Rekam Medis
Rekam Medis
Dokter yang menjalankan praktek kedokteran wajib membuat suatu catatan yang harus dibuat dengan segera setelah pasien menerima pelayanan. Setiap pelayanan Kesehatan harus mencatat dan mendokumentasikan hasil pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Pasal 46 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menentukan:
- Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran wajib membuat rekam medis;
- Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan Kesehatan;
- Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau Tindakan.
Dari ketentuan Pasal 46 Undang-undang Praktek Kedokteran di atas jelas bahwa pencatatan yang dimaksudkan adalah rekam medis. Dalam praktek istilah rekam medik ini berkembang istilah-istilah lain, yaitu:
- Medical Document = Dokumen Medis;
- Medical Notes = Catatan Medis;
- Medical Record = Rekam Medis;
- Health Record = Rekaman Kesehatan;
- Personal Health Record = Rekaman Kesehatan Pribadi;
- Medical Report = Laporan Medis.
Setiap pencatatan (rekam medis) yang dilakukan harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga Kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan Kesehatan secara langsung. Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan harus segera dilakukan pembetulan yang dilakukan dengan pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi atau tenaga pelayanan Kesehatan yang bersangkutan. Pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien, itulah yang secara umum disebut rekam medis.
Penyelenggaraan rekam medis pada suatu sarana pelayanan Kesehatan merupakan salah satu cara mengukur mutu pelayanan pada pelayanan Kesehatan tersebut. Berdasarkan data pada rekam medis akan dapat dinilai apakah pelayanan yang diberikan sudah cukup baik mutunya atau tidak, serta apakah sudah sesuai standar atau tidak. Untuk itulah, rekam medis yang semula diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis, kemudian diperbaharui dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis. Adapun diatur lebih lanjut pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.
Pengertian Rekam Medis
- Dalam pasal 1 huruf ke 1, 6, dan 7 dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan adalah tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala Tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan Kesehatan. Dokumen adalah catatan dokter, dokter gigi dan/atau tenaga Kesehatan tertentu, laporan hasil pemeriksaan penunjang, catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging) dan rekaman elektro diagnostic.
- Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
- Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 55 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perekam Medis, Khususnya dalam Pasal 1 ayat (2) Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada fasilitas Kesehatan.
- Menurut Ery Rustiyanto, rekam medis adalah siapa, Dimana dan bagaimana perawatan pasien selama di rumah sakit untuk melengkapi rekam medis harus memiliki data yang cukup tertulis dalam rangkaian guna menghasilkan suatu diagnosis, jaminan, pengobatan dan hasil akhir.[1]
- Menurut Gemala R. Hatta, rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain kepada pasien di sarana pelayanan Kesehatan.[2]
- Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, Rekam Medis adalah dokumen yang berisikan identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Isi Rekam Medis
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis Pasal 26 ayat 6 menyatakan:
Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 2 paling sedikit terdiri atas:
- Identitas pasien;
- Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang;
- Diagnosis, pengobatan, dan rencana tindak lanjut pelayanan Kesehatan; dan
- Nama dan tanda tangan Tenaga Kesehatan pemberi pelayanan Kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis Pasal 26 ayat 7 Rekam Medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat oleh penanggung jawab pelayanan.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Zaeni Asyhadie, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Rajawali Pers, Depok.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.
[1] Ery Rustiyanto, 2009, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 5.
[2] Gemala R. Hatta, 2008, Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 73.
Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS
Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS adalah Organ Perseroan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Perseroan mempunyai tiga organ yang terdiri atas:
- RUPS
- Direksi; dan
- Dewan Komisaris.
Selanjutnya keberadaan RUPS sebagai organ Perseroan, ditegaskan lagi pada pasal 1 angka 4 yang mengatakan, RUPS adalah organ Perseroan. Dengan demikian menurut hukum, RUPS adalah organ Perseroan yang tidak dapat dipisahkan dari Perseroan. Melalui RUPS tersebutlah para pemegang saham sebagai pemilik (eigenaar, owner) Perseroan melakukan kontrol terhadap kepengurusan yang dilakukan direksi maupun terhadap kekayaan serta kebijakan kepengurusan yang dijalankan menejemen Perseroan.
Kewenangan RUPS
Secara umum, menurut Pasal 1 angka 4 RUPS sebagai organ Perseroan, mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, namun dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar Perseroan.
