Viktimologi
Viktimologi
Viktimologi berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan korban dan atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Perumusan ini membawa akibat perlunya suatu pemahaman, yaitu:
- Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional;
- Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi;
- Sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh unsur struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu.
Viktimologi memberikan Pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan-penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya adalah tidak untuk menyanjung-nyanjung para korban, tetapi hanya untuk memberikan penjelasan mengenai peranan sesungguhnya para korban dan hubungan mereka dengan para korban. Penjelasan ini adalah penting dalam rangka mengusahakan kegiatan-kegiatan dalam mencegah kejahatan berbagai viktimisasi, mempertahankan keadilan sosial dan peningkatan kesejahteraan mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam suatu viktimisasi. Khususnya dalam bidang informasi dan pembinaan untuk tidak menjadi korban kejahatan struktural atau non struktural.
Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam system peradilan pidana.
Menurut J.E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, dalam perkembangannya di tahun 1985 Separovic mempelopori pemikiran agar viktimologi khusus mengkaji korban karena adanya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau bencana alam karena korban bencana alam di luar kemauan manusia (out of man’s will).
Objek studi atau ruang lingkup perhatian viktimologi menurut Arif Gosita adalah sebagai berikut:
- Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalitas.
- Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.
- Para peserta yang terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas. Seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim pengacara dan sebagainya.
- Reaksi terhadap viktimisasi criminal.
- Respon terhadap suatu viktimisasi kriminal: argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-usaha prevensi, represi, tindak lanjut (ganti kerugian) dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan.
- faktor-faktor viktimogen/kriminogen.
Tujuan viktimologi dikatakan Muladi adalah:
- menganalisis perbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
- berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; dan
- mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.
Pengertian Korban
Mengenai Pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Menurut Mandelsohn, berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi lima macam, yaitu:
- yang sama sekali tidak bersalah;
- yang menjadi korban karena kelalainnya;
- yang sama salahnya dengan pelaku;
- yang lebih bersalah daripada pelaku;
- yang korban adalah satu-satunya yang bersalah.
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu:
- nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
- Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
- Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
- Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
- False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
Hak-hak Korban
Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan bahwa korban berhak untuk:
Ayat (1)
- Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
- Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
- Memberikan keterangan tanpa tekanan.
- Mendapat penerjemah.
- Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
- Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus.
- Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan
- Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan.
- Dirahasiakan identitasnya.
- Mendapat identitas baru.
- Mendapat tempat kediaman sementara.
- Mendapat tempat kediaman baru.
- Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
- Mendapat nasihat hukum.
- Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir, dan/atau
- Mendapat pendampingan.
Ayat (2)
Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Ayat (3) selain kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
Sumber:
- Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta.
- Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo., Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Perkawinan Dalam Masyarakat Adat Bali
Perkawinan Dalam Masyarakat Adat Bali
Perkawinan termasuk hukum keluarga, hukum keluarga adalah keseluruhan norma-norma hukum, tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum yang dimaksud seperti perkawinan, pengangkatan anak, dll. Hubungan kekeluargaan antara lain berisi kewajiban dan hak dalam kehidupan berkeluarga, seperti kewajiban dan hak anak terhadap orang tua atau sebaliknya.
Eksistensi hukum adat keluarga dalam masyarakat adat Bali masih sangat kuat. Artinya masih diakui dan diikuti oleh masyarakat adat Bali, diluar yang telah diatur oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sistem Kekeluargaan
Sistem kekeluargaan yang berlaku dalam suatu masyarakat adalah kunci untuk dapat memahami persoalan yang menjadi ruang lingkup hukum keluarga, terutama dalam hubungan dengan perkawinan dan waris. Sistem kekeluargaan disini diartikan sebagai cara menarik garis keturunan, sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan.
Sistem kekeluargaan yang belaku dalam masyarakat di Indonesia sangat beragam, disebabkan karena kemajemukan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia, baik dilihat dari etnis, agama, dan lainnya. Faktor inilah yang menyebabkan sulitnya pembentukan hukum keluarga yang bersifat nasional. Secara umum dalam masyarakat Indonesia dikenal tiga sistem kekeluargaan, yaitu:
- Sistem kekeluargaan patrilineal. Berdasarkan sistem ini, keturunan dilacak dari garis bapak, seperti di Batak, Nias, Sumba, Bali.
- Sistem kekeluargaan matrilineal, menurut sistem ini kekeluargaan dilacak dari garis ibu, sehingga anak yang lahir dari perkawinan akan mendapatkan garis kekeluargaan dari garis ibunya. Seperti yang terjadi di Minangkabau, Sumatera Barat.
- Sistem kekeluargaan parental, dalam sistem ini garis keturunan dilacak dari dua pihak (bilateral) yaitu baik dari garis ibu maupun garis bapak, sehingga sistem ini juga disebut sistem kekeluargaan keibu-bapaan. Dianut oleh masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan lainnya.
Masyarakat Adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dengan istilah kapurusa atau purusa. Sebagai konsekuensinya maka dalam suatu perkawinan, si istri akan masuk dan menetap dalam lingkungan keluarga suaminya dan seorang anak laki-laki dipandang mempunyai kedudukan yang lebih utama dibandingkan dengan anak perempuan. Akibatnya pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak laki-laki sering “merasa” belum memiliki keturunan.
Penting juga disebutkan bahwa klan (soroh) dalam masyarakat adat Bali yang cenderung mengarah ke sistem kasta atau wangsa, pada masa lalu sangat mempengaruhi hukum adat di Bali, seperti tercermin dari adanya larangan perkawinan antarwangsa yang disebut asupundung dan anglangkahi karangulu, yang pada tahun 1951 telah dihapuskan.
Sistem perkawinan
Dalam masyarakat adat Bali perkawinan dikenal dengan beberapa istilah seperti pawiwahan, nganten, mekerab kambe, pewarangan, dll. Perkataan “kawin” dalam bahasa sehari-hari disebut nganten dan makerab kambe, yang hakikatnya sama dengan perkawinan sebagaimana diatur dalam undang-undang perkawinan. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Gde Pudja (1975: 15) mengemukakan bahwa perkawinan menurut umat Hindu adalah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami-istri dalam rangka mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak laki-laki dalam rangka menyelamatkan arwah orang tuanya.
Tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu adalah untuk mendapatkan anak (keturunan) guna dapat menebus dosa-dosa orang tuanya. Uraian tentang pentingnya mempunyai anak, dapat diketahui dari ketentuan pasal 161 Buku IX Manawa Dharmasastra. Dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa anak diumpamakan sebagai perahu yang akan mengantar seseorang yaitu roh yang sedang menderita di neraka dan untuk menyelamatkan itu seorang anak dengan segala akibatnya harus mempunyai putra dan bila tidak berputra harus menggantinya dengan anak yang lain. Keluarga yang menderita di akhirat adalah roh-roh leluhur yang terkatung-katung di neraka sebelum dilakukan pitra yadnya oleh cucu atau putranya.
Bentuk Perkawinan
Di atas sudah dijelaskan bahwa sistem kekerabatan yang dianut oleh warga masyarakat adat Bali adalah sistem kekerabatan patrilineal (kapurusa). Sejalan dengan sistem kekerabatan yang dianut, di Bali dikenal adanya dua bentuk perkawinan yaitu perkawinan biasa dan perkawinan nyentana. Bentuk perkawinan nyentana sesungguhnya adalah jalan alternatif yang dapat dilewati oleh pasangan suami istri yang kebetulan hanya dikaruniai anak perempuan saja dan tidak dikaruniai anak laki-laki.
Perkawinan Biasa
Sesuai namanya perkawinan biasa atau nganten biasa, bentuk perkawinan ini paling umum (banyak atau biasa) dilangsungkan oleh warga masyarakat adat Bali. Perkawinan biasa adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan pihak perempuan meninggalkan rumahnya, untuk melangsungkan upacara perkawinan di tempat kediaman suaminya dan kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban (swadharma) orang tua serta leluhur suaminya secara sekala (alam nyata) maupun secara niskala (alam gaib). Perkawinan ini dianggap perkawinan biasa karena dilangsungkan sesuai dengan sistem kekerabatan yang dianut di Bali, yaitu patrilineal (kebapaan).
