Hak Tersangka dan Terdakwa
Hak Tersangka dan Terdakwa
KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Pasal 50 KUHAP
1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke Pengadilan oleh penuntut umum.
3) Terdakwa berhak segera diadili oleh Pengadilan.
Pasal 51 KUHAP, untuk mempersiapkan pembelaan:
1) Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam Bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
2) Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam Bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.
Pasal 52 KUHAP
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan Pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Pasal 53 KUHAP
1) Dalam pemeriksaan pada Tingkat penyidikan dan Pengadilan tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru Bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.
2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal 177 KUHAP
1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru Bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
2) Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi juru-bahasa dalam perkara itu.
Pasal 178 KUHAP
1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.
Pasal 54 KUHAP
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap Tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 55 KUHAP
Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal 56 KUHAP
1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua Tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Pasal 57 KUHAP
1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.
Pasal 58 KUHAP
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan Kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.
Pasal 59 KUHAP
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua Tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
Pasal 60 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.
Pasal 61 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.
Pasal 62 KUHAP
1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.
2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk di duga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan.
3) Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi “telah ditilik”.
Pasal 63 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan.
Pasal 64 KUHAP
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum.
Pasal 65 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan/atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
Pasal 66 KUHAP
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal 67 KUHAP
Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan Pengadilan Tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan Pengadilan dalam acara cepat.
Pasal 68 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya.
untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Rekam Medis
Rekam Medis
Dokter yang menjalankan praktek kedokteran wajib membuat suatu catatan yang harus dibuat dengan segera setelah pasien menerima pelayanan. Setiap pelayanan Kesehatan harus mencatat dan mendokumentasikan hasil pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Pasal 46 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menentukan:
- Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran wajib membuat rekam medis;
- Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan Kesehatan;
- Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau Tindakan.
Dari ketentuan Pasal 46 Undang-undang Praktek Kedokteran di atas jelas bahwa pencatatan yang dimaksudkan adalah rekam medis. Dalam praktek istilah rekam medik ini berkembang istilah-istilah lain, yaitu:
- Medical Document = Dokumen Medis;
- Medical Notes = Catatan Medis;
- Medical Record = Rekam Medis;
- Health Record = Rekaman Kesehatan;
- Personal Health Record = Rekaman Kesehatan Pribadi;
- Medical Report = Laporan Medis.
Setiap pencatatan (rekam medis) yang dilakukan harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga Kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan Kesehatan secara langsung. Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan harus segera dilakukan pembetulan yang dilakukan dengan pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi atau tenaga pelayanan Kesehatan yang bersangkutan. Pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien, itulah yang secara umum disebut rekam medis.
Penyelenggaraan rekam medis pada suatu sarana pelayanan Kesehatan merupakan salah satu cara mengukur mutu pelayanan pada pelayanan Kesehatan tersebut. Berdasarkan data pada rekam medis akan dapat dinilai apakah pelayanan yang diberikan sudah cukup baik mutunya atau tidak, serta apakah sudah sesuai standar atau tidak. Untuk itulah, rekam medis yang semula diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis, kemudian diperbaharui dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis. Adapun diatur lebih lanjut pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.
Pengertian Rekam Medis
- Dalam pasal 1 huruf ke 1, 6, dan 7 dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan adalah tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala Tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan Kesehatan. Dokumen adalah catatan dokter, dokter gigi dan/atau tenaga Kesehatan tertentu, laporan hasil pemeriksaan penunjang, catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging) dan rekaman elektro diagnostic.
- Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
- Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 55 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perekam Medis, Khususnya dalam Pasal 1 ayat (2) Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada fasilitas Kesehatan.
- Menurut Ery Rustiyanto, rekam medis adalah siapa, Dimana dan bagaimana perawatan pasien selama di rumah sakit untuk melengkapi rekam medis harus memiliki data yang cukup tertulis dalam rangkaian guna menghasilkan suatu diagnosis, jaminan, pengobatan dan hasil akhir.[1]
- Menurut Gemala R. Hatta, rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain kepada pasien di sarana pelayanan Kesehatan.[2]
- Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, Rekam Medis adalah dokumen yang berisikan identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Isi Rekam Medis
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis Pasal 26 ayat 6 menyatakan:
Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 2 paling sedikit terdiri atas:
- Identitas pasien;
- Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang;
- Diagnosis, pengobatan, dan rencana tindak lanjut pelayanan Kesehatan; dan
- Nama dan tanda tangan Tenaga Kesehatan pemberi pelayanan Kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis Pasal 26 ayat 7 Rekam Medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat oleh penanggung jawab pelayanan.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Zaeni Asyhadie, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Rajawali Pers, Depok.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.
[1] Ery Rustiyanto, 2009, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 5.
[2] Gemala R. Hatta, 2008, Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 73.
Penangguhan Penahanan
Penangguhan Penahanan
Penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Memperhatikan ketentuan Pasal 31 pengertian penangguhan tahanan tersangka atau terdakwa dari penahanan, mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir.
Tahanan yang resmi dan sah masih ada dan belum habis, namun pelaksanaan penahanan yang masih harus dijalani tersangka atau terdakwa, ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum habis. Dengan adanya penangguhan penahanan, seorang tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang sah dan resmi sedang berjalan.
Penangguhan penahanan tidak sama dengan pembebasan dari tahanan. Perbedaan terutama ditinjau dari segi hukum maupun alasan dan persyaratan yang mengikuti tindakan pelaksanaan penangguhan dengan pembebasan dari tahanan. Dari segi hukum, pelaksanaan dan persyaratan:
- Pada penangguhan penahanan masih sah dan resmi serta masih berada dalam batas waktu penahanan yang dibenarkan undang-undang. Namun pelaksanaan penahanan dihentikan dengan jalan mengeluarkan tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penangguhan yang harus dipenuhi oleh tahanan atau orang lain yang bertindak menjamin penangguhan.
- Sedang pada pembebasan dari tahanan harus berdasar ketentuan undang-undang. Tanpa dipenuhi unsur-unsur yang ditetapkan undang-undang, pembebasan dari tahanan tidak dapat dilakukan. Umpamanya, oleh karena penahanan yang dilakukan tidak sah dan bertentangan dengan undang-undang maupun karena batas waktu penahanan yang dikenakan sudah habis, sehingga tahanan harus dibebaskan demi hukum. Atau bisa juga oleh karena lamanya penahanan yang dijalani sudah sesuai dengan hukum pidana yang dijatuhkan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Disamping itu, dari segi pelaksanaan pembebasan tahanan, dilakukan tanpa syarat jaminan.
Berbicara mengenai masalah penangguhan penahanan yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP, belum secara keseluruhan mengatur bagaimana tata cara pelaksanaanya, serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau kepada orang yang menjamin. Oleh karena itu, Pasal 31 KUHAP tersebut masih memerlukan peraturan pelaksana yang belakangan ditetapkan dalam berbagai peraturan:
- Mengenai jaminan penangguhan penahanan diatur dalam Bab X, Pasal 35 dan Pasal 36 PP No. 27/1983.
- Pelaksanaan penangguhan penahanan diatur dalam Bab IV, Pasal 25 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06/1983 serta angka 8 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983.
