menurut Filsuf
a. Plato
Dalam konteks doktrin ide Plato, ide keadilan bisa ditunjukkan dalam kaitannya dengan ide tentang negara (polis), karena perenungan gagasan tentang negara (polis) ini menghasilkan sebuah citra di mana hukum dan perundangan nyaris tidak memainkan peran sama sekali[12]. Menurut Plato keadilan adalah emansipasi dan partisipasi warga negara (polis) dalam gagasan tentang kebaikan dalam negara dan itu merupakan suatu pertimbangan filsafat bagi suatu undang-undang.
b. Aristoteles
Aristoteles merupakan filsuf Yunani yang agak jelas berbicara mengenai keadilan. Dari karyanya Etika Nichomachea dapat diketahui pikiran-pikirannya tentang keadilan. Bagi Aristoteles keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis atau tidak tertulis) adalah keadilan. Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua, yaitu:
- Keadilan distributif adalah keadilan yang berlaku dalam hukum publik yaitu berfokus pada distribusi, honor kekayaan, dan barang-barang lain yang diperoleh oleh anggota masyarakat.
- Keadilan korektif, adalah keadilan yang berhubungan dengan pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi bagi pihak yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Jadi ganti kerugian dan sanksi adalah sebuah keadilan korektif menurut Aristoteles[13].
Lebih lengkap mengenai keadilan menurut Aristoteles ini dikemukakan oleh Theo Huijbers, antara lain:
- Keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik. Disini berlaku kesamaan geometris. Misalnya, kalau seorang bupati dua kali lebih penting daripada seorang camat, maka bupati harus mendapatkan kehormatan dua kali lebih banyak daripada camat. Kepada sama penting diberikan yang sama, dan yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama.
- Keadilan dalam jual-beli. Menurutnya harga barang tergantung kedudukan dari pihak. Ini sekarang tidak mungkin diterima.
- Keadilan sebagai kesamaan aritmatis dalam bidang privat atau juga publik. Kalau seorang mencuri, maka ia harus dihukum, tanpa memedulikan kedudukan orang yang bersangkutan. Sekarang, kalau pejabat terbukti secara sah melakukan korupsi maka pejabat itu harus dihukum, tidak peduli bahwa ia adalah pejabat.
- Keadilan dalam bidang penafsiran hukum. Karena undang-undang itu bersifat umum, tidak meliputi semua persoalan konkret, maka hakim harus menafsirkannya seolah-olah ia sendiri terlibat dalam peristiwa konkret itu. Menurut Aristoteles hakim tersebut harus memiliki epikeia, yaitu “suatu rasa tentang apa yang pantas”[14].
c. Friedrich Nietzsche
Dalam karyanya yang berjudul Menschlisches Allzumenschliches, mengatakan bahwa aslinya keadilan itu adalah kuasa atau kekuatan yang sama. Atau keadilan adalah ganjaran atau balasan dan pertukaran dengan syarat posisi kekuatan atau kekuasaan yang kira-kira sama. Begitu misalnya bahwa aslinya balas dendam itu terletak dalam ruang lingkup keadilan. Ia adalah suatu pertukaran[15].
d. Gustav Radbruch
Keadilan dibedakan dalam beberapa arti:
- Keadilan sebagai keutamaan atau kebajikan (Gerechtigkeit als Tugend), yaitu keadilan sebagai sifat atau kualitas pribadi (misalnya bagi seorang hakim). Disini adalah keadilan subjektif, dan keadilan sebagai sifat atau kualitas hubungan antarmanusia (misalnya harga yang adil). Keadilan subjektif adalah pendirian atau sikap, pandangan dan keyakinan yang diarahkan kepada terwujudnya keadilan objektif sebagai keadilan yang primer. Sementara keadilan subjektif adalah sekunder. Apa itu keadilan objektif, kurang begitu jelas. Barangkali dalam pandangan Radbruch, keadilan objektif itu adalah keadilan dalam hubungan antar manusia.
- Keadilan menurut ukuran hukum positif dan keadilan menurut cita hukum (rechtsidee), atau hukum positif dan cita hukum adalah sumber keadilan.
- Inti dari keadilan adalah kesamaan (Gleichheit). Disini Radbruch mengikuti pandangan Aristoteles tentang keadilan, yaitu keadilan komutatif (misalnya antara prestasi dan kontra prestasi) dan keadilan distributive (di bidang privat dan public. Privat: gaji dibayar sesuai prestasi kerja, publik: jabatan berdasarkan kualifikasi)[16].
e. John Stuart Mill dan Bentham
Menjelaskan keadilan adalah manfaat atau kebahagiaan terbesar bagi banyak orang. Jadi Sebagian kecil orang atau individu bisa saja jadi korban demi kepentingan banyak orang dan itu tetap disebut “keadilan” juga[17].
f. Jacques Derrida
Derrida menjelaskan keadilan adalah sebuah pengalaman tentang yang tidak mungkin, pengalaman sebagai “melintasi” dalam arti, sebuah pengalaman merupakan sesuatu yang membuka jalan, membuat akses dan merombak. Keadilan adalah sebuah pengalaman aporia, yaitu sesuatu batas-batas dari hal yang bisa dialami, misalnya orang terjebak ke dalam sebuah jalan buntu, atau dengan kata lain, aporia tidak adanya akses, jalan buntu artinya di sini seseorang tidak dapat sepenuhnya mengalami keadilan[18].
g. Notohamidjojo
Notohamidjojo membedakan keadilan menjadi tiga, yaitu:
- Keadilan vindikatif, adalah keadilan yang menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
- Keadilan kreatif, adalah keadilan yang memberikan kesempatan dan kebebasan yang sama bagi setiap orang untuk berkreasi yang positif.