Dalam perkawinan biasa, anak-anak yang dilahirkan akan mengikuti garis keturunan ayahnya. Umumnya orang Bali-Hindu melangsungkan perkawinan biasa. Oleh karena itu, jarang muncul masalah terkait pelaksanaan bentuk perkawinan ini, baik yang berhubungan dengan cara melaksanakannya, pelaksanaan upacaranya maupun ketika pasangan pengantin menyelesaikan administrasi perkawinan (akta perkawinan) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Perkawinan Nyentana
Selain bentuk perkawinan biasa, dikenal juga bentuk perkawinan nyentana. Perbedaan pokok kedua bentuk perkawinan ini terletak pada status hukum kedua mempelai. Dalam perkawinan biasa, mempelai laki-laki berkedudukan sebagai kapurusa, sedangkan dalam perkawinan nyentana, mempelai wanita yang berkedudukan sebagai kapurusa. Perkawinan nyentana adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam mana pihak laki-laki meninggalkan rumahnya untuk melangsungkan upacara perkawinan di tempat kediaman istrinya dan kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban (swadharma) orang tua serta leluhur istrinya, secara sekala (alam nyata) maupun niskala (alam gaib).
Kalau dalam perkawinan biasa pihak wanita yang meninggalkan keluarganya, sedangkan dalam perkawinan nyentana, justru pihak laki-laki yang meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga istrinya. Bentuk perkawinan ini dipilih dalam hal ada satu keluarga hanya dikaruniai beberapa anak perempuan tanpa dikaruniai anak laki-laki. Dalam keadaan seperti ini, salah seorang anak perempuannya akan dikukuhkan statusnya menjadi “laki-laki”. Anak perempuan yang berstatus laki-laki ini dikenal dengan sebutan sentana rajeg. Kalau seorang sentana rajeg melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang berasal dari keluarga yang terdiri dari beberapa orang anak laki-laki maka dia tidak akan meninggalkan rumahnya dan ikut suaminya, melainkan suaminyalah yang ikut istrinya, untuk kemudian bertempat tinggal tetap di tempat kediaman istrinya. Dalam hal ini suaminya disebut meawak luh (berstatus wanita/predana) sementara istrinya berstatus kapurusa (berstatus laki-laki).
Perkawinan ini dilangsungkan di tempat kediaman pihak istrinya. Oleh karena itu, pada saat perkawinan dilangsungkan, keluarga wanita relatif lebih sibuk dibandingkan dengan keluarga laki-laki. Kesibukan upacara perkawinan termasuk menyelesaikan administrasi perkawinan. Pihak keluarga laki-laki lebih banyak menunggu (madia) atau mengikuti rangkaian upacara sesuai tata urutan penyelenggaraan upacara perkawinan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh keluarga Wanita.
Bentuk perkawinan ini kurang umum dilangsungkan di kalangan orang Bali-Hindu dibandingkan dengan bentuk perkawinan biasa. Dalam arti, hanya dilangsungkan oleh keluarga yang tidak dikaruniai anak laki-laki saja. Oleh karena itu, menjadi masuk akal ketika pada awal diberlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada beberapa keluarga yang melangsungkan perkawinan nyentana, mengalami kesulitan dalam menyelesaikan administrasi perkawinan (akta perkawinan) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, karena perkawinan nyentana yang menempatkan istri sebagai kapurusa (berstatus laki-laki), ternyata tidak sejalan dengan format akte perkawinan seperti yang ditentukan dalam aturan tentang perkawinan.
Syukurnya pihak yang berwenang (dalam hal ini Pemprov. Bali, khususnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kabupaten se-Bali), tidak melaksanakan UU Perkawinan secara murni dan konsekuen, sehingga penyelesaian administrasi perkawinan (akta perkawinan) bagi pasangan yang melangsungkan perkawinan nyentana dapat diselesaikan dengan bijaksana, yaitu dengan cara menambahkan “catatan” dalam akte perkawinan yang menerangkan bahwa “… dan Ni Made Yuliani, S.Sos, berkedudukan sebagai purusa”, masalah selesai.
Mungkin karena adanya perubahan status ini, maka pihak wanita berubah status menjadi meawak muani atau kapurusa dan pihak laki-laki berubah status menjadi meawak luh atau predana, menyebabkan perkawinan ini kurang diminati oleh sebagian kaum laki-laki.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa perkawinan nyentana pada umumnya dilangsungkan oleh keluarga yang tidak dikaruniai anak laki-laki. Perkawinan nyentana dipilih dengan maksud agar segala tanggung jawab dan kewajiban (swadharma) yang harus dilaksankaan oleh keluarga ini ada yang meneruskan. Tetapi dalam beberapa hal, walaupun satu keluarga telah dikaruniai anak laki-laki dan perempuan, masih merasa perlu melangsungkan perkawinan nyentana bagi anak perempuannya. Ini terjadi manakala orang tuanya merasa amat saying kepada anak perempuannya dan calon pengantin laki-laki setuju memilih bentuk perkawinan nyentana.
Perkawinan status seperti disinggung di atas, terkait erat dengan masalah pewarisan di kemudian hari, serta garis keturunan bagi anak-anak yang kemudian dilahirkan. Dalam hal perkawinan biasa, anak-anak yang dilahirkan mengikuti garis ayahnya yang berstatus kapurusa, sementara dalam perkawinan nyentana, anak-anak yang dilahirkan akan mengikuti garis keturunan ibunya, yang berstatus kapurusa. Konsekuensi lain dari perkawinan nyentana adalah, bahwa pihak laki-laki secara hukum dianggap ninggal kedaton atau putus hubungan dengan keluarganya, sehingga segala haknya untuk meneruskan warisan menurut hukum adat Bali juga dianggap gugur.
Perkawinan Matunggu
Mengutip hasil penelitian V.E.Korn dalam bukunya berjudul Het Adatrecht van Bali (1932), Pangkat (1971) mengemukakan bahwa perkawinan matunggu atau ninggonin ialah salah satu bentuk perkawinan di Bali. Bentuk perkawinan ini dipilih apabila si suami tidak bisa membayar uang petukon (harga pembeli) istrinya, karena itu ia terpaksa harus meninggu di rumah si mertua. Disana ia bekerja, biasanya mengerjakan sawah ladang tanpa upah, hingga uang petukon itu dibayar lunas atau diperhitungkan dengan upah atau hasil yang harus menjadi bagian si suami (mertua).
Perkawinan Paselang
Menurut Artadi (2009) perkawinan paselang atau disebut perkawinan ditoroni, adalah bentuk perkawinan yang lazim dilakukan di kalangan Puri Bali, yang tujuannya mencegah terjadinya kacamputan di Puri tersebut. Sebagaimana diketahui, jumlah orang berkasta (golongan Puri) relatif tidak sebanyak orang kebanyakan sehingga sering terjadi, betapa sulitnya mencari jodoh bagi dan untuk anak perempuan tunggal, yang kebetulan mempunyai nasib “sulit jodoh”, sedangkan harta warisan Puri baik immaterial maupun materiil yang harus dipikul sangat banyak, sehingga pelanjut keturunan adalah hal yang mutlak harus ada di puri tersebut. Apabila anak perempuan sulit mencari jodoh, hingga lewat masanya dan kepadanya terbebani kewajiban melanjutkan keturunan di Puri, jalan apapun tidak mungkin, termasuk jalan mengangkat anak, karena si anak perempuan itu belum kawin, sehingga terdapat satu jalan “ekseptional” adalah melakukan perkawinan paselang. Perkawinan paselang adalah perkawinan dengan meminjam (paselang) laki-laki yang sudah kawin dari puri lain untuk kepentingan pembuahan keturunan untuk kelanjutan kewarisan di rumah si perempuan.
Lebih jauh dikemukakan bahwa mengenai tata cara pelaksaan perkawinan paselang tersebut, belum ditemukan penjelasannya. Akan tetapi, putusan Majelis Pengadilan Kerta di Denpasar No. 2/1948 tertanggal 3 Februari 1948. Berhubungan dengan putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 23/Pdt.G/2007/PN. Dps tanggal 18 September 2007 dan dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1042 K/PDT/2008, tanggal 21 Oktober 2008 menyatakan perkawinan paselang adalah sah.
Dalam perkawinan paselang tersebut, diangkat dua orang anak laki-laki secara sah, yaitu anak kandung dari si laki paselang itu dalam perkawinannya dengan istrinya yang lain. Kedua anak laki-laki itu selanjutnya mewaris secara sah di puri yang baru tersebut dan kelanjutan pewarisan tersebut dinyatakan sah oleh yurisprudensi tersebut di atas.
