Peninjauan Kembali Pada Hukum Acara Pidana
Peninjauan Kembali Pada Hukum Acara Pidana
Peninjauan kembali merupakan Upaya hukum luar biasa terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP yakni terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
- Putusan Pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Terhadap putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde) peninjauan kembali dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung. Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, Upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi. Selama upaya hukum biasa masih terbuka, upaya hukum biasa itu dulu yang mesti dilalui. Tahap proses upaya peninjauan kembali adalah tahap proses yang telah melampaui upaya hukum biasa.
b. Dapat diajukan terhadap semua putusan Pengadilan
Sebagaimana yang sudah ditegaskan, upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya peninjauan kembali dapat diajukan terhadap semua putusan instansi Pengadilan, dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan negeri, asalkan putusan instansi itu telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap putusan Pengadilan Tinggi, dapat diajukan permintaan peninjauan kembali, jika terhadap putusan itu sudah tertutup jalan mengajukan permintaan kasasi, sebab putusan Pengadilan Tinggi yang demikian sudah melekat sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sejak itu terbuka kemungkinan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Demikian pula terhadap putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan upaya peninjauan kembali, setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali
Mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali, ditegaskan dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP, yakni:
- Terpidana atau
- Ahli warisnya.
Dari penegasan ketentuan ini, jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali. Sebabnya undang-undang tidak memberi hak kepada penuntut umum karena upaya hukum ini bertujuan untuk melindungi kepentingan terpidana. Untuk kepentingan terpidana undang-undang membuka kemungkinan untuk meninjau kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena itu selayaknya hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Lagipula sisi lain upaya hukum luar biasa ini yakni pada upaya kasasi demi kepentingan hukum, undang-undang telah membuka kesempatan kepada Jaksa Agung untuk membela kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran dan keadilan undang-undang telah membuka upaya hukum bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum. Oleh karena itu, hak mengajukan permintaan peninjuan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan hak mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan undang-undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. Dengan demikian, melalui upaya hukum luar biasa, sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang. Terkait hali ini, Mahkamah Konstitusi memberikan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XXI/2023 yang menyatakan:
- Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan Pasal 30C huruf h dan penjelasan Pasal 30C huruf h Undang-undang No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 298 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6755) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
- Permintaan Peninjauan Kembali oleh Kuasa
Sebagaimana yang sudah dijelaskan, Pasal 263 ayat 1 hanya memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Apakah ketentuan ini melarang penasihat hukum atau seorang yang dikuasakan terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali? Memang kalau secara ketat berpegang pada ketentuan Pasal 263 ayat 1, undang-undang tidak memberi hak kepada kuasa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Harus langsung terpidana atau ahli waris. Ketentuan yang seperti ini dijumpai dalam Pasal 244 KUHAP. Yang menentukan permohonan kasasi hanya dapat dilakukan oleh terdakwa yang bersangkutan, tidak dapat dikuasakan kepada penasihat hukum atau orang lain. Akan tetapi, ketentuan Pasal 244 tersebut diperlunak oleh angka 24 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 2983, tanggal 10 Desember 1983. Oleh angka 24 Lampiran tadi yang merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, telah memperkenankan kuasa mengajukan permohonan kasasi. Cuman ada syaratnya, pemberian kuasa itu harus dibuat terdakwa “secara khusus”. Artinya penunjukan kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi harus dibuat terdakwa dalam surat kuasa yang khusus untuk tujuan permintaan permohonan kasasi.
Bagaimana halnya dalam permohonan peninjauan kembali? Apakah dapat diminta oleh seorang kuasa? Menurut hemat M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, menyatakan “Dapat”! Dasar hukumnya, diterapkan “secara konsisten” pedoman yang terdapat pada angka 24 Lampiran Menteri kehakiman tersebut. Alasan penerapan pedoman petunjuk yang terdapat pada angka 24 ini ke dalam proses permohonan peninjauan kembali, didasarkan pada motivasi yang terkandung dalam pedoman itu sendiri. Motivasi memperbolehkan seorang kuasa mengajukan permintaan kasasi, tiada lain demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terdakwa. Kalau begitu dengan motivasi yang sama, pedoman petunjuk angka 24 tadi dapat diterapkan dalam permintaan peninjauan kembali, demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terpidana. Bukankah setiap orang berhak menunjuk penasihat hukum atau kuasa yang dapat diharapkan membela kepentingan dan melindungi hak asasi!
- Alasan Peninjauan Kembali
Pasal 263 ayat 2 memuat alasan yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali yang dituangkan pemohon dalam surat permintaan peninjauan kembali. Dalam surat permintaan atau permohonan peninjauan kembali itulah pemohon menyebut secara jelas dasar alasan permintaan.
Memperhatikan ketentuan Pasal 264 ayat 1 dan ayat 4, syarat formal menentukan sahnya permohonan peninjauan kembali ialah surat permintaan peninjauan kembali. Tanpa surat permintaan yang memuat alasan-alasan sebagai dasar, permintaan yang demikian dianggap tidak ada. Pendapat ini di dukung oleh Pasal 264 ayat 2 dan ayat 4 yang menegaskan:
- Ayat 1 kalimat terakhir menegaskan pemohon harus menyebut secara jelas alasan permintaan peninjauan kembali.
- Ayat 4 menegaskan, jika pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjuan kembali, wajib menanyakan alasannya kepada pemohon dan untuk itu panitera membuat surat permintaan peninjauan kembali.