Terjadinya penangguhan penahanan ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP. Menurut penegasan yang terdapat di dalam ketentuan ini, penangguhan penahanan terjadi:
- Karena permintaan tersangka atau terdakwa;
- Permintaan itu disetujui oleh instansi yang menahanan atau yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan dan secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan dan
- Ada persetujuan dari orang tahanan untuk mematuhi syarat yang ditetapkan serta memenuhi jaminan yang ditentukan.
Adapun mengenai syarat apa yang harus ditetapkan instansi yang berwenang, tidak dirinci dalam Pasal 31 KUHAP. Penegasan dan rincian syarat yang harus ditetapkan dalam penangguhan penahanan, lebih lanjut disebutkan dalam penjelasan Pasal 31 KUHAP tersebut. Dari penjelasan ini diperoleh penegasan syarat apa yang dapat ditetapkan instansi yang menahan.
- Wajib lapor;
- Tidak keluar rumah, atau
- Tidak keluar kota.
Itulah syarat yang dapat ditetapkan dalam pemberian penangguhan penahanan.
Apakah unsur jaminan merupakan faktor yang menentukan dalam pemberian penangguhan penahanan? Apakah unsur jaminan serupa fungsinya dengan syarat penangguhan? Penetapan syarat penangguhan merupakan faktor condition sine quanon dalam penangguhan penahanan. Tanpa penetapan persyaratan penangguhan dianggap tidak sah dan bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) KUHAP. Bagaimana halnya dengan penetapan jaminan, apakah penetapan jaminan merupakan conditio dalam pemberian penangguhan penahanan? Tidak mutlak! Penetapan jaminan dalam penangguhan penahanan bersifat “fakultatif”, sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1), dalam kalimat yang berbunyi: “dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang”. Dari bunyi kalimat ini, jaminan uang atau jaminan orang “dapat” ditetapkan instansi yang menahan dalam pemberian penangguhan. Kalau begitu sifat penetapan jaminan adalah fakultatif, terserah kepada pendapat dan penilaian instansi yang menahan untuk membebani yang bersangkutan dengan jaminan.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
KUHAP;
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.
Eksepsi Pada Prosedur Hukum Acara Pidana di Indonesia
Eksepsi
Pengertian eksepsi atau exception adalah:
- Tangkisan (plead) atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap “materi pokok” surat dakwaan.
- Tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat “formal” yang melekat pada surat dakwaan.
Dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP, definisi eksepsi tidak dirumuskan secara jelas. Istilah yang digunakan adalah “keberatan”. Kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberi hak untuk mengajukan keberatan. Pengertian keberatan yang disebut dalam pasal ini, lebih dekat pengertiannya dengan objection dalam system Common Law, yang berarti perkara yang diajukan terhadap terdakwa mengandung tertib acara yang improper (tidak tepat) atau illegal (tidak sah).
Saat Mengajukan Eksepsi
Jika diperhatikan Pasal 156 ayat (1), pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas alasan “formal” oleh terdakwa atau penasihat hukum adalah “hak” dengan ketentuan:
- Prinsipnya harus diajukan pada “sidang pertama”;
- Yakni “sesaat” atau “setelah” penuntut umum membaca surat dakwaan;
- Apabila pengajuan dilakukan di luar tenggang yang disebutkan, eksepsi tidak perlu ditanggapi penuntut umum dan Pengadilan Negeri, kecuali mengenai eksepsi kewenangan mengadili yang disebut dalam Pasal 156 ayat 7.
Prinsip ini disimpulkan dari ketentuan pasal 156 ayat 2 yang menegaskan: jika hakim menerima keberatan terdakwa atau penasihat hukum maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Berarti proses pengajuan keberatan berada antara tahap pembacaan surat dakwaan. Pemeriksaan materi pokok perkara dihentikan apabila keberatan diterima. Sebaliknya pemeriksaan materi pokok perkara diteruskan langsung apabila keberatan ditolak.
Klasifikasi Eksepsi
Ada beberapa klasifikasi eksepsi yang terdapat dalam praktek peradilan, akan tetapi dalam artikel ini hanya dibahas beberapa di antaranya.
- Eksepsi Kewenangan Mengadili
Disebut “eksepsi tak berwenang” mengadili atau exception of incompetency (exception van onbevoegheid), dalam arti Pengadilan yang dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili, yang diklasifikasikan sebagai berikut:
- Tidak berwenang secara absolut.
Munculnya persoalan kewenangan absolut mengadili (absolute competence), sebagai akibat Pasal 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang telah menetapkan dan membagi “yurisdiksi substantif” untuk setiap lingkungan peradilan pada satu segi dan pada segi lain disebabkan faktor pembentukan jenis peradilan khusus yang kewenangannya secara absolut diberikan kepada peradilan khusus tersebut (seperti peradilan anak).
- Tidak berwenang secara relatif.
Disebut kewenangan relatif mengadili perkara (relative competence) di dasarkan pada faktor “daerah hukum” atau “wilayah hukum” suatu Pengadilan.
Setiap Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, terbatas daerah atau wilayah hukumnya. Patokan menentukan batas daerah atau wilayah hukum pada dasarnya disesuaikan dengan sistem pemerintahan Tingkat I (provinsi) dan Tingkat II (Kabupaten atau Kotamadya).
Landasan dasar untuk menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan Negeri atau sesuatu tindak pidana yang terjadi, merujuk pada ketentuan:
- Pasal 84 ayat 1 KUHAP: Locus delicti/tempat kejadian perkara;
- Pasal 84 ayat 2 KUHAP: Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan;
- Pasal 85 KUHAP: kewenangan atas “penunjukan” Menteri Kehakiman;
- Pasal 86 KUHAP: Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasar undang-undang atas tindak pidana yang dilakukan di luar negeri.
Perlu diingat eksepsi kewenangan relatif pada prinsipnya diajukan pada peradilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri. Namun tidak mengurangi hak terdakwa atau penasihat hukum mengajukan kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding dengan jalan memasukkan dalam memori banding.
Malahan, oleh karena kewenangan mengadili merupakan ketentuan yang bersifat “aturan publik” (public order), Pengadilan Tinggi secara ex officio berwenang memeriksa dan menilai apakah Pengadilan Negeri melanggar prinsip kompetensi relative dalam mengadili perkara yang bersangkutan, meskipun hal itu tidak diajukan sebagai eksepsi dalam peradilan tingkat pertama. Penerapan yang demikian, tidak semata-mata berdasar alasan publik tetapi juga berdasar kehendak yang terkandung dalam Pasal 156 ayat (7) KUHAP, yang memberi fungsi ex officio bagi hakim memeriksa dan memutus mengenai kompetensi meskipun hal itu tidak diajukan sebagai keberatan (eksepsi).
- Eksepsi Kewenangan Menuntut, Gugur
Eksepsi lain yang tidak disebut dalma Pasal 156 ayat 1 KUHAP, tetapi ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan lain, antara lain dalam KUHP, adalah eksepsi yang menyatakan “kewenangan” penuntut umum untuk menuntut “hapus” atau “gugur”. Hapus atau gugurnya kewenangan penuntutan disebabkan faktor tertentu yang disebut dalam ketentuan pasal yang bersangkutan.