Perkawinan Pada Gelahang
Telah dikemukakan di atas bahwa bentuk perkawinan biasa paling umum dilangsungkan di Bali dan relatif tidak ada masalah baik dalam hubungan dengan upacaranya maupun penyelesaian akte perkawinannya. Bentuk perkawinan nyentana sesungguhnya jalan alternatif yang dapat dilewati oleh pasangan suami-istri yang hanya dikaruniai anak perempuan saja dan tidak dikaruniai keturunan laki-laki. Pertanyaannya, bentuk perkawinan apa yang harus dipilih apabila ada keluarga yang hanya dikaruniai satu anak laki-laki, bermaksud melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang kebetulan juga anak tunggal dalam keluarganya? Atau dalam hal satu keluarga dikaruniai beberapa orang anak tetapi diyakini bahwa hanya seorang di antara anak-anaknya yang mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, karena sesuatu sebab tertentu. Berdasarkan beberapa kasus yang ditemui di beberapa desa pakraman di Bali, keadaan seperti itu diatasi dengan memilih bentuk perkawinan pada gelahang, yang berarti duwenang sareng atau “miliki bersama”.
Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk menyebut bentuk perkawinan pada gelahang seperti perkawinan negen dua (Banjar Pohmanis, Penatih, Denpasar), mepanak bareng (Banjar Kukub Perean, Tabanan, Banjar Cerancam, Kesiman, Denpasar), negen dadua mapanak bareng (Lingkungan Banjar Kerta Buana Denpasar, Desa Adat Peguyangan, Denpasar), nadua umah (Kerambitan, Tabanan), makaro lemah (Desa Pakraman Gianyar, Gianyar), magelar warang (Sangsit, Buleleng dan Melaya, Jembrana). Ada juga yang menyebutnya dengan ungkapan lumayan panjang seperti “Perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit”, seperti yang dikenal di Kerobokan, Denpasar). Dalam ungkapan I Gusti Ketut Kaler (1967), perkawinan ini disebut “perkawinan parental”.
Sumber:
Dr. Wayan P. Windia, S.H.,M.Si, dkk, 2009, Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Denpasar, Udayana University Press.
Hak atas Kekayaan Intelektual
Apakah anda penggemar karakter Marvel Superheroes seperti Spiderman, Captain America dan lainnya? Penggemar video game seperti GTA (Grand Theft Auto) atau pencinta film box office atau Disney? Kesemua itu adalah buah hasil karya intelektualitas yang bernilai ekonomis dimana dalam proses penemuan atau pembuatannya memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit, berikut ulasan singkatnya.
Pengertian Hak atas Kekayaan Intelektual
Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights (IPRs) merupakan konsep tentang hak, kekayaan, dan hasil akal budi manusia. HKI juga diartikan sebagai hasil olah fikir atau kreativitas manusia yang menghasilkan suatu ciptaan di bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan, serta teknologi di dalamnya yang mempunyai manfaat ekonomi. HKI juga adalah hak ekonomis yang diberikan oleh hukum kepada seorang pencipta atau penemu atas suatu hasil karya dari kemampuan intelektual manusia.
HKI merupakan jenis benda bergerak tidak berwujud (intangible movable goods) yang dikenal pertama kali pada negara dengan system hukum anglo saxon (common law system). HKI bisa dikatakan sebagai benda (zaak dalam bahasa Belanda) sebagaimana dikenal dalam hukum perdata. Sehingga HKI sebagai benda merupakan harta kekayaan yang dapat dialihkan kepada pihak lain, baik dalam bentuk jual beli, pewarisan, hibah atau perjanjian khusus seperti lisensi. Perjanjian lisensi yang sering dipakai dalam peralihan HKI adalah suatu perjanjian pemberian hak untuk mempergunakan HKI (suatu informasi dari suatu system atau teknologi, pemakaian suatu logo, merek dan nama dagang, paten atau rahasia dagang) dengan imbalan pembayaran royalty atau fee atau premi oleh penerima lisensi (“licensee”) kepada yang memberikan lisensi (“licensor”). Perjanjian ini biasanya memberikan hak eksklusif dalam bentuk penggunaan hak ekonomis atas HKI.
HKI dapat dianggap sebagai aset yang bernilai, hal ini dikarenakan karya-karya intelektual dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra, atau teknologi yang dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan biaya menjadikannya berharga dan bernilai. Manfaat ekonomis yang dapat dinikmati dan nilai ekonomis yang melekat memunculkan konsep property terhadap karya-karya intelektual tersebut. Bagi dunia usaha, karya-karya tersebut dapat disebut sebagai aset perusahaan.
HKI sebagai benda bergerak yang tidak berwujud dan memiliki nilai ekonomis, tentunya HKI juga dapat dijadikan sebagai jaminan dalam perjanjian hutang-piutang. Undang-undang Hak Cipta dan Paten yang lama tidak mengatur terkait HKI dapat dijadikan sebagai jaminan, namun pada perubahan yang baru yaitu UU No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten telah mengatur bahwa hak cipta dan paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
Ciptaan yang dilindungi
Pasal 40 ayat 1 UUHC menyebutkan bahwa dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup:
- Buku, pamphlet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lainnya;
- Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lainnya;
- Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan Pendidikan dan ilmu pengetahuan;
- Lagu dan/atau music dengan atau tanpa teks;
- Drama, drama musical, tari, koreografi, pewayangan dan pantonim;
- Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung atau kolase;
- Karya seni terapan;
- Karya seni arsitektur;
- Peta;
- Karya seni batik atau seni motif lain;
- Karya fotografi;
- Potret;
- Karya sinematografi;
- Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi.
- Terjemahan, adaptasi aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;
- Kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program computer maupun media lainnya;
- kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
- Permainan video;
- Program computer.
Cabang HKI
Cabang HKI secara umum mengacu pada TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Organization) yaitu perjanjian yang mengatur tentang ketentuan HKI di bawah WTO (World Trade Orgaization). Beberapa elemen pokok menurut TRIPs antara lain:
- Hak cipta (copyrights and related rights)
- Merek dagang (trade mark)
- Indikasi geografis (geographical indicators)
- Desain industry (industrial design)
- Paten
- Desain tata letak sirkuit terpadu (design of integrated circuits)
- Informasi tertutup (protection of undisclosed information).
Manfaat HKI bagi Pembagunan Indonesia
Secara umum, ada beberapa manfaat yang diperoleh dari suatu system HKI yang baik, yaitu:
- HKI dapat meningkatkan pertumbuhan perdagangan dan investasi sebuah negara;
- HKI dapat mengembangkan dan meningkatkan teknologi;
- HKI mampu mendorong perusahaan dapat bersaing secara global;
- HKI dapat membantu meningkatkan inovasi inventoran secara efektif;
- HKI dapat mengembangkan sosial budaya masyarakat;
- HKI dapat menjaga reputasi perusahaan di dunia internasional untuk kepentingan ekspor.
HKI mampu memberikan keuntungan dalam berbagai bidang kehidupan baik sosial maupun ekonomi. Selain keuntungan bidang ekonomi melalui perdagangan dan investasi, HKI juga mampu memberikan keuntungan bidang sosial dan budaya. Keberadaan HKI mampu mengubah perilaku sosial menjadi perilaku yang selalu mau menghargai hasil karya orang lain, seperti hak cipta. Perlindungan paten juga mampu mengubah kebiasaan sosial menjadi perilaku positif yaitu selalu mau mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi merlalui budaya penelitian yang berbasis manfaat bagi kehidupan manusia.
Pelanggaran HKI
Terhadap pelanggaran HKI tentunya mempunyai konsekwensi hukum yang jelas dan pasti seperti pemberian sanksi pidana, denda atau keduanya.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan berkonsulasi kepada kami.
Sumber:
Dr. Khoirul Hidayah, S.H.,M.H., 2020, Hukum HKI Hak Kekayaan Intelektual, Setara Press, Malang-Jawa Timur.