- Keadilan protektif, adalah keadilan yang memberikan perlindungan yang sama bagi setiap orang dalam masyarakat[19].
h. Widiartana
Widiartana menjelaskan bahwa dalam hukum pidana biasanya dikenal dua macam keadilan, yaitu sebagai berikut:
- Keadilan retributif adalah keadilan yang menitikberatkan pada pemidanaan pelaku kejahatan sebagai pembalasan atau pengimbalan atas kejahatan yang telah dilakukannya.
- Keadilan restoratif adalah keadilan yang lebih menitikberatkan atau berfokus pada perbaikan atau pemulihan korban yang telah menderita akibat kejahatan si pelaku. Dengan kata lain, keadilan ini lebih ditunjukkan kepada korban daripada kepada si pelaku. Ini juga merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku tanpa mengesampingkan kepentingan rehabilitas terhadap pelaku. Menurut Widiartana keadilan restoratif dalam bidang pidana ini lebih cocok dengan asas kekeluargaan dalam Pancasila. Adalah adil bahwa pelaku kejahatan dipidana. Misalnya pelaku kejahatan dalam rumah tangga, namun juga lebih adil, bila kepada korban dilakukan pemulihan[20].
Dari berbagai definisi di atas, sangat tampak beranekaragamnya pemahaman tentang makna keadilan. Ada yang mengaitkan dengan keadilan dengan peraturan politik negara, sehingga ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan, senantiasa didasarkan pada ukuran yang telah ditentukan oleh negara. Ada yang memandang keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus-menerus, untuk memberikan apa yang menjadi hak bagi setiap orang. Juga ada yang melihat keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksaan hukum, yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan.
Dengan demikian, juga ungkapan tentang “keadilan” ada yang menempatkan keadilan sebagai sesuatu yang harus disucikan, dan berada bukan hanya di ruang persidangan pengadilan, melainkan dimana pun, dan harus dibersihkan dari kekotoran skandal dan korupsi. Diantara ungkapan di atas, ada yang menegaskan bahwa yang namanya “keadilan” sempurna itu tidak pernah ada, yang ada hanyalah sekadar pencapaian keadilan dalam kadar tertentu[21].
[1] Eko Hadi Wiyono, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Jakarta, Akar Media, 2007, h. 10.
[2] M. Agus Santoso, Hukum, Moral, dan Keadilan, Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2012, h. 85.
[3] John Rawls, A Theory of justice Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011, h. 3-4.
[4] Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Paradigma, 2007, h. 36.
[5] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2008, h. 18-19.
[6] Hans Kelsen dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press, 2012, h. 17.
[7] Ibid., h. 21.
[8] M. Agus Santoso, Op. cit., h. 87-88.
[9] Karen Leback, Teori-teori Keadilan Six Theories of Justice, Suplemen: Konsep Keadilan dalam Kristen, oleh Hans Kelsen, Bandung, Nusa Media, 1986, h. 1.
[10] Jimly Asshiddiqie dan M Ali Safa’at, Op. cit, h. 18.
[11] Dossy Iskandar Prasetyo dan Bernard L. Tanya, Hukum Etika dan Kekuasaan Yogyakarta, Genta Publishing, 2011, h. 111-112.
[12] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nusa Media, 2010, h. 19.
[13] Aristoteles dalam Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta, Kanisius, 1984, h. 29.
[14] Ibid., h. 30.
[15] Friedrich Nietzsche, dalam Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum (dari Klasik sampai Postmodernisme), Edisi lengkap, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, 2011, h. 244.
[16] Ibid., h. 245.
[17] Ibid., h. 246.
[18] Derrida dalam Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum-Non Sistematik, Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h. 94.
[19] Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1975, h. 53-54.
[20] G. Widiartana, Keadilan Restoratif pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan Hukum Pidana, Makalah Diskusi, Yogyakarta, Fakultas hukum UAJY, 2010, h. 5.
[21] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang (Legisprudence), vol 1 Pemahaman Awal, Jakarta, Prenadamedia Group, 2012, h. 221-222.
Dharma Na Gara
Latest Posts
Hak Tersangka dan Terdakwa
Hak Tersangka dan Terdakwa KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 50 KUHAP 1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh...
Rekam Medis
Rekam Medis Dokter yang menjalankan praktek kedokteran wajib membuat suatu catatan yang harus dibuat dengan segera setelah pasien menerima pelayanan....