Bertitik tolak dari penegasan di atas, syarat formal permohonan peninjauan kembali ialah adanya surat permintaan yang memuat alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali. Apakah surat permintaan yang memuat alasan itu dibuat sendiri oleh terpidana atau panitera Pengadilan Negeri sesuai dengan Pasal 264 ayat 4, tidak menjadi soal. Yang penting sebagai syarat sahnya permohonan, harus diajukan dalam surat permintaan peninjauan kembali yang menjelaskan alasan-alasan yang mendasari permohonan. Dan alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali, sudah dirinci undang-undang dalam Pasal 263 ayat 2 serta ayat 3 KUHAP. Namun alasan pokok yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali ialah hal-hal yang disebut satu per satu dalam Pasal 263 ayat 2.
a. Apabila Terdapat Keadaan Baru
Alasan pertama yang dapat dijadikan landasan mendasari permintaan peninjauan kembali adalah “keadaan baru” atau novum. Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat”:
- Seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau
- Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan factor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
- Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam Pelbagai Putusan Terdapat Saling Pertentangan
Alasan kedua yang dapat dipergunakan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali, yakni apabila dalam pelbagai putusan terdapat:
- Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
- Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara,
- Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.
c. Apabila Terdapat Kekhilafan yang Nyata dalam Putusan
Alasan ketiga yang dijadikan dasar mengajukan permintaan peninjauan kembali, apabila dalam putusan terdapat dengan jelas ataupun terlihat dengan nyata:
- Kekhilafan hakim, atau
- Kekeliruan hakim.
Hakim sebagai manusia, tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan itu bisa terjadi dalam semua Tingkat Pengadilan.
- Beberapa Asas yang Ditentukan Dalam Upaya Peninjauan Kembali
a. Pidana yang Dijatuhkan Tidak Boleh Melebihi Putusan Semula
Asas ini diatur dalam Pasal 266 ayat 3, yang menegaskan, pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali “tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula”. Mahkamah Agung tidak boleh menjatuhkan putusan yang melebihi putusan pidana semula. Yang diperkenankan adalah menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 266 ayat 2 huruf b angka 4. Prinsip yang diatur dalam Pasal 266 ayat 3 ini sejalan dengan tujuan yang terkandung dalam Lembaga upaya peninjauan kembali, yang bermaksud membuka kesempatan kepada Terpidana untuk membela kepentingan, agar bisa terlepas dari ketidakbenaran penegakan hukum. Oleh karena upaya ini memberi kesempatan untuk membela kepentingannya, tidak patut jika sarana yang memberi peluang untuk melumpuhkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, berbalik menjadi boomerang merugikan diri pemohon. Lain halnya dalam putusan Tingkat banding atau kasasi, dalam proses tersebut putusan belum berkekuatan hukum tetap, sehingga masih diperkenankan menjatuhkan putusan baik yang berupa memberatkan atau meringankan kepada terdakwa.
b. Permintaan Peninjauan Kembali Tidak Menangguhkan Pelaksanaan Putusan
Asas kedua pada upaya peninjauan kembali “tidak mutlak” menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan eksekusi. Peninjauan kembali tidak merupakan alasan yang menghambat apalagi menghapus pelaksanaan putusan. Proses permintaan peninjauan kembali berjalan terus, namun pelaksanaan putusan juga berjalan terus. Apakah ketentuan ini “imperative” atau tidak? Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Beliau berpendapat “tidak imperative” secara kaku! Dapat ditinjau secara kasuistis, tergantung pada keadaan yang meliputi permintaan peninjuan kembali. Masih menurut M. Yahya Harahap, S.H., seandainya berdasar pemeriksaan Pengadilan Negeri, alasan yang diajukan terpidana sedemikan rupa sifat dan kualitasnya, benar-benar diyakini dapat melumpuhkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali, lebih bijaksana untuk menangguhkan pelaksanaan eksekusi. Benar kita mengakui bahwa upaya peninjauan kembali tidak mulus dan mudah, dan seperti dikatakan, dari sekian banyak permintaan, hanya satu dua yang dibenarkan.
Akan tetapi, dalam hal-hal yang eksepsional dapat dilakukan penangguhan atau penghentian pelaksanaan putusan, sehingga ketentuan Pasal 268 ayat 1 dapat sedikit diperlunak: permintaan peninjauan kembali “tidak secara mutlak” menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan. Namun anjuran pelunakan bunyi Pasal 268 ayat 1 jangan disalahgunakan. Sikap serampangan menimbulkan bahaya dan keguncangan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Yang dikehendaki ialah sikap dan kebijaksanaan yang matang dan beralasan serta mengaitkan dengan jenis tindak pidana maupun dengan sifat dan kualitas alasan yang menjadi landasan permintaan peninjauan kembali.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19106 (diakses tanggal 18 Desember 2024 Pukul 7.09AM).
Hak Tersangka dan Terdakwa
Hak Tersangka dan Terdakwa
KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Pasal 50 KUHAP
1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke Pengadilan oleh penuntut umum.
3) Terdakwa berhak segera diadili oleh Pengadilan.
Pasal 51 KUHAP, untuk mempersiapkan pembelaan:
1) Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam Bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
2) Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam Bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.
Pasal 52 KUHAP
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan Pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Pasal 53 KUHAP
1) Dalam pemeriksaan pada Tingkat penyidikan dan Pengadilan tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru Bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.