Alur Proses Hukum Acara Pidana di Indonesia Secara Umum/Biasa:
Alur proses hukum acara pidana di Indonesia secara umum/biasa:
- Laporan/aduan dibuat oleh masyarakat/korban kepada Kantor Polisi yang mencakup wilayah terjadinya tindak pidana berdasarkan minimal 2 alat bukti;
- Kepolisian akan melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan memanggil para pihak untuk diperiksa, saksi-saksi, ahli-ahli, memeriksa barang dan/atau alat bukti dan apabila terpenuhi unsur-unsur pidananya berdasarkan bukti-bukti yang cukup maka akan ditetapkan tersangka/beberapa tersangka. Terkait dengan penahanan tersangka pada tingkat penyidikan adalah berdasarkan kewenangan diskresi Kepolisian dan juga ancaman pidana/hukuman dari pasal yang disangkakan;
- Setelah berkas dinyatakan lengkap atau P21 oleh Penuntut Umum, maka berkas dan tersangka akan dilimpahkan oleh Kepolisian ke Kejaksaan untuk dibuatkan dakwaan;
- Jaksa lalu melimpahkan berkas ke Pengadilan Negeri;
- Perkara kemudian disidangkan oleh Pengadilan Negeri yang berwenang dan pada persidangan tersebut terdapat berbagai agenda yang disidangkan yakni:
- Praperadilan (apabila mengajukan);
- Pengecekan identitas terdakwa;
- Pembacaan dakwaan (oleh Penuntut Umum);
- Eksepsi/bantahan dari terdakwa/Penasihat Hukum (jawab-menjawab atau replik/duplik antara terdakwa/Penasihat Hukum dan Penuntut Umum);
- Putusan sela oleh Majelis Hakim (putusan sela biasanya memutus tentang sengketa kewenangan mengadili secara absolut atau relatif pengadilan, eksepsi/bantahan dari terdakwa/Penasihat Hukum, dan lainnya);
- Pembuktian (pemeriksaan saksi-saksi, barang/alat bukti, ahli, terdakwa dan lainnya);
- Tuntutan dan pledoi atau pembelaan (jawab-menjawab atau replik/duplik antara Penuntut Umum dan terdakwa/Penasihat Hukum);
- Putusan oleh Majelis Hakim;
- Apabila para pihak baik dari terdakwa atau penuntut umum tidak terima dengan putusan Pengadilan Negeri maka upaya hukum yang dapat diajukan adalah permintaan banding dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir berdasarkan Pasal 233 ayat 2 KUHAP agar perkaranya diperiksa oleh Pengadilan Tinggi, permintaan diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya. Apabila para pihak tidak terima dengan Putusan Pengadilan Tinggi maka para pihak dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa berdasarkan Pasal 245 ayat 1 KUHAP, permohonan kasasi diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya pada tingkat pertama. Disamping itu juga terpidana dapat melakukan upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya pada tingkat pertama.
Catatan:
Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dapat dibanding, antara lain:
- Putusan bebas atau vrijspraak (acquittal);
- Putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan Onslag van Recht Vervolging;
- Putusan acara cepat.
Adapun terhadap ketiga hal tersebut langsung diajukan kasasi.
Demikianlah alur proses beracara pidana secara umum/biasa di seluruh Indonesia, sebenarnya masih terdapat banyak detail yang dapat saya jelaskan tetapi agar mempersingkat waktu dan agar mudah dipahami oleh masyarakat umum maka saya merangkumnya dalam garis besar saja dan selebihnya anda dapat membacanya pada sumber di bawah ini atau berkonsultasi kepada kami.
Sumber:
- KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
- Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.
- Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
- https://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/kepaniteraan/kepaniteraan-pidana/808-tata-urutan-persidangan-perkara-pidana
- https://pn-bandaaceh.go.id/alur-perkara-pidana/
- https://www.pn-bekasikota.go.id/images/AlurPidana/Prosedur-Persidangan-Pidana.jpg
Alur proses gugatan/kasus perdata secara umum di Indonesia:
Alur proses gugatan/kasus perdata secara umum di Indonesia:
- Subjek hukum/orang/badan hukum (penggugat) yang berkeberatan atau merasa haknya dilanggar oleh subjek hukum/orang/badan hukum lain (tergugat) membuat dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang;
- Pengadilan Negeri akan memeriksa berkas-berkas kelengkapan berupa berkas gugatan dan surat kuasa bila memakai kuasa hukum;
- Apabila memenuhi syarat maka Pengadilan Negeri akan mendaftarkan perkara dan nomor perkara akan diberikan kepada Penggugat setelah biaya pendaftaran gugatan dibayar. Nantinya para pihak akan dipanggil oleh Pengadilan Negeri tersebut dengan surat resmi untuk menghadiri persidangan;
- Adapun agenda persidangan secara umum antara lain:
- Pemeriksaan identitas dan surat kuasa (bila memakai kuasa hukum);
- Proses mediasi dengan menunjuk mediator;
- Mediasi;
- Apabila mediasi berjalan lancar maka akan diputus dengan putusan akta perdamaian, apabila tidak maka akan dilanjutkan ke agenda Pembacaan gugatan;
- Eksepsi/bantahan/jawaban dari Tergugat (replik/duplik atau jawab menjawab antara para pihak);
- Sebelum pembuktian kemungkinan ada putusan sela dari Majelis Hakim (putusan provisionil, putusan tentang dikabulkan/tidak dikabulkannya eksepsi absolut/relative, gugatan intervensi, dll.);
- Pembuktian dengan memeriksa legal standing, saksi-saksi, alat/barang bukti, ahli, pemeriksaan setempat dan lainnya;
- Kesimpulan (dapat diajukan oleh para pihak);
- Putusan oleh Majelis Hakim.
- Apabila para pihak tidak terima dengan putusan Pengadilan pada tingkat Pengadilan Negeri maka upaya hukum yang dapat diajukan adalah banding dalam kurun waktu 14 hari sejak putusan diucapkan atau setelah diberitahukan dalam hal putusan tersebut diucapkan diluar hadir agar perkaranya diperiksa oleh Pengadilan Tinggi yang mana diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara. Apabila para pihak tidak terima dengan Putusan Pengadilan Tinggi maka para pihak dapat mengajukan kasasi dalam kurun waktu 14 hari sejak putusan diucapkan atau setelah diberitahukan dalam hal putusan tersebut diucapkan diluar hadir agar perkaranya diperiksa oleh Mahkamah Agung yang mana diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara. Para pihak juga dapat melakukan upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung yang mana diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap/inkracht.
- Pengajuan gugatan juga dapat diajukan dengan online.
Demikianlah alur proses gugatan secara umum di Pengadilan seluruh Indonesia, sebenarnya masih terdapat banyak detail yang dapat saya jelaskan tetapi agar mempersingkat waktu dan agar mudah dipahami oleh masyarakat umum maka saya merangkumnya dalam garis besar saja dan selebihnya anda dapat membacanya pada sumber di bawah ini atau berkonsultasi kepada kami.
Sumber:
- Yahya Harahap, S.H., 2008, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
- https://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/813-tata-urutan-persidangan-perkara-perdata
- https://pn-klaten.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/653-tata-urutan-persidangan-perkara-perdata
- http://pn-ponorogo.go.id/joomla/index.php/kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/upaya-hukum-perdata/banding-perdata
- http://pn-ponorogo.go.id/joomla/index.php/kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/upaya-hukum-perdata/kasasi-perdata
- http://pn-ponorogo.go.id/joomla/index.php/kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/upaya-hukum-perdata/peninjauan-kembali-perdata
CCTV sebagai alat bukti.
Closed-Circuit Television atau Televisi Sirkuit Tertutup biasa disingkat CCTV yang berarti menggunakan sinyal yang bersifat tertutup, tidak seperti televisi biasa yang merupakan sinyal siaran mengandalkan sinyal analog.[1] Sinyal analog digunakan untuk mentransmisi video dari satu kamera atau lebih ke perangkat penerima (receiver). Kamera analog merekam gambar, lalu mengirim gambar tersebut melalui kabel coaxial ke Digital Video Recorder (DVR). DVR kemudian mengubah video dari sinyal analog ke sinyal digital, memadatkan data, dan menyimpannya dalam hard drive. Monitor, yang digunakan untuk menampilkan hasil rekaman, harus tersambung dengan DVR. DVR bisa juga terkoneksi ke router dan modem untuk menampilkan video melalui internet dalam jaringan internal.[2]
CCTV adalah sistem pengawasan berbasis video (Video Surveilance) dengan menggunakan kamera. Sistem pengawasan berbasis video ini digunakan untuk meningkatkan semua aktifitas dari objek yang diamati selain itu juga bisa sebagai alat yang dapat memberikan informasi secara langsung apa yang terjadi pada waktu itu juga.[3]
Tujuannya adalah untuk memberikan efek psikologis yang positif terhadap orang yg berada disekitar kamera. Sehingga orang tersebut merasa diawasi dan tidak akan bertindak kriminal walaupun tidak ada orang disekitarnya.[4]
Banyak klien kami meremehkan CCTV sebagai alat bukti dalam kasus yang dialami oleh mereka, mereka berpikir CCTV hanya menghabiskan uang dan waktu mereka, tetapi pada kenyataannya CCTV sangat membantu dalam mengungkap fakta dan kebenaran terkait suatu peristiwa hukum. CCTV adalah jalan pintas dari pergulatan argumentasi karena dengan CCTV akan terungkap fakta dan kebenaran terkait suatu peristiwa yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang pada suatu waktu dan tempat tertentu. Oleh karenanya sangat penting agar kediaman pribadi atau kantor anda dilengkapi dengan CCTV, sangat membantu kami sebagai penegak hukum untuk mengungkap fakta terhadap suatu peristiwa yang terjadi, apalagi CCTV yang memiliki hasil rekaman audio dan video yang bagus. CCTV juga adalah salah satu alat pencegah agar peristiwa pidana tidak terjadi menimpa anda.