Kemudian kewenangan RUPS tersebut, dikemukakan ulang lagi pada Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi: RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
Jadi secara umum, kewenangan apa saja yang tidak diberikan kepada Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menjadi kewenangan RUPS. Oleh karena itu, dapat dikatakan RUPS merupakan organ tertinggi Perseroan. Namun, hal itu tidak persis demikian, karena pada dasarnya ketiga organ Perseroan itu sejajar dan berdampingan sesuai dengan pemisahan kewenangan (separation of power) yang diatur dalam undang-undang dan anggaran dasar. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan RUPS lebih tinggi dari Direksi dan Dewan Komisaris. Masing-masing mempunyai posisi dan kewenangan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab yang mereka miliki.
Jika dideskripsi, kewenangan RUPS yang paling utama sesuai dengan undang-undang Perseroan Terbatas tahun 2007, antara lain sebagai berikut:
- Menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan pendiri atau kuasanya (Pasal 13 ayat 1);
- Menyetujui perbuatan hukum atas nama Perseroan yang dilakukan semua anggota Direksi, semua anggota Dewan Komisaris bersama-sama pendiri dengan syarat semua pemegang saham hadir dalam RUPS, dan semua pemegang saham menyetujuinya dalam RUPS tersebut (Pasal 14 ayat 4);
- Perubahan Anggaran Dasar ditetapkan oleh RUPS (Pasal 19 ayat 1);
- Memberi persetujuan atas pembelian kembali atau pengalihan lebih lanjut saham yang dikeluarkan Perseroan (Pasal 38 ayat 1);
- Menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan Keputusan RUPS atas pembelian kembali atau pengalihan lanjut saham yang dikeluarkan Perseroan (Pasal 39 ayat 1);
- Menyetujui penambahan modal Perseroan (Pasal 41 ayat 1);
- Menyetujui pengurangan modal Perseroan (Pasal 44 ayat 1);
- Menyetujui rencana kerja tahunan apabila Anggaran Dasar menentukan demikian (Pasal 64 ayat 1 jo. ayat 3);
- Memberi persetujuan laporan tahunan dan pengesahan laporan keuangan serta laporan tugas pengawasan Dewan Komisaris (Pasal 69 ayat 1);
- Memutuskan penggunaan laba bersih, termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk Cadangan wajib dan Cadangan lain (Pasal 71 ayat 1);
- Menetapkan pembagian tugas dan pengurusan Perseroan antara anggota Direksi (Pasal 92 ayat 5);
- Mengangkat anggota Direksi (Pasal 94 ayat 1);
- Menetapkan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi (Pasal 96 ayat 1);
- Menunjuk pihak lain untuk mewakili Perseroan apabila seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan (Pasal 99 ayat 2 huruf c);
- Memberi persetujuan kepada Direksi untuk:
- Mengalihkan kekayaan Perseroan, atau
- Menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan, Persetujuan itu diperlukan apabila lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak (Pasal 102 ayat 1);
- Memberi persetujuan kepada Direksi untuk mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga (Pasal 104 ayat 1);
- Memberhentikan anggota Direksi (Pasal 105 ayat 2);
- Menguatkan Keputusan pemberhentian sementara yang dilakukan Dewan Komisaris terhadap anggota Direksi (Pasal 106 ayat 7);
- Mengangkat anggota Dewan Komisaris (Pasal 111 ayat 1);
- Menetapkan tentang besarnya gaji atau honorarium dan tunjangan anggota Dewan Komisaris (Pasal 113);
- Mengangkat Komisaris Independen (Pasal 120 ayat 2);
- Memberi persetujuan atas Rancangan Penggabungan (Pasal 223 ayat 3);
- Memberi persetujuan mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan atau Pemisahan (Pasal 127 ayat 1);
- Memberi Keputusan atas pembubaran Perseroan (Pasal 142 ayat 1 huruf a);
- Menerima pertanggungjawaban likuidator atas penyelesaian likuidasi (Pasal 143 ayat 1).
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Yahya Harahap, 2016, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta.
Formulasi Surat Gugatan
Formulasi Surat Gugatan
Dalam artikel ini hanya dibahas mengenai hal-hal pokoknya saja.