2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal 177 KUHAP
1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru Bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
2) Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi juru-bahasa dalam perkara itu.
Pasal 178 KUHAP
1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.
Pasal 54 KUHAP
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap Tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 55 KUHAP
Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal 56 KUHAP
1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua Tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Pasal 57 KUHAP
1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.
Pasal 58 KUHAP
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan Kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.
Pasal 59 KUHAP
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua Tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
Pasal 60 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.
Pasal 61 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.
Pasal 62 KUHAP
1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.
2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk di duga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan.
3) Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi “telah ditilik”.
Pasal 63 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan.
Pasal 64 KUHAP
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum.
Pasal 65 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan/atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
Pasal 66 KUHAP
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal 67 KUHAP
Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan Pengadilan Tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan Pengadilan dalam acara cepat.
Pasal 68 KUHAP
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya.
untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Rekam Medis
Rekam Medis
Dokter yang menjalankan praktek kedokteran wajib membuat suatu catatan yang harus dibuat dengan segera setelah pasien menerima pelayanan. Setiap pelayanan Kesehatan harus mencatat dan mendokumentasikan hasil pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Pasal 46 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menentukan:
- Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran wajib membuat rekam medis;
- Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan Kesehatan;
- Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau Tindakan.
Dari ketentuan Pasal 46 Undang-undang Praktek Kedokteran di atas jelas bahwa pencatatan yang dimaksudkan adalah rekam medis. Dalam praktek istilah rekam medik ini berkembang istilah-istilah lain, yaitu:
- Medical Document = Dokumen Medis;
- Medical Notes = Catatan Medis;
- Medical Record = Rekam Medis;
- Health Record = Rekaman Kesehatan;
- Personal Health Record = Rekaman Kesehatan Pribadi;
- Medical Report = Laporan Medis.
Setiap pencatatan (rekam medis) yang dilakukan harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga Kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan Kesehatan secara langsung. Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan harus segera dilakukan pembetulan yang dilakukan dengan pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi atau tenaga pelayanan Kesehatan yang bersangkutan. Pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien, itulah yang secara umum disebut rekam medis.
Penyelenggaraan rekam medis pada suatu sarana pelayanan Kesehatan merupakan salah satu cara mengukur mutu pelayanan pada pelayanan Kesehatan tersebut. Berdasarkan data pada rekam medis akan dapat dinilai apakah pelayanan yang diberikan sudah cukup baik mutunya atau tidak, serta apakah sudah sesuai standar atau tidak. Untuk itulah, rekam medis yang semula diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis, kemudian diperbaharui dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis. Adapun diatur lebih lanjut pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.
Pengertian Rekam Medis
- Dalam pasal 1 huruf ke 1, 6, dan 7 dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan adalah tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala Tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan Kesehatan. Dokumen adalah catatan dokter, dokter gigi dan/atau tenaga Kesehatan tertentu, laporan hasil pemeriksaan penunjang, catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging) dan rekaman elektro diagnostic.
- Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
- Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 55 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perekam Medis, Khususnya dalam Pasal 1 ayat (2) Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada fasilitas Kesehatan.
- Menurut Ery Rustiyanto, rekam medis adalah siapa, Dimana dan bagaimana perawatan pasien selama di rumah sakit untuk melengkapi rekam medis harus memiliki data yang cukup tertulis dalam rangkaian guna menghasilkan suatu diagnosis, jaminan, pengobatan dan hasil akhir.[1]
- Menurut Gemala R. Hatta, rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain kepada pasien di sarana pelayanan Kesehatan.[2]
- Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, Rekam Medis adalah dokumen yang berisikan identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Isi Rekam Medis
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis Pasal 26 ayat 6 menyatakan:
Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 2 paling sedikit terdiri atas:
- Identitas pasien;
- Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang;
- Diagnosis, pengobatan, dan rencana tindak lanjut pelayanan Kesehatan; dan
- Nama dan tanda tangan Tenaga Kesehatan pemberi pelayanan Kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis Pasal 26 ayat 7 Rekam Medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat oleh penanggung jawab pelayanan.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Zaeni Asyhadie, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Rajawali Pers, Depok.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.
[1] Ery Rustiyanto, 2009, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 5.
[2] Gemala R. Hatta, 2008, Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 73.
Penangguhan Penahanan
Penangguhan Penahanan
Penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Memperhatikan ketentuan Pasal 31 pengertian penangguhan tahanan tersangka atau terdakwa dari penahanan, mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir.
Tahanan yang resmi dan sah masih ada dan belum habis, namun pelaksanaan penahanan yang masih harus dijalani tersangka atau terdakwa, ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum habis. Dengan adanya penangguhan penahanan, seorang tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang sah dan resmi sedang berjalan.
Penangguhan penahanan tidak sama dengan pembebasan dari tahanan. Perbedaan terutama ditinjau dari segi hukum maupun alasan dan persyaratan yang mengikuti tindakan pelaksanaan penangguhan dengan pembebasan dari tahanan. Dari segi hukum, pelaksanaan dan persyaratan:
- Pada penangguhan penahanan masih sah dan resmi serta masih berada dalam batas waktu penahanan yang dibenarkan undang-undang. Namun pelaksanaan penahanan dihentikan dengan jalan mengeluarkan tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penangguhan yang harus dipenuhi oleh tahanan atau orang lain yang bertindak menjamin penangguhan.
