Viktimologi
Viktimologi
Viktimologi berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan korban dan atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Perumusan ini membawa akibat perlunya suatu pemahaman, yaitu:
- Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional;
- Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi;
- Sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh unsur struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu.
Viktimologi memberikan Pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan-penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya adalah tidak untuk menyanjung-nyanjung para korban, tetapi hanya untuk memberikan penjelasan mengenai peranan sesungguhnya para korban dan hubungan mereka dengan para korban. Penjelasan ini adalah penting dalam rangka mengusahakan kegiatan-kegiatan dalam mencegah kejahatan berbagai viktimisasi, mempertahankan keadilan sosial dan peningkatan kesejahteraan mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam suatu viktimisasi. Khususnya dalam bidang informasi dan pembinaan untuk tidak menjadi korban kejahatan struktural atau non struktural.
Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam system peradilan pidana.
Menurut J.E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, dalam perkembangannya di tahun 1985 Separovic mempelopori pemikiran agar viktimologi khusus mengkaji korban karena adanya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau bencana alam karena korban bencana alam di luar kemauan manusia (out of man’s will).
Objek studi atau ruang lingkup perhatian viktimologi menurut Arif Gosita adalah sebagai berikut:
- Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalitas.
- Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.
- Para peserta yang terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas. Seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim pengacara dan sebagainya.
- Reaksi terhadap viktimisasi criminal.
- Respon terhadap suatu viktimisasi kriminal: argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-usaha prevensi, represi, tindak lanjut (ganti kerugian) dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan.
- faktor-faktor viktimogen/kriminogen.
Tujuan viktimologi dikatakan Muladi adalah:
- menganalisis perbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
- berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; dan
- mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.
Pengertian Korban
Mengenai Pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Menurut Mandelsohn, berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi lima macam, yaitu:
- yang sama sekali tidak bersalah;
- yang menjadi korban karena kelalainnya;
- yang sama salahnya dengan pelaku;
- yang lebih bersalah daripada pelaku;
- yang korban adalah satu-satunya yang bersalah.
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu:
- nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
- Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
- Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
- Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
- False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
Hak-hak Korban
Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan bahwa korban berhak untuk:
Ayat (1)
- Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
- Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
- Memberikan keterangan tanpa tekanan.
- Mendapat penerjemah.
- Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
- Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus.
- Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan
- Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan.
- Dirahasiakan identitasnya.
- Mendapat identitas baru.
- Mendapat tempat kediaman sementara.
- Mendapat tempat kediaman baru.
- Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
- Mendapat nasihat hukum.
- Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir, dan/atau
- Mendapat pendampingan.
Ayat (2)
Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Ayat (3) selain kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
Sumber:
- Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta.
- Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo., Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Alur Proses Hukum Acara Pidana di Indonesia Secara Umum/Biasa:
Alur proses hukum acara pidana di Indonesia secara umum/biasa:
- Laporan/aduan dibuat oleh masyarakat/korban kepada Kantor Polisi yang mencakup wilayah terjadinya tindak pidana berdasarkan minimal 2 alat bukti;
- Kepolisian akan melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan memanggil para pihak untuk diperiksa, saksi-saksi, ahli-ahli, memeriksa barang dan/atau alat bukti dan apabila terpenuhi unsur-unsur pidananya berdasarkan bukti-bukti yang cukup maka akan ditetapkan tersangka/beberapa tersangka. Terkait dengan penahanan tersangka pada tingkat penyidikan adalah berdasarkan kewenangan diskresi Kepolisian dan juga ancaman pidana/hukuman dari pasal yang disangkakan;