Yang dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) surat gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Ditujukan (dialamatkan) kepada Pengadilan Negeri sesuai dengan Kompetensi Relatif
Surat gugatan, secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relative. Harus tegas dan jelas tertulis Pengadilan Negeri yang dituju, sesuai dengan patokan kompetensi relative yang diatur dalam Pasal 118 HIR. Apabila surat gugatan salah Alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif:
- Mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil, karena gugatan disampaikan dan dialamatkan kepada Pengadilan Negeri yang berada di luar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya;
- Dengan demikian, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.
- Diberi Tanggal
- Ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasa
- Identitas para pihak
Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Tujuan utama pencantuman identitas agar dapat disampaikan panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut, cukup meliputi nama lengkap, alamat atau tempat tinggal, penyebutan identitas lain tidak imperatif.
- Fundamentum Petendi
Berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van de lis). Unsur fundamentum petendi:
1)Dasar Hukum (Rechtelijke Grond)
Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara:
- Penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan
- Antara penggugat dengan tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa.
2)Dasar Fakta (Feitelijke Grond)
Memuat penjelasan pernyataan mengenai:
- Fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau disekitar hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara maupun dengan pihak tergugat.
- Atau penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat.
- Petitum Gugatan
Syarat formulasi gugatan yang lain, adalah petitum gugatan. Supaya gugatan sah, dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat. Dengan kata lain petitum gugatan berisi tuntutan atau permintaan kepada Pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepada kedua belah pihak.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda dengan kami.
Sumber:
Yahya Harahap, S.H., 2008, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
Kecakapan Bertindak Dalam Hukum
Kecakapan Bertindak Dalam Hukum
Orang yang tidak cakap bertindak dalam hukum
Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak-haknya, akan tetapi di dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya itu. Ada beberapa golongan orang yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap atau kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga mereka itu harus diwakili atau dibantu oleh orang lain. Menurut Pasal 1330 KUHPer, mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah:
- Orang yang belum dewasa;
- Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele);
- Perempuan dalam pernikahan (wanita kawin) telah dicabut.
Ad.1 orang-orang yang belum dewasa
Orang-orang yang belum dewasa hanya dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan perantaraan orang lain, atau sama sekali dilarang. Kecakapan untuk bertindak di dalam hukum bagi orang-orang yang belum dewasa ini diatur dalam ketentuan sebagai berikut:
- Menurut pasal 330 KUHPer, orang dikatakan belum dewasa apabila ia belum mencapai usia 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila ia telah melangsungkan perkawinan, maka ia dianggap telah dewasa dan ia tidak akan menjadi orang yang di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun.
- Untuk melangsungkankan perkawinan:
- Menurut Pasal 29 KUHPer, bagi seorang laki-laki harus berumur 18 tahun dan bagi seorang wanita harus berumur 15 tahun.
- Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bagi seorang laki-laki harus berumur 19 tahun dan bagi seorang wanita harus berumur 16 tahun dan setelah diundangkannya Undang-undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
- Dalam hukum waris, seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun tidak dapat membuat wasiat (Pasal 897 KUHPer).
- Menurut Pasal 198 Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, untuk dapat memilih di dalam pemilihan umum harus sudah berumur 17 tahun atau lebih atau telah kawin, atau sudah pernah kawin.
Ad. 2 orang yang ditaruh di bawah pengampuan
Menurut Pasal 433 KUHPer, orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah orang yang dungu, sakit ingatan atau mata gelap dan orang boros. Mengenai hal ini, diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut:
- Seseorang yang karena ketaksempurnaan akalnya ditaruh di bawah pengampuan, telah mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, dapat diminta pembatalan perkawinan (Pasal 88 alinea 1 KUHPer).
- Untuk dapat membuat atau mencabut suatu surat wasiat, seseorang harus mempunyai akal budinya (Pasal 895 KUHPer).
- Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian (Pasal 1330 KUHPer).
Ad. 3 Kedudukan Wanita dalam Hukum
Khusus untuk seorang perempuan yang dinyatakan tidak cakap dalam perbuatan hukum dalam hal:
- Membuat perjanjian, memerlukan bantuan atau izin dari suami (Pasal 108 KUHPer).
- Menghadap di muka hakim harus dengan bantuan suami (Pasal 110 KUHPer).