Sumber:
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_sirkuit_tertutup
[2] https://tekno.kompas.com/read/2020/07/05/10170047/sama-sama-kamera-pengawas-apa-bedanya-ip-camera-dan-cctv-?page=all
[3] https://medium.com/@cecepahmadfauzi93/apa-itu-cctv-dd5e9bcb2adf
[4] Ibid.
Hukum dan Keadilan
A. Hukum
Pengertian Hukum
Hukum menurut Soerojo Wignojodipoero dalam buku Pengantar Ilmu Hukum menyatakan bahwa hukum adalah:
Himpunan peraturan perundang-undangan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan, atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur keterlibatan dalam kehidupan.
Satjipto Raharjo menjelaskan hukum adalah karya manusia berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tungkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan hukum adalah kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogianya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya atau seyogianya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman kaidah hukum bersifat umum dan pasif.
J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto menjelaskan hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukuman.
B. Peradilan
Pengertian Peradilan
Peradilan adalah pekerjaan hakim atau badan pengadilan. Hakim dan pengadilan adalah badan yang oleh penguasa dengan tegas dibebani tugas untuk memeriksa pengaduan tentang gangguan hak (hukum) atau memeriksa gugatan dan badan itu memberi putusan hukum.
Kata peradilan terdiri dari kata dasar adil dan mendapat awalan per serta akhiran an berarti segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan. Pengadilan disini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai Pengertian yang abstrak, yaitu hal memberikan keadilan. Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberikan keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan konkretnya kepada yang mohon keadilan, apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya. Dengan kata lain, peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara, baik perkara perdata maupun perkara pidana, untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum material.
Peradilan hukum lebih cenderung menyelesaikan perkara melalui pengadilan sebagai lembaganya sedangkan peradilan keadilan lebih menempuh jalur di luar pengadilan, seperti dengan jalan perdamaian melalui Lembaga arbitrase.
C. Hukum dan Keadilan
Hukum merupakan salah satu institusi untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Para ahli hukum banyak berbeda pendapat dalam merumuskan keadilan.
Keadilan memang dapat dirumuskan secara sederhana sebagai tolak ukur yang dipakai oleh para ahli dalam mendefinisikan keadilan. Rumusan tersebut diantaranya adalah:
- Keadilan dari sudut pandang Hans Kelsen
Keadilan menurutnya adalah suatu tertib sosial tertentu dalam usaha untuk mencari kebenaran yang berkembang dengan subur. Keadilan itu diantaranya adalah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi, keadilan toleransi.
- Herber Spenser
Setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain.
- Justinian
Keadilan adalah kebajikan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang mendapatkan apa yang merupakan bagiannya.
- Ulpianus
Keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya (Justitia est constans et perpetua voluntas ius ssum curique tribuendi)
- Aristoteles
Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Orang harus mengendalikan diri dari Pleonesia yaitu memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dengan merebut apa yang merupakan kepunyaan orang lain, atau menolak apa yang seharusnya diberikan kepada orang lain.
D. Hukum sebagai Pelindung Hak
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak.
Hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi hak juga mengandung unsur kehendak. Apabila seseorang memiliki sebidang tanah, maka hukum memberikan hak kepada dia dalam arti bahwa kepentingan di atas tanah tersebut mendapat perlindungan. Dia bebas berkehendak dengan tanah yang ia miliki tersebut.
Menurut Fitzgerald, ciri-ciri hak yang melekat pada hukum adalah:
- Hak itu dilekatkan kepada seseroang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.
- Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
- Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) suatu perbuatan. Hak ini bisa disebut sebagai isi dari hak.
- Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut sebagai objek dari hak.
- Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.
Pengertian hak juga dipakai dalam arti kekebalan terhadap kekuasaan hukum orang lain. Sebagaimana halnya kekuasaan itu adalah kemampuan untuk mengubah hubungan-hubungan hukum, kekebalan ini merupakan pembebasan dari adanya suatu hubungan hukum yang bisa diubah oleh orang lain. Kekebalan mempunyai kedudukan yang sama dalam hubungan dengan kekuasaan seperti antara kemerdekaan dengan hak dalam arti sempit: kekebalan adalah pembebasan dari kekuasaan orang lain, sedangkan kemerdekaan merupakan pembebasan dari hak orang lain.
Hak-hak dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Hak sempurna dan hak tidak sempurna
Hak yang sempurna adalah yang dapat dilaksanakan melalui hukum seperti kalau perlu melalui pemaksaan oleh hukum. Hak yang tidak sempurna adalah yang diakui oleh hukum, tetapi tidak selalu dilakukan oleh pengadilan, seperti hak yang dibatasi oleh lembaga daluawarsa.
- Hak-hak utama dan tambahan
Hak utama adalah yang diperluas oleh hak-hak lain. Hak tambahan adalah yang melengkapi hak-hak utama, seperti perjanjian sewa menyewa tanah yang memberikan hak tambahan kepada hak utama dari pemilik tanah.
- Hak publik dan hak perdata
Hak publik adalah yang ada pada masyarakat umumnya, yaitu negara. Hak perdata adalah yang ada pada perorangan, seperti hak seseorang untuk menikmati barang yang dimilikinya.
- Hak-hak positif dan negatif
Hak positif menuntut dilakukan perbuatan-perbuatan positif dari pihak tempat kewajiban korelatifnya berada, seperti hak menerima keuntungan pribadi.
- Hak-hak milik dan pribadi
Hak-hak milik berhubungan dengan barang-barang yang dimiliki oleh seseorang yang biasanya bisa dialihkan. Hak-hak pribadi berhubungan dengan kedudukan seseorang yang tidak pernah bisa dialihkan.
E. Kewajiban
Antara hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat erat. Kewajiban merupakan hal mutlak dibutuhkan seseorang yang ingin haknya terpenuhi. Seseorang dapat menuntut haknya apabila ia telah menyelesaikan kewajibannya.
Curzon mengelompokkan kewajiban ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
- Kewajiban-kewajiban yang mutlak dan nisbi
Austin berpendapat bahwa kewajiban yang mutlak adalah yang tidak mempunyai pasangan hak, seperti kewajiban yang tertuju kepada diri senidri, yang diminta oleh masyarakat pada umumnya; yang hanya ditujukan kepada kekuasaan (sovereign) yang membawahinya. Kekuasaan nisbi adalah yang melibatkan hak di lain pihak.
- Kewajiban-kewajiban publik dan perdata
Kewajiban publik adalah yang berkorelasi dengan hak-hak publik, seperti kewajiban untuk mematuhi hukum pidana. Kewajiban perdata adalah korelatif dari hak-hak perdata, seperti kewajiban yang timbul dari perjanjian.
- Kewajiban-kewajiban yang positif dan yang negatif
Kewajiban positif menghendaki dilakukannya perbuatan positif seperti kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembelinya. Kewajiban negatif adalah yang menghendaki agar suatu pihak tidak melakukan sesuatu, seperti kewajiban seseorang untuk tidak melakukan sesuatu yang mengganggu milik tetangganya.
- Kewajiban-kewajiban universal, umum dan khusus
Kewajiban universal ditujukan kepada semua warga negara, seperti yang timbul dari undang-undang. Kewajiban umum ditujukan kepada segolongan orang-orang tertentu, seperti orang asing, orang tua (ayah, ibu). Kewajiban khusus adalah yang timbul dari bidang hukum tertentu, seperti kewajiban dalam hukum perjanjian.
- Kewajiban-kewajiban primer dan yang bersifat memberi sanksi
Kewajiban primer adalah yang tidak timbul dari perbuatan yang melawan hukum, seperti kewajiban seseorang untuk tidak mencemarkan nama baik orang lain yang dalam hal ini tidak timbul dari pelanggaran terhadap kewajiban lain sebelumnya. Kewajiban yang bersifat memberi sanksi adalah yang semata-mata timbul dari perbuatan yang melawan hukum, seperti kewajiban tergugat untuk membayar gugatan pihak lain yang berhasil memenangkan perkara.