Mengenai jenis eksepsi ini, yang terpenting di antaranya:
- Exception judicate atau nebis in idem (Pasal 76 KUHP). Faktor yang menghapus kewenangan penuntutan dalam eksepsi ini: tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, telah pernah di dakwakan, diperiksa dan diadili serta putusannya: Telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan Putusannya bersifat positif, yakni dipidana atau dibebaskan maupun dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
- Exception in tempores (Pasal 78 KUHP). Penuntutan tindak pidana yang diajukan kepada terdakwa melampaui tenggang batas waktu yang ditentukan undang-undang (that the time priscribed by law for bringing such action or offence has expired). Seperti diketahui, Bab VIII KUHP, mulai dari Pasal 78-82 telah mengatur sistem penerapan kedaluwarsa penuntutan pidana.
- Terdakwa meninggal dunia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 77 KUHP, kewenangan menuntut pidana “hapus” atas alasan terdakwa/tertuduh “meninggal dunia”.
- Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima
Patokan untuk mengajukan eksepsi atau menjatuhkan putusan dengan amar: menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, apabila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau yang diminta ketentuan undang-undang. Ke dalam kelompok ini antara lain dapat dikemukakan:
- Eksepsi pemeriksaan penyidikan tidak memenuhi syarat ketentuan Pasal 56 ayat 1 KUHAP. Pasal 56 ayat 1 menggariskan Miranda Rule yang menegaskan, setiap penuntutan atau persidangan, tersangka atau terdakwa di dampingi penasihat hukum, ketentuan ini merupakan “syarat yang diminta” undang-undang apabila tindak pidana yang disangkakan atau di dakwakan, diancam dengan pidana mati atau pidana 15 tahun atau lebih atau bagi yang tidak mampu dan diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Pasal 56 ayat 2 KUHAP: setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Apabila ketentuan Pasal 56 ayat 1 tidak dipenuhi, dianggap pemeriksaan tidak memenuhi syarat yang diminta undang-undang, yang berakibat “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima” (MA No. 1565 K/Pid/1991, 16 September 1993).
- Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi syarat Klacht delict. Tindak pidana yang didakwakan “delik aduan” (klacht delict), tetapi ternyata penuntutannya kepada terdakwa “tanpa pengaduan” dari “korban” atau dari orang yang disebut dalam pasal delik yang bersangkutan atau tenggang waktu pengaduan yang digariskan Bab VII (Pasal 72-75 KUHP, tidak dipenuhi, oleh karena itu syarat yang diminta atau ditentukan undang-undang tidak dipenuhi oleh penyidik dan penuntut umum (tidak ada pengaduan). Berarti tuntutan penuntut umum terhadap terdakwa, tidak memenuhi syarat undang-undang, sehingga tuntutan untuk meminta pertanggung jawaban pidana kepada terdakwa “tidak dapat diterima”.
- Eksepsi Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Eksepsi ini dikonstruksi dari ketentuan Pasal 67 KUHAP, yang memperkenalkan bentuk putusan Pengadilan Negeri “lepas dari segala tuntutan hukum” atau onslag van rechtvervolging.
Selanjutnya apa yang disebut dalam Pasal 67 tentang eksepsi ini, dipertegas lagi dalam Pasal 191 ayat 2 KUHAP, yang memberi patokan tentang arti putusan “lepas dari segala tuntutan hukum”, yakni “jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi tidak merupakan sesuatu tindak pidana.
Dalam praktek, pada umumnya yang sering menjadi dasar untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apabila tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa “perdata” sehingga apa yang didakwakan pada dasarnya termasuk “sengketa perdata” yang harus diselesaikan melalui proses peradilan perdata.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Praperadilan
Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan sendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sebagai tugas pokok maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang wewenang pemeriksaan diberikan kepada Praperadilan. Hal yang diuraikan di atas, dapat dibaca dalam rumusan Pasal 1 butir 10 KUHAP, yang menegaskan: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP yang menjelaskan: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan jadwalkan konsultasi dengan kami.
Sumber:
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Nomor Telepon Darurat untuk Daerah Bali
Nomor telepon darurat yang dapat di hubungi untuk daerah Bali sebagai berikut:
- Pusat panggilan darurat: 112
- Pusat panggilan informasi: 0361 108
- Pusat Panggilan Kepolisian: 110
- BPBD adalah singkatan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah, mereka menangani: kebakaran, pohon tumbang, binatang liar (ular dan biawak) menyelinap masuk rumah, bala wisata tirtha, kecelakaan, evakuasi pasien sakit, pelayanan pengantaran jenazah gratis, penyelamatan dan pencarian korban di air. Instagram: bpbd_kota_denpasar, bpbdbadung
- BPBD Provinsi Bali: 0361 251177, 085792240799
- BPBD Kota Denpasar: 0361 223333, 081236706882
- BPBD Kabupaten Badung: 08113894000
- BPBD Kabupaten Gianyar: 0361 8958447/4795632/08113884353
- BPBD Kabupaten Bangli: 0366 91448
- BPBD Kabupaten Karangasem: 0363 22173, 081384417970
- BPBD Kabupaten Klungkung: 0366 21047/23000
- BPBD Kabupaten Tabanan: 0361 811171
- BPBD Kabupaten Jembrana: 0365 41166, 082145730669
- BPBD Kabupaten Buleleng: 0362 23022
- Basarnas (SAR/Search and Rescue/Pencarian dan Penyelamatan) Bali 0361 703300/705536, 081138115115
- PMI (Palang Merah Indonesia) Provinsi Bali: 0361 483465, 081339474681
website:
Polisi = https://www.bali.polri.go.id/
Kata kunci: Website Kepolisian Daerah Bali, Website Kepolisian Republik Indonesia, Polisi, Indonesia, Bali, Denpasar, Badung (Kota/Kabupaten di Bali).
BPBD:
https://www.penanggulanganbencana.denpasarkota.go.id/
https://bpbd.baliprov.go.id/
https://bpbd.badungkab.go.id/
Kata kunci: Website BPBD Provinsi Bali, BPBD/Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Denpasar, Badung (Kota/Kabupaten di Bali)
Rumah Sakit:
https://sanglahhospitalbali.com/home/
https://www.rsudmangusada.badungkab.go.id/
Kata kunci: Website Rumah Sakit Pemerintah Denpasar, Provinsi, Kabupaten, Kota, Denpasar, Bali, Badung (Kota/Kabupaten di Bali).
Dinas Kebakaran dan Penyelamatan Kabupaten Badung= https://diskarmat.badungkab.go.id/
Telepon: 0361 411333 (pusat panggilan darurat), 0361 428449 Dinas Kebakaran dan Penyelamatan Kabupaten Badung
Kata kunci: Website Dinas Pemadam Kebakaran Denpasar, Badung (Kota/Kabupaten di Bali).
Sumber:
https://bpbd.baliprov.go.id/v/37/berita/article/2735/waspada-cuaca-ekstrem
https://diskarmat.badungkab.go.id/kontak-kami-197
https://bali.polri.go.id/yanmas/view/yanmas-120397-call-center-110
Alat bukti dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia
Alat bukti dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah
A. Keterangan saksi;
B. Keterangan ahli;
C. Surat;
D. Petunjuk;
E. Keterangan terdakwa.
A. Keterangan Saksi
Syarat sahnya keterangan saksi:
1) Harus mengucapkan sumpah atau janji
2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti menurut pasal 1 angka 27 KUHAP:
i. Yang saksi lihat sendiri;
ii. Saksi dengar sendiri;
iii. Dan saksi alami sendiri
iv. Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Terkait keterangan saksi ini terdapat perluasan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 65/PUU-VIII/2010 terkait “testimonium de auditu”.