Untuk masa sekarang ini, ketentuan Pasal 108 KUHPer ini telah di cabut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963. Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 31 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Selanjutnya menurut Pasal 36 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Namun dalam hal tertentu, meskipun seorang istri yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dalam melakukan perbuatan terhadap harta bersama perkawinan harus dengan persetujuan suami, kecuali terdapat perjanjian perkawinan yang di dalamnya terdapat perjanjian pemisahan yang tegas dan jelas atas harta bersama.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasi kepada kami.
Sumber:
Prof. Subekti, S.H., 2003, Pokok-pokok Hukum Perdata cetakan XXXIV, PT. Intermasa, Jakarta.
Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio, 2007, Kitab Undang-undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek, Pradnya Paramita, Jakarta.
P.N.H. Simanjutak, S.H., 2015, Hukum Perdata Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta.
Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
Pengertian alat bukti:
Alat bukti (bewijsmiddel) bermacam-macam bentuk dan jenis, yang mampu memberi keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Alat bukti mana diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugat atau dalil bantahan. Berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Macam-macam alat bukti dalam perkara perdata
Berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUHPerdata, maka di Indonesia dikenal 5 (lima) macam alat-alat bukti utama dalam perkara perdata, yaitu:
- Bukti Surat;
- Bukti Saksi;
- Persangkaan;
- Pengakuan;
- Sumpah.
Ad. 1 Alat Bukti Surat Diklasifikasikan Menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
A. Surat Biasa
Pada prinsipnya surat biasa ini dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti. Akan tetapi, apabila kemudian hari surat tersebut dijadikan alat bukti di persidangan maka hal ini bersifat insidental (kebetulan) saja. Contohnya terhadap surat-surat cinta, surat-surat sehubungan dengan korespondensi dagang, buku catatan penggunaan uang dan sebagainya.
B. Akta Otentik
Mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (Hakim, Notaris, Juru-sita, Pegawai Catatan Sipil, dll) yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat.
Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat berwenang yang disebut pejabat umum. Dengan catatan yang membuatnya pejabat yang cakap atau berwenang dan bentuk/isinya tidak cacat.
Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Akta Otentik yakni kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende).
Konkretnya, akta otentik dibuat memang sengaja untuk pembuktian. Karena bersifat untuk pembuktian maka akta otentik berdasarkan ketentuan pasal 1868 KUH Perdata dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: pertama, akta yang dibuat oleh pegawai umum. Akta jenis ini lazim disebut dengan istilah-istilah: akta pejabat, acte ambtelijk, relaas akta atau procesverbaal acte. Misalnya akta yang dibuat oleh Notaris, Camat, Panitera, Surat Panggilan Jurusita, Putusan Hakim dan sebagainya merupakan akta otentik yang dibuat oleh pegawai umum. Kedua, akta yang dibuat di hadapan pegawai umum. Akta jenis ini lazim disebut dengan istilah, akta partai atau Acte Partij. Pada prinsipnya dalam aspek pembuatannya maka akta partai inisiatif ada pada para pihak untuk membuatnya dan pegawai umum hanya mendengarkan, menyaksikan dan meletakkan perjanjian tersebut. Misalnya akta yang dibuat di hadapan Notaris tentang suatu perjanjian (sewa-menyewa, jual-beli dan sebagainya).
C. Akta di Bawah Tangan
Pengertian akta di bawah tangan merupakan akta yang tidak dibuat oleh dan dihadapan pegawai umum yang berwenang membuatnya, atau tegasnya, sebagaimana intisari pasal 1874 KUH Perdata, akta di bawah tangan dibuat oleh para pihak sendiri tanpa bantuan pegawai umum. Misalnya: Kuitansi, perjanjian utang-piutang, surat perjanjian sewa menyewa, surat pernyataan, register, surat-surat urusan rumah tangga dan sebagainya.
Daya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik.
Ad. 2 Alat Bukti Saksi:
Mengenai alat bukti saksi pada dasarnya diatur dalam Pasal 139-152, Pasal 162-172 HIR, Pasal 165-179, Pasal 306-309 RBg dan Pasal 1895, Pasal 1902-1908 KUH Perdata.
Esensi terpenting dari alat bukti saksi bahwa secara umum setiap peristiwa dapat dibuktikan dengan kesaksian, kecuali tegas-tegas undang-undang menentukan lain. Eksepsional hal ini Nampak misalnya pada perjanjian pendirian perseroan firma di antara persero firma itu sendiri harus dibuktikan dengan suatu akta notaris (Pasal 22 KUHD).