- Sedang pada pembebasan dari tahanan harus berdasar ketentuan undang-undang. Tanpa dipenuhi unsur-unsur yang ditetapkan undang-undang, pembebasan dari tahanan tidak dapat dilakukan. Umpamanya, oleh karena penahanan yang dilakukan tidak sah dan bertentangan dengan undang-undang maupun karena batas waktu penahanan yang dikenakan sudah habis, sehingga tahanan harus dibebaskan demi hukum. Atau bisa juga oleh karena lamanya penahanan yang dijalani sudah sesuai dengan hukum pidana yang dijatuhkan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Disamping itu, dari segi pelaksanaan pembebasan tahanan, dilakukan tanpa syarat jaminan.
Berbicara mengenai masalah penangguhan penahanan yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP, belum secara keseluruhan mengatur bagaimana tata cara pelaksanaanya, serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau kepada orang yang menjamin. Oleh karena itu, Pasal 31 KUHAP tersebut masih memerlukan peraturan pelaksana yang belakangan ditetapkan dalam berbagai peraturan:
- Mengenai jaminan penangguhan penahanan diatur dalam Bab X, Pasal 35 dan Pasal 36 PP No. 27/1983.
- Pelaksanaan penangguhan penahanan diatur dalam Bab IV, Pasal 25 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06/1983 serta angka 8 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983.
Terjadinya penangguhan penahanan ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP. Menurut penegasan yang terdapat di dalam ketentuan ini, penangguhan penahanan terjadi:
- Karena permintaan tersangka atau terdakwa;
- Permintaan itu disetujui oleh instansi yang menahanan atau yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan dan secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan dan
- Ada persetujuan dari orang tahanan untuk mematuhi syarat yang ditetapkan serta memenuhi jaminan yang ditentukan.
Adapun mengenai syarat apa yang harus ditetapkan instansi yang berwenang, tidak dirinci dalam Pasal 31 KUHAP. Penegasan dan rincian syarat yang harus ditetapkan dalam penangguhan penahanan, lebih lanjut disebutkan dalam penjelasan Pasal 31 KUHAP tersebut. Dari penjelasan ini diperoleh penegasan syarat apa yang dapat ditetapkan instansi yang menahan.
- Wajib lapor;
- Tidak keluar rumah, atau
- Tidak keluar kota.
Itulah syarat yang dapat ditetapkan dalam pemberian penangguhan penahanan.
Apakah unsur jaminan merupakan faktor yang menentukan dalam pemberian penangguhan penahanan? Apakah unsur jaminan serupa fungsinya dengan syarat penangguhan? Penetapan syarat penangguhan merupakan faktor condition sine quanon dalam penangguhan penahanan. Tanpa penetapan persyaratan penangguhan dianggap tidak sah dan bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) KUHAP. Bagaimana halnya dengan penetapan jaminan, apakah penetapan jaminan merupakan conditio dalam pemberian penangguhan penahanan? Tidak mutlak! Penetapan jaminan dalam penangguhan penahanan bersifat “fakultatif”, sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1), dalam kalimat yang berbunyi: “dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang”. Dari bunyi kalimat ini, jaminan uang atau jaminan orang “dapat” ditetapkan instansi yang menahan dalam pemberian penangguhan. Kalau begitu sifat penetapan jaminan adalah fakultatif, terserah kepada pendapat dan penilaian instansi yang menahan untuk membebani yang bersangkutan dengan jaminan.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
KUHAP;
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.
Eksepsi Pada Prosedur Hukum Acara Pidana di Indonesia
Eksepsi
Pengertian eksepsi atau exception adalah:
- Tangkisan (plead) atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap “materi pokok” surat dakwaan.
- Tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat “formal” yang melekat pada surat dakwaan.
Dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP, definisi eksepsi tidak dirumuskan secara jelas. Istilah yang digunakan adalah “keberatan”. Kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberi hak untuk mengajukan keberatan. Pengertian keberatan yang disebut dalam pasal ini, lebih dekat pengertiannya dengan objection dalam system Common Law, yang berarti perkara yang diajukan terhadap terdakwa mengandung tertib acara yang improper (tidak tepat) atau illegal (tidak sah).
Saat Mengajukan Eksepsi
Jika diperhatikan Pasal 156 ayat (1), pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas alasan “formal” oleh terdakwa atau penasihat hukum adalah “hak” dengan ketentuan:
- Prinsipnya harus diajukan pada “sidang pertama”;
- Yakni “sesaat” atau “setelah” penuntut umum membaca surat dakwaan;
- Apabila pengajuan dilakukan di luar tenggang yang disebutkan, eksepsi tidak perlu ditanggapi penuntut umum dan Pengadilan Negeri, kecuali mengenai eksepsi kewenangan mengadili yang disebut dalam Pasal 156 ayat 7.
Prinsip ini disimpulkan dari ketentuan pasal 156 ayat 2 yang menegaskan: jika hakim menerima keberatan terdakwa atau penasihat hukum maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Berarti proses pengajuan keberatan berada antara tahap pembacaan surat dakwaan. Pemeriksaan materi pokok perkara dihentikan apabila keberatan diterima. Sebaliknya pemeriksaan materi pokok perkara diteruskan langsung apabila keberatan ditolak.
Klasifikasi Eksepsi
Ada beberapa klasifikasi eksepsi yang terdapat dalam praktek peradilan, akan tetapi dalam artikel ini hanya dibahas beberapa di antaranya.