F. Tanggung Jawab dalam Pandangan Hukum
Tanggung jawab merupakan hasil yang ditimbulkan dari suatu perbuatan. Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan maka perbuatan itu akan berdampak kepada orang lain, dampak atau akibat itu harus ditanggung oleh orang yang melakukan perbuatan tersebut. Tanggung jawab dituntut karena ada suatu kesalhaan yang dapat merugikan hak dan kepentingan orang lain.
Menurut Roscoe Pound, ada tiga macam jenis tanggung jawab, yaitu:
- Pertanggungjawaban atas perugian dengan disengaja.
- Pertanggungjawaban atas perugian karena kealpaan dan tidak disengaja.
- Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas perugian yang dilakukan tidak karena kelalaian serta tidak disengaja.
Pertanggungjawaban adalah perkara delik, apabila pihak yang dirugikan tidak mengajukan perkara, maka tidak ada tuntutan untuk bertanggung jawab. Pengajuan perkara delik ini dapat ditempuh dengan jalan pengadilan dan dapat juga ditempuh dengan jalan perdamaian dengan penggantian kerugian (kompensasi).
G. Keadilan
- Pengertian Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia, adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah.[1] Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma yang objektif, jadi tidak subjektif apalagi sewenang-wenang. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, kapan seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala di definisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat tersebut. Bagi kebanyakan orang keadilan adalah prinsip umum, bahwa individu-individu tersebut seharusnya menerima apa yang sepantasnya mereka terima.[2]
Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasikan atau dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasarkan pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan dibenarkan oleh hal lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh Sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dianggap mapan, hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial.[3]
Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di dasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup Bersama. Maka di dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan Bersama (kehidupan sosial). Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.[4]
Rasa keadilan pada pokoknya merupakan buah pekerjaan kerohanian dari seorang manusia. Dan, seorang manusia pada pokoknya bersifat perseroangan atau subjektif. Akan tetapi, dalam hidup kemasyarakatan bertahun-tahun, berwindu-windu, berabad-abad, berzaman-zaman, tiap-tiap anggota masyarakat sudah dengan sendirinya, tanpa pikiran, merasa bahwa hawa nafsu masing-masing pada akhirnya harus dikurangi untuk memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat lain untuk merasakan kenikmatan juga dalam hidup Bersama di dunia ini.
Maka, rasa keadilan tiap-tiap anggota masyarakat, meskipun melekat pada orang perorang, pada umumnya sudah mengandung unsur saling menghargai berbagai kepentingan masing-masing sehingga sudah selayaknya apabila di antara berbagai rasa keadilan dari berbagai oknum anggota masyarakat ada persamaan irama yang memungkinkan persamaan wujud juga dari buah rasa keadilan itu[5].
Jika keadilan dimaknai sebagai kebahagiaan sosial, maka kebahagiaan sosial tersebut akan tercapai jika kebutuhan individu sosial terpenuhi. Tata aturan yang adil adalah tata aturan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun tidak dapat dihindarkan adanya fakta bahwa keinginan seseorang atas kebahagiaan dapat bertentangan dengan keinginan orang lain. Maka keadilan adalah pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat tertentu. Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang.[6] Tetapi kalau keadilan dimaknai sebagai legalitas. Adalah adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan pelaksanaannya. Menurut legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adalah adil atau tidak adil berarti legal atau illegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian dari tata hukum positif. Hanya dalam makna legalitas inilah keadilan dapat masuk ke dalam ilmu hukum.[7]
Keadilan merupakan suatu perilaku adil, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya atau sesuai dengan porsinya, adil itu tidak harus merata berlaku bagi semua orang tetapi sifatnya subjektif. Segala yang sudah menjadi ketentuan Allah pastilah adil, karena itu Allah memerintahkan kepada umat manusia agar berperilaku adil, karena adil itu lebih dekat ketakwaan. Untuk menerima suatu keadilan pada mulanya akan terasa berat dan tidak menerimanya, oleh karena itu untuk menerima keadilan itu kuncinya adalah keikhlasan, sedangkan untuk menerima keikhlasan itu pada mulanya juga begitu berat, tetapi jika dirasakan dan diserahkan kepada Allah Tuhan Semesta Alam, pastilah akan bisa menerimanya, sehingga untuk menjalankan ikhlas itu harus sabar dan tawakal.[8]
Sehingga tidak terjadi keadilan mirip cerita gajah yang diteliti oleh para peneliti buta. Setiap peneliti merasakan bagian yang berbeda kaki, telinga, gading, sehingga masing-masing melukiskan ini dengan cara yang berbeda-beda pula gemuk dan kuat, tipis dan lentur, halus dan keras. Sementara si gajah itu sendiri sang keadilan tidak pernah bisa dikenal seluruhnya oleh deskripsi individual manapun.[9]
Jadi kriteria keadilan seperti hal kriteria kebenaran, tidak tergantung pada frekuensi dibuatnya pembenaran tersebut. Karena manusia terbagi menjadi banyak bangsa, kelas, agama, profesi dan sebagainya, yang berbeda-beda, maka terdapat banyak ide keadilan yang berbeda-beda pula. Terlalu banyak untuk menyebut salah satunya sebagai keadilan.[10] Begitu juga penelitian orang-orang buta terhadap gajah tersebut di atas, setiap peneliti merasakan bagian yang berbeda-beda.
Karena keadilan dan kebenaran sebagai kompas, maka proses hukum berjalan objektif dan rasional, rasional artinya terdapat tolak ukur yang jelas, logis dan diterima akal sehat siapapun. Objektif, artinya penyelesaian kasus harus mengikuti prosedur normatif yang terkait dengan masalah yang ditangani, bukan mengikuti kehendak subjektif pihak pelaksana hukum. Tolak ukur itulah yang mesti diterapkan kepada siapa pun tanpa pandang bulu. Sehingga semua orang beruntung dari adanya hukum yang benar-benar objektif, adil, rasional. Yang jahat pasti dihukum, yang lemah tidak diperlakukan sewenang-wenang menurut pesanannya orang kuat. Dan, orang kuat, tidak ada kompromi, harus diadili jika terbukti melanggar hukum. Hukum menempatkan semua orang sama.[11]
- Keadilan menurut Filsuf
a. Plato
Dalam konteks doktrin ide Plato, ide keadilan bisa ditunjukkan dalam kaitannya dengan ide tentang negara (polis), karena perenungan gagasan tentang negara (polis) ini menghasilkan sebuah citra di mana hukum dan perundangan nyaris tidak memainkan peran sama sekali[12]. Menurut Plato keadilan adalah emansipasi dan partisipasi warga negara (polis) dalam gagasan tentang kebaikan dalam negara dan itu merupakan suatu pertimbangan filsafat bagi suatu undang-undang.
b. Aristoteles
Aristoteles merupakan filsuf Yunani yang agak jelas berbicara mengenai keadilan. Dari karyanya Etika Nichomachea dapat diketahui pikiran-pikirannya tentang keadilan. Bagi Aristoteles keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis atau tidak tertulis) adalah keadilan. Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua, yaitu:
- Keadilan distributif adalah keadilan yang berlaku dalam hukum publik yaitu berfokus pada distribusi, honor kekayaan, dan barang-barang lain yang diperoleh oleh anggota masyarakat.
- Keadilan korektif, adalah keadilan yang berhubungan dengan pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi bagi pihak yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Jadi ganti kerugian dan sanksi adalah sebuah keadilan korektif menurut Aristoteles[13].
Lebih lengkap mengenai keadilan menurut Aristoteles ini dikemukakan oleh Theo Huijbers, antara lain:
- Keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik. Disini berlaku kesamaan geometris. Misalnya, kalau seorang bupati dua kali lebih penting daripada seorang camat, maka bupati harus mendapatkan kehormatan dua kali lebih banyak daripada camat. Kepada sama penting diberikan yang sama, dan yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama.
- Keadilan dalam jual-beli. Menurutnya harga barang tergantung kedudukan dari pihak. Ini sekarang tidak mungkin diterima.
- Keadilan sebagai kesamaan aritmatis dalam bidang privat atau juga publik. Kalau seorang mencuri, maka ia harus dihukum, tanpa memedulikan kedudukan orang yang bersangkutan. Sekarang, kalau pejabat terbukti secara sah melakukan korupsi maka pejabat itu harus dihukum, tidak peduli bahwa ia adalah pejabat.