3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan sesuai dengan penegasan pasal 185 ayat (1) KUHAP.
4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup (unnus testis nullus testis).
5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tanpa adanya hubungan satu dengan yang lain hanya pemborosan waktu.
Ditinjau dari sifat pengecualian yang membebaskan seseorang dari kewajiban menjadi saksi, dapat dikelompokkan:
- Orang yang tidak dapat di dengar keterangan dan “dapat mengundurkan diri”;
- Mereka yang “dapat meminta dibebaskan”;
- Mereka yang “boleh diperiksa tanpa sumpah”.
Ad.1 orang yang tidak dapat di dengar keterangan dan “dapat mengundurkan diri” dikaitkan dengan faktor “hubungan kekeluargaan” sedarah atau semenda antara terdakwa dengan saksi terdapat pada Pasal 168 KUHAP:
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat di dengar keterangan dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
- Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai terdakwa;
- Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
- Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Jika dihubungkan dengan Pasal 169 ayat (1) KUHAP:
- Pada prinsipnya orang-orang yang mempunyai hubungan pertalian kekeluargaan sedarah, semenda dan karena ikatan perkawinan dengan terdakwa, “tidak dapat” di dengar keterangannya sebagai saksi. Mereka tidak diperbolehkan menjadi saksi, sekalipun boleh di dengar keterangannya tanpa sumpah (Pasal 169 ayat (2) KUHAP)
- Akan tetapi, kalau mereka “menghendaki” untuk diperiksa sebagai saksi memberi keterangan dengan sumpah, kehendak mereka untuk menjadi saksi baru dapat terlaksana dengan syarat: “apabila penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya”. Berarti seorang yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau ikatan perkawinan dengan terdakwa seperti yang disebut dalam Pasal 168 KUHAP, dapat menjadi saksi apabila ia sendiri menghendaki dan kehendak itu harus “secara tegas” disetujui oleh penuntut umum dan terdakwa;
- Sebaliknya, kalaupun penuntut umum maupun terdakwa secara tegas meminta orang itu menjadi saksi, kalau dia tidak menghendaki, “tidak dapat diwajibkan” untuk menjadi saksi.
Ad. 2 Yang dapat minta “dibebaskan menjadi saksi”
Berdasarkan ketentuan Pasal 170 KUHAP terdapat sekelompok orang yang “dapat meminta dibebaskan” dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Mengenai hal pembebasan diri menjadi saksi, tidak mutlak sifatnya.
Adapun Pasal 170 KUHAP menyatakan:
- Mereka karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi yaitu tentang hal yang dipercaya kepada mereka.
- Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Ad. 3 Yang boleh diperiksa tanpa sumpah
Menurut Pasal 171 KUHAP: yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa disumpah ialah:
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
B. Keterangan Ahli
Pasal 186 KUHAP: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan Pasal 1 angka 28 KUHAP menyatakan: keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
C. Surat
Pasal 187 KUHAP menyatakan: surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang di dengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
D. Petunjuk
Diatur pada Pasal 188 KUHAP
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
(3) Penilaian dan kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
E. Keterangan Terdakwa
Terdapat pada Pasal 189 KUHAP
- Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
- Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu di dukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang di dakwakan kepadanya.
- Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
- Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Pasal 40 KUHAP: Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.
Pasal 42 KUHAP (1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
Selain dari alat bukti tersebut diatas, ada juga beberapa bukti seperti email, tangkapan layar, video, foto dan lain-lain yang diatur dalam Undang-undang Informasi dan transaksi elektronik.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
Pengertian alat bukti:
Alat bukti (bewijsmiddel) bermacam-macam bentuk dan jenis, yang mampu memberi keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Alat bukti mana diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugat atau dalil bantahan. Berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Macam-macam alat bukti dalam perkara perdata
Berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUHPerdata, maka di Indonesia dikenal 5 (lima) macam alat-alat bukti utama dalam perkara perdata, yaitu:
- Bukti Surat;
- Bukti Saksi;
- Persangkaan;
- Pengakuan;
- Sumpah.
Ad. 1 Alat Bukti Surat Diklasifikasikan Menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
A. Surat Biasa
Pada prinsipnya surat biasa ini dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti. Akan tetapi, apabila kemudian hari surat tersebut dijadikan alat bukti di persidangan maka hal ini bersifat insidental (kebetulan) saja. Contohnya terhadap surat-surat cinta, surat-surat sehubungan dengan korespondensi dagang, buku catatan penggunaan uang dan sebagainya.
B. Akta Otentik
Mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (Hakim, Notaris, Juru-sita, Pegawai Catatan Sipil, dll) yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat.
Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat berwenang yang disebut pejabat umum. Dengan catatan yang membuatnya pejabat yang cakap atau berwenang dan bentuk/isinya tidak cacat.
Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Akta Otentik yakni kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende).
Konkretnya, akta otentik dibuat memang sengaja untuk pembuktian. Karena bersifat untuk pembuktian maka akta otentik berdasarkan ketentuan pasal 1868 KUH Perdata dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: pertama, akta yang dibuat oleh pegawai umum. Akta jenis ini lazim disebut dengan istilah-istilah: akta pejabat, acte ambtelijk, relaas akta atau procesverbaal acte. Misalnya akta yang dibuat oleh Notaris, Camat, Panitera, Surat Panggilan Jurusita, Putusan Hakim dan sebagainya merupakan akta otentik yang dibuat oleh pegawai umum. Kedua, akta yang dibuat di hadapan pegawai umum. Akta jenis ini lazim disebut dengan istilah, akta partai atau Acte Partij. Pada prinsipnya dalam aspek pembuatannya maka akta partai inisiatif ada pada para pihak untuk membuatnya dan pegawai umum hanya mendengarkan, menyaksikan dan meletakkan perjanjian tersebut. Misalnya akta yang dibuat di hadapan Notaris tentang suatu perjanjian (sewa-menyewa, jual-beli dan sebagainya).
C. Akta di Bawah Tangan
Pengertian akta di bawah tangan merupakan akta yang tidak dibuat oleh dan dihadapan pegawai umum yang berwenang membuatnya, atau tegasnya, sebagaimana intisari pasal 1874 KUH Perdata, akta di bawah tangan dibuat oleh para pihak sendiri tanpa bantuan pegawai umum. Misalnya: Kuitansi, perjanjian utang-piutang, surat perjanjian sewa menyewa, surat pernyataan, register, surat-surat urusan rumah tangga dan sebagainya.
Daya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik.
Ad. 2 Alat Bukti Saksi:
Mengenai alat bukti saksi pada dasarnya diatur dalam Pasal 139-152, Pasal 162-172 HIR, Pasal 165-179, Pasal 306-309 RBg dan Pasal 1895, Pasal 1902-1908 KUH Perdata.