- Eksepsi Kewenangan Mengadili
Disebut “eksepsi tak berwenang” mengadili atau exception of incompetency (exception van onbevoegheid), dalam arti Pengadilan yang dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili, yang diklasifikasikan sebagai berikut:
- Tidak berwenang secara absolut.
Munculnya persoalan kewenangan absolut mengadili (absolute competence), sebagai akibat Pasal 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang telah menetapkan dan membagi “yurisdiksi substantif” untuk setiap lingkungan peradilan pada satu segi dan pada segi lain disebabkan faktor pembentukan jenis peradilan khusus yang kewenangannya secara absolut diberikan kepada peradilan khusus tersebut (seperti peradilan anak).
- Tidak berwenang secara relatif.
Disebut kewenangan relatif mengadili perkara (relative competence) di dasarkan pada faktor “daerah hukum” atau “wilayah hukum” suatu Pengadilan.
Setiap Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, terbatas daerah atau wilayah hukumnya. Patokan menentukan batas daerah atau wilayah hukum pada dasarnya disesuaikan dengan sistem pemerintahan Tingkat I (provinsi) dan Tingkat II (Kabupaten atau Kotamadya).
Landasan dasar untuk menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan Negeri atau sesuatu tindak pidana yang terjadi, merujuk pada ketentuan:
- Pasal 84 ayat 1 KUHAP: Locus delicti/tempat kejadian perkara;
- Pasal 84 ayat 2 KUHAP: Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan;
- Pasal 85 KUHAP: kewenangan atas “penunjukan” Menteri Kehakiman;
- Pasal 86 KUHAP: Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasar undang-undang atas tindak pidana yang dilakukan di luar negeri.
Perlu diingat eksepsi kewenangan relatif pada prinsipnya diajukan pada peradilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri. Namun tidak mengurangi hak terdakwa atau penasihat hukum mengajukan kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding dengan jalan memasukkan dalam memori banding.
Malahan, oleh karena kewenangan mengadili merupakan ketentuan yang bersifat “aturan publik” (public order), Pengadilan Tinggi secara ex officio berwenang memeriksa dan menilai apakah Pengadilan Negeri melanggar prinsip kompetensi relative dalam mengadili perkara yang bersangkutan, meskipun hal itu tidak diajukan sebagai eksepsi dalam peradilan tingkat pertama. Penerapan yang demikian, tidak semata-mata berdasar alasan publik tetapi juga berdasar kehendak yang terkandung dalam Pasal 156 ayat (7) KUHAP, yang memberi fungsi ex officio bagi hakim memeriksa dan memutus mengenai kompetensi meskipun hal itu tidak diajukan sebagai keberatan (eksepsi).
- Eksepsi Kewenangan Menuntut, Gugur
Eksepsi lain yang tidak disebut dalma Pasal 156 ayat 1 KUHAP, tetapi ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan lain, antara lain dalam KUHP, adalah eksepsi yang menyatakan “kewenangan” penuntut umum untuk menuntut “hapus” atau “gugur”. Hapus atau gugurnya kewenangan penuntutan disebabkan faktor tertentu yang disebut dalam ketentuan pasal yang bersangkutan.
Mengenai jenis eksepsi ini, yang terpenting di antaranya:
- Exception judicate atau nebis in idem (Pasal 76 KUHP). Faktor yang menghapus kewenangan penuntutan dalam eksepsi ini: tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, telah pernah di dakwakan, diperiksa dan diadili serta putusannya: Telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan Putusannya bersifat positif, yakni dipidana atau dibebaskan maupun dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
- Exception in tempores (Pasal 78 KUHP). Penuntutan tindak pidana yang diajukan kepada terdakwa melampaui tenggang batas waktu yang ditentukan undang-undang (that the time priscribed by law for bringing such action or offence has expired). Seperti diketahui, Bab VIII KUHP, mulai dari Pasal 78-82 telah mengatur sistem penerapan kedaluwarsa penuntutan pidana.
- Terdakwa meninggal dunia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 77 KUHP, kewenangan menuntut pidana “hapus” atas alasan terdakwa/tertuduh “meninggal dunia”.
- Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima
Patokan untuk mengajukan eksepsi atau menjatuhkan putusan dengan amar: menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, apabila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau yang diminta ketentuan undang-undang. Ke dalam kelompok ini antara lain dapat dikemukakan:
- Eksepsi pemeriksaan penyidikan tidak memenuhi syarat ketentuan Pasal 56 ayat 1 KUHAP. Pasal 56 ayat 1 menggariskan Miranda Rule yang menegaskan, setiap penuntutan atau persidangan, tersangka atau terdakwa di dampingi penasihat hukum, ketentuan ini merupakan “syarat yang diminta” undang-undang apabila tindak pidana yang disangkakan atau di dakwakan, diancam dengan pidana mati atau pidana 15 tahun atau lebih atau bagi yang tidak mampu dan diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Pasal 56 ayat 2 KUHAP: setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Apabila ketentuan Pasal 56 ayat 1 tidak dipenuhi, dianggap pemeriksaan tidak memenuhi syarat yang diminta undang-undang, yang berakibat “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima” (MA No. 1565 K/Pid/1991, 16 September 1993).
- Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi syarat Klacht delict. Tindak pidana yang didakwakan “delik aduan” (klacht delict), tetapi ternyata penuntutannya kepada terdakwa “tanpa pengaduan” dari “korban” atau dari orang yang disebut dalam pasal delik yang bersangkutan atau tenggang waktu pengaduan yang digariskan Bab VII (Pasal 72-75 KUHP, tidak dipenuhi, oleh karena itu syarat yang diminta atau ditentukan undang-undang tidak dipenuhi oleh penyidik dan penuntut umum (tidak ada pengaduan). Berarti tuntutan penuntut umum terhadap terdakwa, tidak memenuhi syarat undang-undang, sehingga tuntutan untuk meminta pertanggung jawaban pidana kepada terdakwa “tidak dapat diterima”.
- Eksepsi Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Eksepsi ini dikonstruksi dari ketentuan Pasal 67 KUHAP, yang memperkenalkan bentuk putusan Pengadilan Negeri “lepas dari segala tuntutan hukum” atau onslag van rechtvervolging.
Selanjutnya apa yang disebut dalam Pasal 67 tentang eksepsi ini, dipertegas lagi dalam Pasal 191 ayat 2 KUHAP, yang memberi patokan tentang arti putusan “lepas dari segala tuntutan hukum”, yakni “jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi tidak merupakan sesuatu tindak pidana.
Dalam praktek, pada umumnya yang sering menjadi dasar untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apabila tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa “perdata” sehingga apa yang didakwakan pada dasarnya termasuk “sengketa perdata” yang harus diselesaikan melalui proses peradilan perdata.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Praperadilan
Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan sendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sebagai tugas pokok maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang wewenang pemeriksaan diberikan kepada Praperadilan. Hal yang diuraikan di atas, dapat dibaca dalam rumusan Pasal 1 butir 10 KUHAP, yang menegaskan: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP yang menjelaskan: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan jadwalkan konsultasi dengan kami.
Sumber:
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Alat bukti dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia
Alat bukti dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah
A. Keterangan saksi;
B. Keterangan ahli;
C. Surat;
D. Petunjuk;
E. Keterangan terdakwa.
A. Keterangan Saksi
Syarat sahnya keterangan saksi:
1) Harus mengucapkan sumpah atau janji
2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti menurut pasal 1 angka 27 KUHAP:
i. Yang saksi lihat sendiri;
ii. Saksi dengar sendiri;
iii. Dan saksi alami sendiri
iv. Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Terkait keterangan saksi ini terdapat perluasan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 65/PUU-VIII/2010 terkait “testimonium de auditu”.
3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan sesuai dengan penegasan pasal 185 ayat (1) KUHAP.
4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup (unnus testis nullus testis).
5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tanpa adanya hubungan satu dengan yang lain hanya pemborosan waktu.
Ditinjau dari sifat pengecualian yang membebaskan seseorang dari kewajiban menjadi saksi, dapat dikelompokkan:
- Orang yang tidak dapat di dengar keterangan dan “dapat mengundurkan diri”;
- Mereka yang “dapat meminta dibebaskan”;
- Mereka yang “boleh diperiksa tanpa sumpah”.
Ad.1 orang yang tidak dapat di dengar keterangan dan “dapat mengundurkan diri” dikaitkan dengan faktor “hubungan kekeluargaan” sedarah atau semenda antara terdakwa dengan saksi terdapat pada Pasal 168 KUHAP:
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat di dengar keterangan dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
- Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai terdakwa;
- Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
- Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Jika dihubungkan dengan Pasal 169 ayat (1) KUHAP:
- Pada prinsipnya orang-orang yang mempunyai hubungan pertalian kekeluargaan sedarah, semenda dan karena ikatan perkawinan dengan terdakwa, “tidak dapat” di dengar keterangannya sebagai saksi. Mereka tidak diperbolehkan menjadi saksi, sekalipun boleh di dengar keterangannya tanpa sumpah (Pasal 169 ayat (2) KUHAP)
- Akan tetapi, kalau mereka “menghendaki” untuk diperiksa sebagai saksi memberi keterangan dengan sumpah, kehendak mereka untuk menjadi saksi baru dapat terlaksana dengan syarat: “apabila penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya”. Berarti seorang yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau ikatan perkawinan dengan terdakwa seperti yang disebut dalam Pasal 168 KUHAP, dapat menjadi saksi apabila ia sendiri menghendaki dan kehendak itu harus “secara tegas” disetujui oleh penuntut umum dan terdakwa;
- Sebaliknya, kalaupun penuntut umum maupun terdakwa secara tegas meminta orang itu menjadi saksi, kalau dia tidak menghendaki, “tidak dapat diwajibkan” untuk menjadi saksi.
Ad. 2 Yang dapat minta “dibebaskan menjadi saksi”
Berdasarkan ketentuan Pasal 170 KUHAP terdapat sekelompok orang yang “dapat meminta dibebaskan” dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Mengenai hal pembebasan diri menjadi saksi, tidak mutlak sifatnya.
Adapun Pasal 170 KUHAP menyatakan:
- Mereka karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi yaitu tentang hal yang dipercaya kepada mereka.
- Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Ad. 3 Yang boleh diperiksa tanpa sumpah
Menurut Pasal 171 KUHAP: yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa disumpah ialah:
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
B. Keterangan Ahli
Pasal 186 KUHAP: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan Pasal 1 angka 28 KUHAP menyatakan: keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
C. Surat
Pasal 187 KUHAP menyatakan: surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang di dengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
D. Petunjuk
Diatur pada Pasal 188 KUHAP
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
(3) Penilaian dan kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
E. Keterangan Terdakwa
Terdapat pada Pasal 189 KUHAP
- Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
- Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu di dukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang di dakwakan kepadanya.
- Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
- Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Pasal 40 KUHAP: Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.
Pasal 42 KUHAP (1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
Selain dari alat bukti tersebut diatas, ada juga beberapa bukti seperti email, tangkapan layar, video, foto dan lain-lain yang diatur dalam Undang-undang Informasi dan transaksi elektronik.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Kriminologi
Kriminologi termasuk cabang ilmu yang baru. Berbeda dengan hukum pidana yang muncul begitu manusia bermasyarakat. Kriminologi baru berkembang tahun 1850 bersama-sama dengan sosiologi, antropologi dan psikologi. Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lain (homo homini lupus), selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain. Oleh sebab itu, maka diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupannya. Hal itu sangat penting demi menjamin rasa aman bagi manusia lainnya.
Nama kriminologi yang disampaikan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang antropolog Prancis, secara harfiah berasal dari kata “Crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan; maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. Beberapa sarjana memberikan Pengertian yang berbeda mengenai kriminologi ini. Diantaranya, Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
Salah satu dari teori kriminologi yang terkenal adalah teori Differential Assosiation.
Differential Association Theory
Sutherland menemukan istilah differential association untuk menjelaskan proses belajar tingkah laku kriminal melalui interaksi sosial. Setiap orang, menurutnya, mungkin saja melakukan kontak (hubungan) dengan “definition favorable to violation of law” atau dengan “definitions unfavorable to violation of law”.
Rasio dari definisi-definisi atau pandangan-pandangan tentang kejahatan ini – apakah pengaruh-pengaruh kriminal atau non-kriminal lebih kuat dalam kehidupan seseorang menentukan ia menganut atau tidak kejahatan sebagai satu jalan hidup yang diterima. Dengan kata lain rasio dari definisi-definisi (kriminal terhadap non kriminal) menentukan apakah seseorang akan terlibat dalam tingkah laku kriminal.
Sutherland memperkenalkan differential association theory dalam buku teksnya Principle of Criminology pada tahun 1939. Sejak saat itu para sarjana membaca, menguji, melakukan pengujian ulang, dan terkadang mengkritik teori ini, yang diklaim dapat menjelaskan perkembangan semua tingkah laku kriminal.
Differential association di dasarkan pada sembilan proposisi (dalil), yaitu:
- Criminal behavior is learned (tingkah laku criminal dipelajari).
- Criminal behavior is learned in interaction with other person in a process of communication (tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam proses komunikasi). Seseorang tidak begitu saja menjadi kriminal hanya karena hidup dalam suatu lingkungan yang kriminal. Kejahatan dipelajari dengan partisipasi bersama orang lain baik dalam komunikasi verbal maupun non-verbal.
- The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal groups (bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok orang yang intim/dekat). Keluarga dan kawan-kawan dekat mempunyai pengaruh paling besar dalam mempelajari tingkah laku menyimpang. Komunikasi-komunikasi mereka jauh lebih banyak daripada media massa, seperti film, televisi, dan surat kabar.
- When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes (ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pembelajaran itu termasuk (a) Teknik-teknik melakukan kejahatan yang kadang sangat sulit, kadang sangat mudah dan (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap). Delinquent muda bukan saja belajar bagaimana mencuri di toko, membongkar kotak, membuka kunci dan sebagainya, tapi juga belajar bagaimana merasionalisasi dan membela tindakan-tindakan mereka. Seorang pencuri akan ditemani pencuri lain selama waktu tertentu sebelum dia melakukan sendiri. Dengan kata lain, para penjahat juga belajar ketrampilan dan memperoleh pengalaman.
- The specific direction of motives and drives is learned from definition of the legal codes as favorable or unfavorable (arah khusus dari motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia menguntungkan atau tidak). Di beberapa masyarakat seorang individu dikelilingi oleh orang-orang yang tanpa kecuali mendefinisikan aturan-aturan hukum sebagai aturan yang harus dijalankan, sementara di tempat lain dia dikelilingi oleh orang-orang yang definisi-definisinya menguntungkan untuk melanggar aturan-aturan hukum. Tidak setiap orang dalam masyarakat kita setuju bahwa hukum harus ditaati. Beberapa orang mendefinisikan aturan hukum itu sebagai tidak penting.
- A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definitions unfavorable to violation of law (seseorang menjadi delinquent karena definisi-definisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum). Ini merupakan prinsip kunci (key principle) dari differential association, arah utama dari teori ini. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku kriminal bukanlah semata-mata persoalan hubungan dengan teman/kawan yang buruk. Tetapi, mempelajari tingkah kriminal tergantung pada berapa banyak definisi yang kita pelajari yang menguntungkan untuk pelanggaran hukum sebagai lawan dari definisi yang tidak menguntungkan untuk pelanggaran hukum.
- Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity (asosiasi differential itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi/kekerapannya, lamanya, prioritasnya dan intensitasnya). Tingkat dari asosiasi-asosiasi/definisi-definisi seseorang yang akan mengakibatkan kriminalitas berkaitan dengan kekerapan kontak, berapa lamanya dan arti dari asosiasi/definisi kepada si individu.
- The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning (proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola-pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain). Mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal adalah mirip sekali dengan mempelajari pola-pola tingkah laku konvensional dan tidak sekedar suatu persoalan pengamatan dan peniruan.