- Keadilan dalam bidang penafsiran hukum. Karena undang-undang itu bersifat umum, tidak meliputi semua persoalan konkret, maka hakim harus menafsirkannya seolah-olah ia sendiri terlibat dalam peristiwa konkret itu. Menurut Aristoteles hakim tersebut harus memiliki epikeia, yaitu “suatu rasa tentang apa yang pantas”[14].
c. Friedrich Nietzsche
Dalam karyanya yang berjudul Menschlisches Allzumenschliches, mengatakan bahwa aslinya keadilan itu adalah kuasa atau kekuatan yang sama. Atau keadilan adalah ganjaran atau balasan dan pertukaran dengan syarat posisi kekuatan atau kekuasaan yang kira-kira sama. Begitu misalnya bahwa aslinya balas dendam itu terletak dalam ruang lingkup keadilan. Ia adalah suatu pertukaran[15].
d. Gustav Radbruch
Keadilan dibedakan dalam beberapa arti:
- Keadilan sebagai keutamaan atau kebajikan (Gerechtigkeit als Tugend), yaitu keadilan sebagai sifat atau kualitas pribadi (misalnya bagi seorang hakim). Disini adalah keadilan subjektif, dan keadilan sebagai sifat atau kualitas hubungan antarmanusia (misalnya harga yang adil). Keadilan subjektif adalah pendirian atau sikap, pandangan dan keyakinan yang diarahkan kepada terwujudnya keadilan objektif sebagai keadilan yang primer. Sementara keadilan subjektif adalah sekunder. Apa itu keadilan objektif, kurang begitu jelas. Barangkali dalam pandangan Radbruch, keadilan objektif itu adalah keadilan dalam hubungan antar manusia.
- Keadilan menurut ukuran hukum positif dan keadilan menurut cita hukum (rechtsidee), atau hukum positif dan cita hukum adalah sumber keadilan.
- Inti dari keadilan adalah kesamaan (Gleichheit). Disini Radbruch mengikuti pandangan Aristoteles tentang keadilan, yaitu keadilan komutatif (misalnya antara prestasi dan kontra prestasi) dan keadilan distributive (di bidang privat dan public. Privat: gaji dibayar sesuai prestasi kerja, publik: jabatan berdasarkan kualifikasi)[16].
e. John Stuart Mill dan Bentham
Menjelaskan keadilan adalah manfaat atau kebahagiaan terbesar bagi banyak orang. Jadi Sebagian kecil orang atau individu bisa saja jadi korban demi kepentingan banyak orang dan itu tetap disebut “keadilan” juga[17].
f. Jacques Derrida
Derrida menjelaskan keadilan adalah sebuah pengalaman tentang yang tidak mungkin, pengalaman sebagai “melintasi” dalam arti, sebuah pengalaman merupakan sesuatu yang membuka jalan, membuat akses dan merombak. Keadilan adalah sebuah pengalaman aporia, yaitu sesuatu batas-batas dari hal yang bisa dialami, misalnya orang terjebak ke dalam sebuah jalan buntu, atau dengan kata lain, aporia tidak adanya akses, jalan buntu artinya di sini seseorang tidak dapat sepenuhnya mengalami keadilan[18].
g. Notohamidjojo
Notohamidjojo membedakan keadilan menjadi tiga, yaitu:
- Keadilan vindikatif, adalah keadilan yang menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
- Keadilan kreatif, adalah keadilan yang memberikan kesempatan dan kebebasan yang sama bagi setiap orang untuk berkreasi yang positif.
- Keadilan protektif, adalah keadilan yang memberikan perlindungan yang sama bagi setiap orang dalam masyarakat[19].
h. Widiartana
Widiartana menjelaskan bahwa dalam hukum pidana biasanya dikenal dua macam keadilan, yaitu sebagai berikut:
- Keadilan retributif adalah keadilan yang menitikberatkan pada pemidanaan pelaku kejahatan sebagai pembalasan atau pengimbalan atas kejahatan yang telah dilakukannya.
- Keadilan restoratif adalah keadilan yang lebih menitikberatkan atau berfokus pada perbaikan atau pemulihan korban yang telah menderita akibat kejahatan si pelaku. Dengan kata lain, keadilan ini lebih ditunjukkan kepada korban daripada kepada si pelaku. Ini juga merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku tanpa mengesampingkan kepentingan rehabilitas terhadap pelaku. Menurut Widiartana keadilan restoratif dalam bidang pidana ini lebih cocok dengan asas kekeluargaan dalam Pancasila. Adalah adil bahwa pelaku kejahatan dipidana. Misalnya pelaku kejahatan dalam rumah tangga, namun juga lebih adil, bila kepada korban dilakukan pemulihan[20].
Dari berbagai definisi di atas, sangat tampak beranekaragamnya pemahaman tentang makna keadilan. Ada yang mengaitkan dengan keadilan dengan peraturan politik negara, sehingga ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan, senantiasa didasarkan pada ukuran yang telah ditentukan oleh negara. Ada yang memandang keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus-menerus, untuk memberikan apa yang menjadi hak bagi setiap orang. Juga ada yang melihat keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksaan hukum, yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan.
Dengan demikian, juga ungkapan tentang “keadilan” ada yang menempatkan keadilan sebagai sesuatu yang harus disucikan, dan berada bukan hanya di ruang persidangan pengadilan, melainkan dimana pun, dan harus dibersihkan dari kekotoran skandal dan korupsi. Diantara ungkapan di atas, ada yang menegaskan bahwa yang namanya “keadilan” sempurna itu tidak pernah ada, yang ada hanyalah sekadar pencapaian keadilan dalam kadar tertentu[21].
[1] Eko Hadi Wiyono, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Jakarta, Akar Media, 2007, h. 10.
[2] M. Agus Santoso, Hukum, Moral, dan Keadilan, Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2012, h. 85.
[3] John Rawls, A Theory of justice Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011, h. 3-4.
[4] Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Paradigma, 2007, h. 36.
[5] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2008, h. 18-19.
[6] Hans Kelsen dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press, 2012, h. 17.
[7] Ibid., h. 21.
[8] M. Agus Santoso, Op. cit., h. 87-88.
[9] Karen Leback, Teori-teori Keadilan Six Theories of Justice, Suplemen: Konsep Keadilan dalam Kristen, oleh Hans Kelsen, Bandung, Nusa Media, 1986, h. 1.
[10] Jimly Asshiddiqie dan M Ali Safa’at, Op. cit, h. 18.
[11] Dossy Iskandar Prasetyo dan Bernard L. Tanya, Hukum Etika dan Kekuasaan Yogyakarta, Genta Publishing, 2011, h. 111-112.
[12] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nusa Media, 2010, h. 19.
[13] Aristoteles dalam Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta, Kanisius, 1984, h. 29.
[14] Ibid., h. 30.
[15] Friedrich Nietzsche, dalam Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum (dari Klasik sampai Postmodernisme), Edisi lengkap, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, 2011, h. 244.
[16] Ibid., h. 245.
[17] Ibid., h. 246.
[18] Derrida dalam Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum-Non Sistematik, Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h. 94.
[19] Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1975, h. 53-54.
[20] G. Widiartana, Keadilan Restoratif pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan Hukum Pidana, Makalah Diskusi, Yogyakarta, Fakultas hukum UAJY, 2010, h. 5.
[21] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang (Legisprudence), vol 1 Pemahaman Awal, Jakarta, Prenadamedia Group, 2012, h. 221-222.
Ingkar Janji atau Wanprestasi dan Keadaan Memaksa atau Keadaan Kahar
A. Wanprestasi
a. Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Dengan demikian, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Wanprestasi (lalai/alpa) dapat timbul karena:
- Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri;
- Adanya keadaan memaksa (overmacht).
b. Macam-macam Wanprestasi
Adapun seorang debitur yang dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi ada empat macam, yaitu:
- Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
- Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya;
- Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya;
- Debitur memenuhi prestasi, tetapi melakukan yang dilarang dalam perjanjian.
c. Mulai Terjadinya Wanprestasi
Pada umumnya, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitur dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di luar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan tenggang waktunya, maka seorang kreditur dipandang perlu untuk memperingatkan/menegur debitur agar ia memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut juga dengan sommatie (somasi).
Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur dianggap lalai dengan lewat waktu yang ditentukan. Suatu somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas dasar apa, serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini berguna bagi kreditur apabila ingin menuntut debitur di muka pengadilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi.