- Setelah berkas dinyatakan lengkap atau P21 oleh Penuntut Umum, maka berkas dan tersangka akan dilimpahkan oleh Kepolisian ke Kejaksaan untuk dibuatkan dakwaan;
- Jaksa lalu melimpahkan berkas ke Pengadilan Negeri;
- Perkara kemudian disidangkan oleh Pengadilan Negeri yang berwenang dan pada persidangan tersebut terdapat berbagai agenda yang disidangkan yakni:
- Praperadilan (apabila mengajukan);
- Pengecekan identitas terdakwa;
- Pembacaan dakwaan (oleh Penuntut Umum);
- Eksepsi/bantahan dari terdakwa/Penasihat Hukum (jawab-menjawab atau replik/duplik antara terdakwa/Penasihat Hukum dan Penuntut Umum);
- Putusan sela oleh Majelis Hakim (putusan sela biasanya memutus tentang sengketa kewenangan mengadili secara absolut atau relatif pengadilan, eksepsi/bantahan dari terdakwa/Penasihat Hukum, dan lainnya);
- Pembuktian (pemeriksaan saksi-saksi, barang/alat bukti, ahli, terdakwa dan lainnya);
- Tuntutan dan pledoi atau pembelaan (jawab-menjawab atau replik/duplik antara Penuntut Umum dan terdakwa/Penasihat Hukum);
- Putusan oleh Majelis Hakim;
- Apabila para pihak baik dari terdakwa atau penuntut umum tidak terima dengan putusan Pengadilan Negeri maka upaya hukum yang dapat diajukan adalah permintaan banding dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir berdasarkan Pasal 233 ayat 2 KUHAP agar perkaranya diperiksa oleh Pengadilan Tinggi, permintaan diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya. Apabila para pihak tidak terima dengan Putusan Pengadilan Tinggi maka para pihak dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa berdasarkan Pasal 245 ayat 1 KUHAP, permohonan kasasi diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya pada tingkat pertama. Disamping itu juga terpidana dapat melakukan upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya pada tingkat pertama.
Catatan:
Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dapat dibanding, antara lain:
- Putusan bebas atau vrijspraak (acquittal);
- Putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan Onslag van Recht Vervolging;
- Putusan acara cepat.
Adapun terhadap ketiga hal tersebut langsung diajukan kasasi.
Demikianlah alur proses beracara pidana secara umum/biasa di seluruh Indonesia, sebenarnya masih terdapat banyak detail yang dapat saya jelaskan tetapi agar mempersingkat waktu dan agar mudah dipahami oleh masyarakat umum maka saya merangkumnya dalam garis besar saja dan selebihnya anda dapat membacanya pada sumber di bawah ini atau berkonsultasi kepada kami.
Sumber:
- KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
- Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.
- Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
- https://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/kepaniteraan/kepaniteraan-pidana/808-tata-urutan-persidangan-perkara-pidana
- https://pn-bandaaceh.go.id/alur-perkara-pidana/
- https://www.pn-bekasikota.go.id/images/AlurPidana/Prosedur-Persidangan-Pidana.jpg
Jangka Waktu Penahanan Menurut KUHAP:
No. | Tahap Pemeriksaan dan Dasar Hukum | Jangka Waktu Penahanan | Jangka Waktu Perpanjangan Penahanan | Instansi yang berwenang memberikan Perpanjangan Penahanan |
1. | Penyidikan-Pasal 24 KUHAP | 20 Hari | 40 Hari | Penuntut Umum yang berwenang. |
2. | Penuntutan-Pasal 25 KUHAP | 20 Hari | 30 Hari | Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. |
3. | Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili perkara-Pasal 26 KUHAP | 30 Hari | 60 Hari | Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. |
4. | Hakim Pengadilan Tinggi yang mengadili perkara -Pasal 27 KUHAP | 30 Hari | 60 Hari | Ketua Pengadilan Tinggi bersangkutan. |
5. | Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara-Pasal 28 KUHAP | 50 Hari | 60 Hari | Ketua Mahkamah Agung. |
Pasal 29 KUHAP:
(1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
- tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
- Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat:
- Penyidikan dan penuntutan diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri;
- Pemeriksaan di pengadilan Negeri diberikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi;
- Pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
- Pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.
(5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
(6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat:
- Penyidikan dan penuntutan kepada Ketua Pengadilan Tinggi;
- Pemeriksaan Pengadilan Negeri dan Pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
No. | Tahap Pemeriksaan | Jangka Waktu Penahanan | Jangka Waktu Perpanjangan Penahanan | Instansi yang memberikan Perpanjangan Penahanan |
1. | Penyidikan dan Penuntutan | 30 Hari | 30 Hari | Ketua Pengadilan Negeri. |
2. | Pemeriksaan di Pengadilan Negeri | 30 Hari | 30 Hari | Ketua Pengadilan Tinggi. |
3. | Pemeriksaan Banding | 30 Hari | 30 Hari | Mahkamah Agung. |
4. | Pemeriksaan Kasasi | 30 Hari | 30 Hari | Ketua Mahkamah Agung. |
Untuk informasi lebih lanjut anda dapat berkonsultasi kepada kami.