Esensi terpenting dari alat bukti saksi bahwa secara umum setiap peristiwa dapat dibuktikan dengan kesaksian, kecuali tegas-tegas undang-undang menentukan lain. Eksepsional hal ini Nampak misalnya pada perjanjian pendirian perseroan firma di antara persero firma itu sendiri harus dibuktikan dengan suatu akta notaris (Pasal 22 KUHD).
Terhadap person sebagai saksi maka pada asasnya semua orang yang telah dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) dapat menjadi saksi dan bahkan diwajibkan memberi kesaksian apabila diminta.
Sehubungan dengan kewajiban seseorang untuk menjadi saksi maka ada beberapa ketentuan yang mengatur orang yang tidak dapat di dengar sebagai saksi dan dapat menolak serta diminta untuk dibebaskan memberi kesaksian sebagaimana dirinci dalam ketentuan Pasal 145, 146 HIR, Pasal 172, 173, 174 RBg dan Pasal 1909, 1910 KUH Perdata dan beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yakni:
Orang-orang yang tidak dapat di dengar keterangannya sebagai saksi adalah:
- Keturunan lurus yang terikat dalam hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan salah satu pihak berperkara. Hal ini ditegaskan pula sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 84 K/Sip/1973 tanggal 25 Juni 1973 dalam perkara: Karsilah lawan 1. Murati, 2. Baeah dan 3. Wari.
- Suami dari salah satu pihak berperkara walaupun mereka telah bercerai. Hal ini pararel dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 140 K/Sip/1974 tanggal 6 Januari 1976 dalam perkara: 1. Ni Tanjung alias Ni Bukit, 2. Bukit al. I Daha lawan I Ngayus; dan
- Anak-anak yang tidak di diketahui dengan pasti apakah mereka telah berusia genap lima belas tahun dan orang-orang sakit gila walaupun mereka sekali-kali dapat berpikir secara waras. Aspek ini ditegaskan pula dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1409 K/Sip/1975 tanggal 12 Mei 1976 dalam perkara: 1. Umi Kalsum dkk., lawan Roekijah dan H. Maskur dkk.
Akan tetapi dalam perkara tertentu mereka cakap menjadi saksi, meskipun pihak-pihak yang berperkara terdiri dari keluarga sedarah atau semenda maupun suami atau istri. Hal ini diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUHPerdata dan aturan lain.
Orang-orang yang dapat minta dibebaskan/dapat menolak sebagai saksi, yaitu:
- Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak berperkara.
- Keluarga keturunan lurus serta saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak berperkara dan
- Semua orang berdasarkan kedudukannya, usahanya atau jabatannya yang sah berkewajiban memegang rahasia akan tetapi semata-mata tentang pengetahuan yang karena kedudukan, usaha atau jabatan tersebut telah dipercaya kepada mereka.
Pada dasarnya apabila seseorang menjadi saksi dalam perkara perdata maka yang diterangkan hanyalah terbatas kepada apa yang di lihat, di dengar atau di alami sendiri. Kemudian tiap-tiap kesaksian tersebut haruslah disertai dengan alasan-alasan tentang apa sebabnya, bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan tersebut.
Ad. 3 Alat Bukti Persangkaan (Vermoedens)
Eksistensi alat bukti persangkaan yang lazim dalam doktrina disebut dengan istilah “vermoedens” atau “presumptions” Nampak terlihat apabila dalam pemeriksaan perkara perdata sukar ditemukan alat bukti saksi yang melihat, mendengar atau merasakan sendiri perkara itu sehingga peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan pembuktiannya melalui persangkaan-persangkaan.
Dari Pengertian Pasal 1915 BW dan praktik peradilan maka ada 2 (dua) macam persangkaan, yaitu:
- Persangkaan menurut undang-undang
- Persangkaan menurut hakim
Ad. 1) Persangkaan menurut undang-undang
Menurut ketentuan Pasal 1916 BW persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Contoh: tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya (Pasal 250 BW). Dalam konteks ini berarti undang-undang menyimpulkan bahwa dari adanya perkawinan maka anak yang lahir selama perkawinan itu ditumbuhkan oleh sang suami.
Ad. 2) Persangkaan menurut Hakim
Identik dengan persangkaan menurut undang-undang maka dalam konteks ini penarikan kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa adalah hakim. Misalnya: dalam perkara permohonan pengangkatan anak di mana si A (pemohon) akan mengangkat anak yang Bernama si B. pada persidangan di Pengadilan Negeri si A menerangkan bahwa anak yang akan diangkat tersebut telah lama dipelihara olehnya. Kemudian dalam persidangan ternyata anak tersebut telah memanggil dengan sebutan “ma” kepada si pemohon. Hal ini memberi persangkaan dan Hakim dapat menarik suatu persangkaan bahwa memang benar anak tersebut telah di pelihara oleh si A (pemohon).
Ad. 4 Alat Bukti Pengakuan (Bekentenis Confession)
Pada dasarnya pengakuan merupakan suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau lisan dari salah satu pihak berperkara di mana isinya membenarkan dalil lawan baik sebagian atau seluruhnya. Jadi konkretnya pengakuan merupakan keterangan sepihak dan untuk itu tidaklah diperlukan persetujuan dari pihak lainnya.
Menurut pandangan doktrina pada asasnya pengakuan (pasal 1923 BW) dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Pengakuan di muka Hakim di Persidangan (Gerechtelijke Bekentenis)
Pengakuan di muka persidangan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs) dan mengikat yang bersangkutan atau dengan perantaraan seorang yang khusus di kuasakan untuk itu (Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg dan Pasal 1925 BW). Dalam konteks ini berarti bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang diakui sebagai benar dan mengabulkan gugatan berdasarkan atas dalil-dalil tersebut.
b. Pengakuan di luar Sidang
Pengakuan di luar sidang adalah lawan atau kebalikan dari pengakuan dalam persidangan atau di muka hakim yang digariskan Pasal 1925 BW dan Pasal 174 HIR. Berupa pengakuan atau pernyataan “pembenaran” tentang dalil gugatan atau bantahan maupun hak atau fakta, namun pernyataan itu disampaikan atau diucapkan di luar sidang pengadilan.
Dalam praktik pengakuan di luar sidang dapat dilakukan dengan bentuk tertulis atau lisan dan diatur dalam pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg dan Pasal 1927-1928 BW.
Dalam praktik dan menurut ilmu pengetahuan hukum maka selain 2 (dua) macam pengakuan tersebut maka dikenal pula adanya 3 (tiga) macam pengakuan lainnya, yaitu:
- Pengakuan murni (Aveu pur et Simple): pengakuan murni ini sifatnya adalah sederhana dan pada pokoknya membenarkan semua dalil lawan (Penggugat).
- Pengakuan dengan kualifikasi (Gequaliceerde Bekentenis/Aveu Qualifie): pada pokoknya pengakuan dengan kualifikasi merupakan pengakuan-pengakuan disertai penyangkalan sebagian dari dalil lawan.
- Pengakuan dengan klausula (Geelausuleerde Bekentenis/Aveu Complexe): pada dasarnya pengakuan berklausula diberikan dengan melakukan keterangan tambahan yang sifatnya membebaskan.
Ad. 5 Alat Bukti Sumpah
Pengertian sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan:
- Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu takut atas murka Tuhan, apabila dia berbohong;
- Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.