- While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same needs and values (walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku non kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama). Pencuri toko mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang-orang lain bekerja untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Motif-motif – frustasi, nafsu untuk mengumpulkan harta serta status sosial, konsep diri yang rendah dan semacamnya menjelaskan baik tingkah laku kriminal maupun non kriminal.
Kritik terhadap Teori Differential Association:
- Mengapa tidak setiap orang yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku kriminal yang lebih banyak menjadi seorang penjahat?
- Apakah teori ini benar dapat menjelaskan semua kejahatan, mungkin ia dapat diterapkan untuk pencurian, tetapi bagaimana dengan pembunuhan yang disebabkan oleh kemarahan karena cemburu?
- Mengapa beberapa orang yang mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal tidak terlibat dalam perbuatan kriminal?
- Teori ini menjelaskan bagaimana tingkah laku kriminal dipelajari, tetapi ia tidak menjelaskan bagaimana pertama kali Teknik-teknik dan definisi-definisi kriminal itu ada? Atau dengan kata lain, teori ini tidak menjelaskan kepada kita bagaimana penjahat yang pertama menjadi penjahat.
Sumber:
Yesmil Anwar dan Adang, 2010, Kriminologi, PT. Refika Aditama, Bandung.
Topo Santoso, S.H.,M.H., dan Eva Achjani Zulfa, S.H., 2009, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta.
Autopsi
Autopsi (pemeriksaan mayat) merupakan kesempatan paling baik untuk mendapatkan bukti-bukti dalam pengusutan. Ini sangat penting sebagai alat bukti berupa keterangan ahli mengenai luka-luka korban, terutama juga pada kasus perkosaan atau kejahatan seks yang lain.
Dalam hal ini diperlukan dokter (forensik) patologis dan toxikologis. Kadang-kadang perlu pula pemeriksaan pakaian korban.
Hasil pemeriksaan mayat kadang-kadang menghasilkan bukti yang sangat jelas untuk membantu melakukan rekonstruksi tentang latar belakang dan cara kematian korban. Menurut Weston dan Wells (1970: 63, 64), hasil suatu autopsi sering berupa:
- Waktu kematian korban;
- Hal-ihwal luka-luka yang mengakibatkan kematian;
- Luka-luka lain yang ditemukan yang merupakan penyakit kronis korban;
- Senjata atau alat yang mengakibatkan kematian;
- Apakah tubuh itu telah dipindahkan setelah kematian;
- Jumlah kadar alkohol dalam darah;
- Isi perut, untuk memberi petunjuk waktu antara korban makan yang terakhir dan kematiannya dan apa yang telah dimakan;
- Indikasi tentang keperawanan, pengetahuan seksual, perkosaan atau kehamilan (korban Wanita), penyimpangan-penyimpangan seksual (korban laki-laki);
- Bukti-bukti tentang darah, rambut, atau tanda-tanda yang lain yang bukan berasal dari korban.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Dr. Andi Hamzah, S.H., 1986, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Daktiloskopi
Daktiloskopi berasal dari bahasa Yunani yakni daktulos, yang artinya jari dan skopioo yang artinya mengamati. Jadi secara harafiah berarti mengamati sidik jari.
Pentingnya sidik jari telah dikenal orang sejak berabad-abad yang lalu. Ditemukan di Babilon mata uang dari tanah liat yang bercap jari. Di Cina pun dikenal tanah liat seperti itu, pada zaman dinasti Tang dikenal kontak dagang yang bersidik jari (cap jempol) (618-907). Tetapi sidik jari sejak berabad-abad yang lalu itu belum dipakai untuk tujuan praktis.
Professor Marcello Malpighi, seorang anatomis Italia dalam tahun 1686 menulis tentang pinggir-pinggir sidik jari. Ia menunjukkan dapatnya ditarik garis lurus dan spiral pada pinggir jari-jari. Tetapi tidak dikembangkan lebih jauh pengetahuan ini. Sezaman dengan dia, Dr. Nehemiah Grew dengan bukunya The Description and Use of the Pores in the Skin of the Hands and Feel, London, 1684, diikuti oleh G. Bidloo dari Belanda di tahun 1685, Christion J.H. Hintze dari Jerman di tahun 1707 dan Bernard S. Albinus dari Jerman di tahun 1764.
Pada tahun 1880 Sir Francis Galtom seorang antropolog Inggris yang sering disebut peletak dasar daktiloskopi yang memperkenalkan metode ilmu pertama tentang klasifikasi bentuk-bentuk sidik jari.
Dalam tahun 1882, pertama kali di Amerika Serikat dibuat catatan resmi dengan sidik jari, ialah Gilber Thompsom menulis perintahnya dengan sidik jarinya sendiri untuk menghindari pemalsuan.
Sidik jari digolongkan dalam 3 golongan besar, yaitu golongan L (dari kata Loops, artinya sangkutan, dan W dari kata Whorls, artinya putaran). Golongan L dibagi lagi atas tiga golongan, yaitu sangkutan, busur dan tiang busur. Sedangkan golongan W dibagi atas 5 golongan lagi, yaitu lingkaran, saku sisi, sangkutan kembar, saku dalam dan gambar luar biasa, golongan ketiga ialah Arches (artinya: lengkungan) yang dibagi lagi atas yang datar (plai) dan yang seperti tenda (tented).
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Dr. Andi Hamzah, S.H., 1986, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.