Obat stress yang mengandung narkotika/psikotropika
Apakah aman membawa obat stress atau jenis obat lain yang mengandung narkotika/psikotropika ke wilayah Indonesia dari luar negeri ketika sedang bepergian?
Tidak, sama sekali tidak aman, anda akan mendapatkan masalah dan berurusan dengan hukum apabila anda membawa obat stress atau obat-obatan lain dan/atau hal-hal lain yang mengandung zat narkotika/psikotropika ke wilayah Indonesia, sebaiknya jangan dilakukan, kecuali anda memiliki izin resmi dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Begitu juga dengan mengekspor atau mengimpor narkotika/psikotropika atau bentuknya yang lain adalah dilarang di Indonesia kecuali anda mendapatkan izin resmi dari Menteri Kesehatan Indonesia dan akan menghadapi hukuman yang berat apabila melakukan atau terlibat dalam tindak pidana tersebut.
Narkotika diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sedangkan Psikotropika diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
untuk informasi lebih detail, silahkan berkonsultasi kepada kami.
Pemotor Ugal-ugalan Pukul Spion Ingin Terkenal di Medsos
Denpasar – Pemotor remaja ugal-ugalan dan memukul spion di Bali mengaku menyesali perbuatannya. Kuasa hukum menyebut motif bocah usia 13 tahun itu karena berniat terkenal dan memutuskan menjadi penegak hukum jalanan.
“Klien kami ingin menggantikan polisi dalam penegakan hukum cuma caranya salah. Maksudnya jadi penegak hukum jalanan karena banyak pelanggaran lalu lintas, mungkin dia membandingkannya dengan luar negeri, dia melakukan sendiri, tidak melapor ke polisi,” kata Dharma Nagara setelah mediasi di Mapolresta Denpasar, Jl Gunung Sanghyang, Denpasar, Bali, Jumat (1/2/2019).
Dharma menyebut perekaman video yang dilakukan bocah tersebut sebagai kenakalan anak. Dia berharap aksi kliennya itu bisa dimaafkan dan memastikan anak tersebut sudah dilarang mengendarai kendaraan, baik sepeda motor maupun mobil.
Di lokasi yang sama, Wakapolresta Denpasar AKBP Nyoman Artana mengatakan pihaknya juga sudah melakukan klarifikasi. Dia menyebut bocah tersebut tidak sadar telah melakukan kesalahan karena di bawah umur.
“Jadi, dengan beredarnya yang bersangkutan di medsos itu, yang bersangkutan berniat supaya terkenal di medsos. Jadi dia mengambil gambar sebenarnya supaya yang melanggar-melanggar ini jadi viral, tetapi karena adik kita ini masih di bawah umur, jadi tidak tersadar adik kita juga melakukan pelanggaran,” tutur Artana.
Artana mengatakan bocah itu juga belum layak berkendara di jalan raya. Dia juga membenarkan ulah bocah tersebut membahayakan.
“Di satu sisi umurnya masih 13 tahun belum layak berkendara di jalan raya dan belum mendapat SIM. Kemudian dilihat dari cara mengendarainya di jalan raya juga mengambil jalan tengah di mana kanan-kiri berpapasan. Kemudian ada seolah-olah memukul spion-spion yang melawan arus itu berbahaya bagi yang bersangkutan dan yang berlawanan,” ujarnya.
Dalam mediasi tersebut, bocah itu mengaku tidak berniat buruk dengan melakukan perekaman video saat berkendara. Artana menyebut bocah itu telah menyesali perbuatannya.
“Bahwa yang bersangkutan tidak ada niatan tidak baik di medsos, tapi justru atas perbuatan itu mendapat respons dari masyarakat. Baik yang bersangkutan maupun keluarga meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi, dan tidak akan menggunakan kendaraan apa pun karena belum cukup umur,” tutur Artana.
Sumber : Detik.com