Alat bukti sumpah dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
- Sumpah Pemutus
Dalam praktik, sumpah pemutus lazim disebut dengan istilah-istilah: “sumpah menentukan”, “sumpah dicisoir” atau “decisoir eed” yang diatur dalam Pasal 156 HIR, Pasal 183 RBg dan Pasal 1930-1939 KUHPerdata. Adapun maksud esensial dari sumpah pemutus adalah sifatnya untuk memutus perkara (litis decisoir), dibebankan hakim kepada salah satu pihak atas dasar permintaan lawannya karena tiadanya alat bukti.
- Sumpah Pelengkap
Sumpah pelengkap atau lazim disebut dengan istilah-istilah: “sumpah penambah”, “sumpah supletoir” atau “supletoire eed”. Sumpah ini diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 RBg dan Pasal 1940 KUHPerdata dan diperintahkan hakim kepada salah satu pihak apabila hanya ada sedikit bukti terhadap gugatan penggugat atau untuk menguatkan kebenaran bantahan tergugat, akan tetapi bukti tersebut belumlah cukup dan tidak ada kemungkinan menambah bukti yang belum lengkap itu dengan bukti lain untuk menyempurnakan pembuktian tersebut. Dalam hal seperti itu hakim karena jabatannya (ambthalve) dapat membebankan pihak yang sebelumnya ada permulaan pembuktian untuk mengucapkan sumpah pelengkap/tambahan agar perkara dapat diputus.
- Sumpah Penaksir
Dalam praktik lazim sumpah penaksir disebut dengan istilah-istilah: “sumpah taxatoir”, “aestimatoire eed”, “waarderingseed” atau “schattingseed”, yaitu sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya kepada penggugat (penggugat dalam konvensi/tergugat dalam rekonvensi) untuk menentukan besarnya jumlah uang pengganti kerugian. Pembebanan sumpah penaksir kepada penggugat dilakukan secara selektif dalam artian bahwa haruslah tidak ditemukan cara lain untuk menentukan besarnya tuntutan jumlah ganti kerugian dan hakim dapat menetapkan plafon jumlahnya (Pasal 1942 KUHPerdata).
Keterangan Ahli (Deskundigenbericht)
Esensi pokok dari keterangan ahli adalah memberikan pendapat terhadap hal-hal yang diajukan kepadanya sesuai dengan keahliannya dan bertujuan untuk memperjelas duduknya perkara.
Ada juga beberapa bukti seperti email, tangkapan layar, video dan foto dan lain-lain yang diatur dalam Undang-undang Informasi dan transaksi elektronik.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda dengan kami.
Sumber:
Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., 2005, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Yahya Harahap, S.H., 2008, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
Kriminologi
Kriminologi termasuk cabang ilmu yang baru. Berbeda dengan hukum pidana yang muncul begitu manusia bermasyarakat. Kriminologi baru berkembang tahun 1850 bersama-sama dengan sosiologi, antropologi dan psikologi. Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lain (homo homini lupus), selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain. Oleh sebab itu, maka diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupannya. Hal itu sangat penting demi menjamin rasa aman bagi manusia lainnya.
Nama kriminologi yang disampaikan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang antropolog Prancis, secara harfiah berasal dari kata “Crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan; maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. Beberapa sarjana memberikan Pengertian yang berbeda mengenai kriminologi ini. Diantaranya, Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
Salah satu dari teori kriminologi yang terkenal adalah teori Differential Assosiation.
Differential Association Theory
Sutherland menemukan istilah differential association untuk menjelaskan proses belajar tingkah laku kriminal melalui interaksi sosial. Setiap orang, menurutnya, mungkin saja melakukan kontak (hubungan) dengan “definition favorable to violation of law” atau dengan “definitions unfavorable to violation of law”.
Rasio dari definisi-definisi atau pandangan-pandangan tentang kejahatan ini – apakah pengaruh-pengaruh kriminal atau non-kriminal lebih kuat dalam kehidupan seseorang menentukan ia menganut atau tidak kejahatan sebagai satu jalan hidup yang diterima. Dengan kata lain rasio dari definisi-definisi (kriminal terhadap non kriminal) menentukan apakah seseorang akan terlibat dalam tingkah laku kriminal.
Sutherland memperkenalkan differential association theory dalam buku teksnya Principle of Criminology pada tahun 1939. Sejak saat itu para sarjana membaca, menguji, melakukan pengujian ulang, dan terkadang mengkritik teori ini, yang diklaim dapat menjelaskan perkembangan semua tingkah laku kriminal.
Differential association di dasarkan pada sembilan proposisi (dalil), yaitu:
- Criminal behavior is learned (tingkah laku criminal dipelajari).
- Criminal behavior is learned in interaction with other person in a process of communication (tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam proses komunikasi). Seseorang tidak begitu saja menjadi kriminal hanya karena hidup dalam suatu lingkungan yang kriminal. Kejahatan dipelajari dengan partisipasi bersama orang lain baik dalam komunikasi verbal maupun non-verbal.
- The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal groups (bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok orang yang intim/dekat). Keluarga dan kawan-kawan dekat mempunyai pengaruh paling besar dalam mempelajari tingkah laku menyimpang. Komunikasi-komunikasi mereka jauh lebih banyak daripada media massa, seperti film, televisi, dan surat kabar.
- When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes (ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pembelajaran itu termasuk (a) Teknik-teknik melakukan kejahatan yang kadang sangat sulit, kadang sangat mudah dan (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap). Delinquent muda bukan saja belajar bagaimana mencuri di toko, membongkar kotak, membuka kunci dan sebagainya, tapi juga belajar bagaimana merasionalisasi dan membela tindakan-tindakan mereka. Seorang pencuri akan ditemani pencuri lain selama waktu tertentu sebelum dia melakukan sendiri. Dengan kata lain, para penjahat juga belajar ketrampilan dan memperoleh pengalaman.
- The specific direction of motives and drives is learned from definition of the legal codes as favorable or unfavorable (arah khusus dari motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia menguntungkan atau tidak). Di beberapa masyarakat seorang individu dikelilingi oleh orang-orang yang tanpa kecuali mendefinisikan aturan-aturan hukum sebagai aturan yang harus dijalankan, sementara di tempat lain dia dikelilingi oleh orang-orang yang definisi-definisinya menguntungkan untuk melanggar aturan-aturan hukum. Tidak setiap orang dalam masyarakat kita setuju bahwa hukum harus ditaati. Beberapa orang mendefinisikan aturan hukum itu sebagai tidak penting.
- A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definitions unfavorable to violation of law (seseorang menjadi delinquent karena definisi-definisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum). Ini merupakan prinsip kunci (key principle) dari differential association, arah utama dari teori ini. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku kriminal bukanlah semata-mata persoalan hubungan dengan teman/kawan yang buruk. Tetapi, mempelajari tingkah kriminal tergantung pada berapa banyak definisi yang kita pelajari yang menguntungkan untuk pelanggaran hukum sebagai lawan dari definisi yang tidak menguntungkan untuk pelanggaran hukum.
- Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity (asosiasi differential itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi/kekerapannya, lamanya, prioritasnya dan intensitasnya). Tingkat dari asosiasi-asosiasi/definisi-definisi seseorang yang akan mengakibatkan kriminalitas berkaitan dengan kekerapan kontak, berapa lamanya dan arti dari asosiasi/definisi kepada si individu.
- The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning (proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola-pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain). Mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal adalah mirip sekali dengan mempelajari pola-pola tingkah laku konvensional dan tidak sekedar suatu persoalan pengamatan dan peniruan.
- While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same needs and values (walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku non kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama). Pencuri toko mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang-orang lain bekerja untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Motif-motif – frustasi, nafsu untuk mengumpulkan harta serta status sosial, konsep diri yang rendah dan semacamnya menjelaskan baik tingkah laku kriminal maupun non kriminal.
Kritik terhadap Teori Differential Association:
- Mengapa tidak setiap orang yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku kriminal yang lebih banyak menjadi seorang penjahat?
- Apakah teori ini benar dapat menjelaskan semua kejahatan, mungkin ia dapat diterapkan untuk pencurian, tetapi bagaimana dengan pembunuhan yang disebabkan oleh kemarahan karena cemburu?
- Mengapa beberapa orang yang mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal tidak terlibat dalam perbuatan kriminal?
- Teori ini menjelaskan bagaimana tingkah laku kriminal dipelajari, tetapi ia tidak menjelaskan bagaimana pertama kali Teknik-teknik dan definisi-definisi kriminal itu ada? Atau dengan kata lain, teori ini tidak menjelaskan kepada kita bagaimana penjahat yang pertama menjadi penjahat.
Sumber:
Yesmil Anwar dan Adang, 2010, Kriminologi, PT. Refika Aditama, Bandung.
Topo Santoso, S.H.,M.H., dan Eva Achjani Zulfa, S.H., 2009, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta.
Pembelaan Terpaksa dan Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam KUHP diatur pada Pasal 49 ayat (1) yang menyatakan, “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”. Kendatipun dalam Memorie van Toelichting tidak ditemukan istilah “Pembelaan Terpaksa” namun ketentuan Pasal 49 ayat (1) secara implisit memberikan persyaratan terhadap pembelaan terpaksa.
Pada awalnya, pembelaan terpaksa tidak dikenal karena didasarkan pada postulat di zaman kuno yang menyatakan, vim vi repellere licet. Artinya, kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan[1]. Dalam perkembangannya adagium ini sudah ditinggalkan dalam rangka menegakkan ketertiban umum. Demikian pula prinsip moral dalam proses pidana (non scripta sed nata lex)[2], tidak selayaknya orang yang melakukan pembelaan terpaksa dijatuhi pidana. Esensi dari pembelaan terpaksa adalah pelaku melakukan tindakan untuk menghindari kejahatan yang lebih besar atau menghindari bahaya yang mengancam[3]. Pembelaan terpaksa adalah alasan pembenar yang menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan. Necessitas excusat aut extenuate delictum in capitalibus, quod non operator idem in civilibus. Artinya, pembelaan terpaksa membebaskan seseorang dari hukuman namun tidak demikian dalam perkara perdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP, ada beberapa persyaratan pembelaan terpaksa. Pertama, ada serangan seketika. Kedua, serangan tersebut bersifat melawan hukum. Ketiga, pembelaan merupakan keharusan. Keempat, cara pembelaan adalah patut[4]. Mengenai persyaratan keempat ini tidak disebut dalam pasal a quo. Perihal persyaratan pertama dan kedua, ongeblikkelijke wederrechtelijke aanranding atau serangan seketika yang melawan hukum, paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dipilah. Apa yang dimaksud dengan serangan? Apa yang dimaksud dengan seketika? Dan apa yang dimaksud dengan melawan hukum?
Pengertian serangan dalam pasal a quo adalah serangan nyata yang berlanjut, baik terhadap badan, martabat atau kesusilaan dan harta benda[5]. Sedangkan Pengertian seketika, yaitu antara saat melihat adanya serangan dan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada selang waktu yang lama. Tegasnya, begitu terjadi serangan, seketika ada pembelaan[6]. Sementara Pengertian melawan hukum adalah serangan yang bertentangan atau melanggar undang-undang[7].
Perhatikan ilustrasi berikut: A memukul B dengan sekuat tenaga dan hanya dalam satu kali pukulan mengenai muka B sehingga B terjatuh, A kemudian berbalik dan meninggalkan B. ketika A berbalik, B kemudian berdiri dan memukul A. tindakan B tidak termasuk dalam pembelaan terpaksa. Argumentasinya: Pertama, A telah menghentikan serangan. Artinya, serangan itu tidak berlanjut. Kedua, tidak ada pembelaan seketika dari B saat A memukulnya.
Contoh lain: X menunggu Y yang sedang berada di dalam kelas. Niat X adalah untuk menganiaya Y saat keluar dari kelas. Y diberitahu oleh Z, bahwa kalau ia keluar kelas, X berniat menganiayanya. Ketika Y keluar dari kelas, dengan seketika Y memukul X. tindakan Y tidak termasuk pembelaan terpaksa karena X yang menunggu Y diluar untuk dianiaya bukanlah suatu serangan nyata.
Bandingkan dengan contoh berikut: C tidak senang dengan D. ketika berjalan di jalan yang sepi, C kemudian menodong D dengan pistol. Seketika D langsung menendang tangan C yang memegang pistol hingga terjatuh. Tindakan D digolongkan pembelaan terpaksa karena C yang menodongkan pistol ke arah D termasuk ancaman serangan.
Perihal serangan Vos memberikan peryataan dan ilustrasi sebagai berikut:
“…. De aanranding kan nog voortduren en verdediging nog toelaatbaar zijn, ook als is het delict, waarin de aanranding bestaat, reeds voltooid. Men kan zeggen, dat de aanranding voortduurt, zolang de aanrander nog binnen het bereik van de aangevallene is, mits natuurlijk verdere benadeling dreight en er du snog iets te verdedigen valt. Voorbeeld: iemand ziet een dief met het gestolen goed weglopen, maar ziet kans hem het voorwerp met geweld te ontrukken, voordat hij buiten zijn bereik is gekomen; er is dan een voltooid delict van diefstal maar verdediging is nog teogelaten”[8].
(Serangan tidak terbatas pada selesainya perbuatan yang merupakan serangan itu. Serangan itu merupakan delik sehingga serangannya tidak terbatas pada selesainya delik. Serangan itu masih berlangsung selama masih ada kemungkinan bahwa penyerang dapat melanjutkan perbuatan-perbuatan merugikan orang yang diserang. Selama masih ada kemungkinan tersebut, maka masih tetap ada keharusan untuk membela diri. Contohnya: seseorang mencuri barang di dalam rumah. Selama pencuri masih berada di dalam rumah, maka masih ada kesempatan bagi yang punya barang untuk merebut Kembali barang tersebut. Selama pencuri masih berada di dalam rumah, maka masih ada serangan).