Teguran atau peringatan tidak perlu, jika si berhutang pada suatu ketika sudah dengan sendirinya dapat dianggap lalai. Misalnya dalam hal perjanjian untuk membikin pakaian mempelai, tetapi pada hari perkawinan, pakaian itu ternyata belum selesai. Dalam hal ini meskipun prestasi itu dilakukan oleh si berhutang tetapi tidak menurut perjanjian, maka prestasi yang dilakukan itu dengan sendirinya dapat dianggap suatu kelalaian. Ada kalanya, dalam kontrak itu sendiri sudah ditetapkan, kapan atau dalam hal-hal mana si berhutang dapat dianggap lalai. Disini tidak diperlukan suatu sommatie atau peringatan.
d. Akibat-akibat Wanprestasi
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur. Sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada empat macam, yaitu:
- Debitur diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata);
- Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata);
- Peralihan resiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata)
- Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat 1 HIR)
Di samping itu, dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan perjanjian. Dalam hal demikian pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak terpenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan (Pasal 1266 KUHPerdata).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata, maka dalam hal debitur melakukan wanprestasi, maka kreditur dapat memilih tuntutan-tuntutan haknya berupa:
- Pemenuhan perjanjian.
- Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi.
- Ganti rugi saja.
- Pembatalan perjanjian.
- Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.
Kewajiban membayar ganti-kerugian bagi debitur baru dapat di laksanakan apabila kreditur telah memenuhi empat syarat, yaitu:
- Debitur memang telah lalai melakukan wanprestasi.
- Debitur tidak berada dalam keadaan memaksa.
- Tidak adanya tangkisan dari debitur untuk melumpuhkan tuntutan ganti rugi.
- Kreditur telah melakukan somasi/peringatan.
e. Pembelaan Debitur yang Wanprestasi
Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela dirinya dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu:
- Menyatakan adanya keadaan memaksa (overmacht).
- Menyatakan bahwa kreditur telah lalai.
- Menyatakan bahwa kreditur telah melepaskan haknya.
B. Ganti Kerugian dalam Wanprestasi
a. Pengertian Ganti Kerugian
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perjanjiannya tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya (Pasal 1243 KUHPerdata). Dengan demikian pada dasarnya, ganti kerugian itu adalah ganti kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi.
b. Unsur-unsur Ganti Kerugian
Menurut ketentuan pasal 1246 KUHPerdata, ganti kerugian itu terdiri atas tiga unsur, yaitu:
- Biaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan.
- Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur.
- Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur apabila debitur tidak lalai.
c. Batasan-batasan Mengenai Ganti Kerugian
Pada dasarnya, tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Undang-undang menentukan, bahwa kerugian yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur sebagai akibat dari wanprestasi:
- Kerugian yang dapat diduga Ketika perjanjian dibuat. Menurut pasal 1247 KUHPerdata, debitur hanya diwajibkan membayar ganti kerugian yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perjanjian dibuat, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya.
- Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi. Menurut pasal 1248 KUHPerdata, jika tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya debitur, pembayaran ganti-kerugian sekadar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perjanjian.
C. Keadaan memaksa
a. Pengertian Keadaan Memaksa/Keadaan Kahar
Keadaan memaksa/Keadaan kahar atau overmacht atau force majeur diartikan secara berbeda-beda menurut para sarjana, antara lain:
- Menurut Prof. Subekti, S.H., keadaan memaksa adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
- Menurut Abdulkadir Muhammad, S.H., keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
- Menurut R. Setiawan, S.H., keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan memaksa ini, debitur tidak dapat dipersalahkan atas tidak dapat terlaksananya suatu perjanjian atau terlambatnya pelaksanaan suatu perjanjian. Sebab, keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan atau dugaan dari si debitur, dan oleh karenanya, maka debitur tidak dapat dihukum atau dijatuhi sanksi.
b. Unsur-unsur Keadaan Memaksa
Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu adalah:
- Tidak dipenuhi prestasi, karena suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan. Ini selalu bersifat tetap.
- Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi. Ini dapat bersifat tetap atau sementara.
- Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi, bukan karena kesalahaan pihak-pihak khususnya debitur.
c. Pengaturan Keadaan Memaksa dalam KUHPerdata
Dalam KUH Perdata, soal keadaan memaksa ini diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Tetapi dua pasal yang mengatur keadaan memaksa ini hanya bersifat sebagai pembelaan debitur untuk dibebaskan dari pembayaran ganti kerugian jika debitur tidak memenuhi perjanjian karena adanya keadaan memaksa ketentuan dua pasal tersebut adalah:
- Menurut Pasal 1244 KUHPerdata, jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.
- Menurut Pasal 1245 KUHPerdata, tidaklah biaya rugi dan bunga, harus di gantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Untuk mengetahui lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
P.N.H. Simanjuntak, S.H., 2016, Hukum Perdata Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta.
Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia
Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Pasal 4 menetapkan hak-hak konsumen sebagai berikut:
- Hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
- Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
- Hak untuk di dengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
- Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif.
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain hak-hak konsumen tersebut, UUPK juga mengatur hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, yakni tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak sesungguhnya merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat dan sebagai (merupakan bagian dari) hak konsumen. Kewajiban pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 7 antara lain:
- Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
- Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
- Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
- Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
- Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa ang diperdagangkan.
- Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pasal 5, selain memperoleh hak-hak tersebut, konsumen juga memiliki kewajiban untuk:
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
- Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Secara bersamaan, berdasarkan Pasal 6, pelaku usaha juga memiliki hak-hak yang harus dilindungi. Hak-hak pelaku usaha ini juga merupakan bagian dari kewajiban konsumen, yaitu:
- Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
- Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik.
- Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
- Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Lebih lanjut, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menetapkan larangan-larangan bagi pelaku usaha yang berujung pada kerugian konsumen. Pelanggaran terhadap larangan-larangan tersebut merupakan tindak pidana.
Pasal 8, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
- Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentutan peraturan perundang-undangan.
- Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
- Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
- Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
- Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
- Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
- Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
- Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
- Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau neto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
- Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 ayat (2) pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Pasal 8 ayat (3) pelaku usaha juga dilarang untuk memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Maka, bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut, dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Pasal 9, pelaku usaha dilarang untuk memperdagangkan, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
- Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
- Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru.
- Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
- Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
- Barang dan/atau jasa tersebut tersedia.
- Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
- Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
- Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
- Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
- Menggunakan kata-kata berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek samping tanpa keterangan yang lengkap.
- Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Pasal 10, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
- Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa.
- Kegunaan suatu barang dan/atau jasa.
- Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa.
- Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
- Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 15, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
- Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan.
- Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17, pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
- Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa.
- Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa.
- Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa.
- Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa.
Klausula Baku
Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian dan dokumen apabila:
- Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
- Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan Kembali barang yang dibeli konsumen.
- Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan Kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
- Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
- Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
- Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
- Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
Pasal 18 ayat (2) juga melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Dan setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum, dengan amar bahwa pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Contoh kasus Klausula Baku dan Undang-undang Perlindungan Konsumen:
Putusan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung No. 124 PK/Pdt./2007 Antara PT. Securindo Packatama Indonesia melawan Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan.
Putusan Peninjauan Kembali tersebut menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT. Securindo Packatama Indonesia yang berdasar atas putusan tingkat pertama, banding dan kasasi yang memenangkan pihak Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan terhadap PT. Securindo Packatama Indonesia, dalam kasus ini pihak Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan telah kehilangan 1 (satu) unit mobil di tempat parkir yang dikelola oleh PT. Securindo Packatama Indonesia. Meskipun sudah terdapat klausula baku di tempat parkir yang dikelola oleh PT. Securindo Packatama Indonesia yang menyatakan: “pihak pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan, kerusakan, kecelakaan atas kendaraan ataupun kehilangan barang-barang yang terdapat di dalam kendaraan dan/atau yang menimpa orang yang menggunakan area parkir pihak pengelola (parkir)”, tetapi PT. Securindo Packatama Indonesia tetap kalah dan dihukum untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) kepada Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan untuk biaya ganti kerugian materiil atas kehilangan 1 (satu) unit mobil.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Syarat Sahnya dan Hapusnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian:
Pasal 1320 KUHPerdata:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat-syarat:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
- Suatu hal tertentu.
- Suatu sebab yang halal.
Sedangkan perihal hapusnya perikatan-perikatan/perjanjian-perjanjian:
- Karena pembayaran.
- Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat.
- Pembaharuan hutang.
- Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik.
- Pencampuran hutang.
- Pembebasan hutang.
- Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian.
- Pembatalan perjanjian.
- Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan.
- Lewat waktu.
Pembatalan perjanjian adalah salah satu isu yang paling sering kami temui pada praktek, adapun dapat kami bahas secara singkat mengenai pembatalan perjanjian antara lain:
Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, begitu pula yang dibuat karena paksaan, kekhilafan, penipuan ataupun mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Pembatalan ini pada umumnya berakibat bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum di buat.
Sumber:
Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit: PT. Intermasa, Jakarta, 2003, Cetakan XXXIV.
Untuk mengetahui lebih lanjut, silahkan berkonsultasi kepada kami.