Berikut adalah persyaratan ketiga pembelaan terpaksa yaitu pembelaan merupakan keharusan. Artinya sudah tidak ada lagi jalan lain untuk menghindar dari serangan tersebut. Misalnya, dalam sebuah ruangan tertutup, S yang berniat membunuh T, tiba-tiba masuk dan mengunci pintu kemudian S dengan pisau yang terhunus mendekati T untuk menusuknya. T kemudian memberikan perlawanan atas tindakan S dengan menggunakan ilmu bela diri yang dikuasainya. Tindakan T termasuk dalam pembelaan terpaksa karena ada serangan seketika yang melawan hukum dan pembelaan tersebut merupakan suatu keharusan. Bandingkan jika S yang berniat membunuh T, kemudian dengan pisau yang terhunuh S mendekati T tetapi keduanya berada di tanah lapang. Disini, T masih bisa menghindar dari S dengan melarikan diri.
Selanjutnya terkait persyaratan keempat bahwa cara pembelaan adalah patut. Terhadap persyaratan keempat, demikian pula persyaratan ketiga di atas, sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dalam alasan penghapus pidana pada umumnya termasuk juga pembelaan terpaksa. Pertama, prinsip subsidaritas. Artinya, tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan lain sehingga pembelaan tersebut harus dilakukan. Tegasnya, pembelaan tidak menjadi keharusan selama masih bisa menghindar[9].
Kedua, prinsip proporsionalitas. Artinya, harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar. Dalam konteks pembelaan terpaksa, delik yang dilakukan untuk pembelaan diri harus seimbang dengan serangan yang dihadapi[10]. Moeljatno memberi contoh Putusan Hoge Raad tahun 1934. Duduk perkara: seorang pemilik sero (perangkap) ikan menggunakan tali untuk menghubungan sero dengan pelatuk pistol. Jika ada pencuri yang akan mengambil ikan dalam sero tadi, maka tali akan bergerak sehingga melepaskan tembakan. Ketika ada pencuri yang menyentuh sero, dengan sendirinya tali bergerak dan melepaskan tembakan mengenai mata pencuri yang mengakibatkan kebutaan. Hoge Raad menolak pembelaan terpaksa pemilik sero atas dasar Pasal 49 ayat (1) KUHP dengan alasan tidak memenuhi prinsip proporsionalitas[11].
Ketiga, prinsip culpa in causa. Artinya, seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa[12]. Sebagai misal, A menghina B secara lisan. Oleh karena hinaan tersebut, B menghampiri A dan hendak menamparnya. Ketika B hendak menampar A, dengan seketika A memukul B sehingga terjatuh. Tindakan A tidak dapat dikatakan pembelaan terpaksa karena ulah A sendiri yang mengakibatkan B menamparnya.
Selanjutnya terkait kepentingan apa saja yang mungkin diserang sehingga pembelaan terpaksa dibolehkan. Pasal a quo secara tegas menyatakan bahwa serangan tersebut baik terhadap diri sendiri atau orang lain, terhadap kehormatan dan terhadap harta benda. Serangan terhadap diri sendiri adalah dalam Pengertian serangan terhadap nyawa dan atau fisik. Sedangkan serangan terhadap kehormatan yang dimaksud adalah kehormatan dalam kaitannya dengan kesusilaan. Sementara serangan terhadap harta benda termasuk di dalamnya adalah hak keperdataan[13]. Kendatipun demikian, Fletcher membatasi pembelaan terpaksa hanya meliputi nyawa dan tubuh seseorang (… the scope of the defense is likely to be limited to saving one’s own life or limb[14]).
Penulis (Prof. Eddy O.S. Hiariej) tidak sependapat dengan Fletcher atas dasar argumentasi sebagai berikut: Pertama, Pasal 49 ayat (1) secara tegas telah mentukan objek serangan yang boleh dilakukan pembelaan terpaksa. Tidak hanya nyawa dan tubuh semata, melainkan juga kehormatan dan harta benda. Kedua, merujuk pada fungsi melindungi dari hukum pidana, bahwa kepentingan individu yang dilindungi adalah nyawa, kehormatan dalam pengertian kesusilaan dan harta benda.
Pembelaan terpaksa melampaui batas
Kalau pembelaan terpaksa digolongkan sebagai pembenar, maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas merupakan alasan pemaaf. Artinya, elemen dapat dicelanya pelaku dihapuskan. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweerexces terdapat dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan[15]. Ilustrasi penulis (Prof. Eddy O.S. Hiariej) sebagai berikut: seorang Wanita dalam ruangan tertutup hendak diperkosa oleh seorang pria. Pria tersebut sudah berhasil menangkap badan Wanita, namun dengan sekuat tenaga wanita tersebut menedang alat vital pria hingga terjatuh. Tidak berhenti sampai di situ, Wanita tersebut memukulnya dengan benda-benda di sekelilingnya sampai pria tersebut tidak berdaya. Dalam konteks yang demikian secara teoretis Wanita tersebut melakukan dua pembelaan. Pembelaan pertama adalah noodweer dengan cara menendang alat vital pria itu, sedangkan pembelaan kedua adalah noodweerexces, ketika Wanita tersebut memukulkan benda-benda yang ada disekelilingnya kepada pria itu hingga tidak berdaya.
Kedua, orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya drastis untuk membela diri[16]. Ilustrasinya: seorang polisi yang begitu sampai di rumah melihat istrinya diperkosa oleh dua orang perampok. Dengan serta merta, polisi tersebut mengambil pistol yang dibawanya dan langsung menembak ke arah pelaku sehingga mengakibatkan mati. Dalam situasi ini yang timbul sebenarnya adalah noodweer, namun polisi tersebut melakukan pembelaan yang tidak seimbang. Artinya prinsip proporsionalitas dalam pembelaan terpaksa dilanggar sehingga perbuatan polisi yang menembak para pelaku menjadi pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Ada dua syarat untuk dapat menyatakan seseorang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pertama, harus ada situasi yang menimbulkan pembelaan terpaksa seperti yang telah dibahas di atas (Pasal 49 ayat (1) KUHP). Kedua, harus ada kegoncangan jiwa yang hebat akibat serangan tersebut sehingga menimbulkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Menurut Hazewinkel Suringa kegoncangan jiwa yang hebat tidak hanya asthenische affecten berupa kecemasan, rasa takut, atau ketidakberdayaan, tetapi juga sthenische affecten seperti kemarahan, kemurkaan atau ketersinggungan.
Menurut Sudarto, ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pertama, kelampauan batas yang diperlukan. Kedua, pembelaan dilakukan sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat. Ketiga, kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan. Artinya ada hubungan kausalitas antara kegoncangan jiwa dengan serangan. Alasan tidak dijatuhi pidana terhadap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas bukan karena tidak ada kesalahan, namun pembentuk undang-undang menganggap adil jika pelaku yang menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi pidana. Hal ini berdasarkan adagium non tam ira, quam causa irae excusat, artinya tindakan atas suatu serangan yang provokatif, dimaafkan.
Silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H.,M.Hum., 2014, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
[1] Hazewinkel Suringa, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[2] G.A. van Hamel, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[3] Routhledge, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[4] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[5] Jan Remmelink, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[6] Moeljatno, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[7] Hazewinkel Suringa, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[8] H.B. Vos Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[9] J.E. Jonkers, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[10] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[11] Moeljatno, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[12] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[13] D. Simons, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[14] George P. Fletcher, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[15] Jan Remmelink, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[16] Loc. Cit.