Terhadap person sebagai saksi maka pada asasnya semua orang yang telah dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) dapat menjadi saksi dan bahkan diwajibkan memberi kesaksian apabila diminta.
Sehubungan dengan kewajiban seseorang untuk menjadi saksi maka ada beberapa ketentuan yang mengatur orang yang tidak dapat di dengar sebagai saksi dan dapat menolak serta diminta untuk dibebaskan memberi kesaksian sebagaimana dirinci dalam ketentuan Pasal 145, 146 HIR, Pasal 172, 173, 174 RBg dan Pasal 1909, 1910 KUH Perdata dan beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yakni:
Orang-orang yang tidak dapat di dengar keterangannya sebagai saksi adalah:
- Keturunan lurus yang terikat dalam hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan salah satu pihak berperkara. Hal ini ditegaskan pula sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 84 K/Sip/1973 tanggal 25 Juni 1973 dalam perkara: Karsilah lawan 1. Murati, 2. Baeah dan 3. Wari.
- Suami dari salah satu pihak berperkara walaupun mereka telah bercerai. Hal ini pararel dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 140 K/Sip/1974 tanggal 6 Januari 1976 dalam perkara: 1. Ni Tanjung alias Ni Bukit, 2. Bukit al. I Daha lawan I Ngayus; dan
- Anak-anak yang tidak di diketahui dengan pasti apakah mereka telah berusia genap lima belas tahun dan orang-orang sakit gila walaupun mereka sekali-kali dapat berpikir secara waras. Aspek ini ditegaskan pula dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1409 K/Sip/1975 tanggal 12 Mei 1976 dalam perkara: 1. Umi Kalsum dkk., lawan Roekijah dan H. Maskur dkk.
Akan tetapi dalam perkara tertentu mereka cakap menjadi saksi, meskipun pihak-pihak yang berperkara terdiri dari keluarga sedarah atau semenda maupun suami atau istri. Hal ini diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUHPerdata dan aturan lain.
Orang-orang yang dapat minta dibebaskan/dapat menolak sebagai saksi, yaitu:
- Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak berperkara.
- Keluarga keturunan lurus serta saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak berperkara dan
- Semua orang berdasarkan kedudukannya, usahanya atau jabatannya yang sah berkewajiban memegang rahasia akan tetapi semata-mata tentang pengetahuan yang karena kedudukan, usaha atau jabatan tersebut telah dipercaya kepada mereka.
Pada dasarnya apabila seseorang menjadi saksi dalam perkara perdata maka yang diterangkan hanyalah terbatas kepada apa yang di lihat, di dengar atau di alami sendiri. Kemudian tiap-tiap kesaksian tersebut haruslah disertai dengan alasan-alasan tentang apa sebabnya, bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan tersebut.
Ad. 3 Alat Bukti Persangkaan (Vermoedens)
Eksistensi alat bukti persangkaan yang lazim dalam doktrina disebut dengan istilah “vermoedens” atau “presumptions” Nampak terlihat apabila dalam pemeriksaan perkara perdata sukar ditemukan alat bukti saksi yang melihat, mendengar atau merasakan sendiri perkara itu sehingga peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan pembuktiannya melalui persangkaan-persangkaan.
Dari Pengertian Pasal 1915 BW dan praktik peradilan maka ada 2 (dua) macam persangkaan, yaitu:
- Persangkaan menurut undang-undang
- Persangkaan menurut hakim
Ad. 1) Persangkaan menurut undang-undang
Menurut ketentuan Pasal 1916 BW persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Contoh: tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya (Pasal 250 BW). Dalam konteks ini berarti undang-undang menyimpulkan bahwa dari adanya perkawinan maka anak yang lahir selama perkawinan itu ditumbuhkan oleh sang suami.
Ad. 2) Persangkaan menurut Hakim
Identik dengan persangkaan menurut undang-undang maka dalam konteks ini penarikan kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa adalah hakim. Misalnya: dalam perkara permohonan pengangkatan anak di mana si A (pemohon) akan mengangkat anak yang Bernama si B. pada persidangan di Pengadilan Negeri si A menerangkan bahwa anak yang akan diangkat tersebut telah lama dipelihara olehnya. Kemudian dalam persidangan ternyata anak tersebut telah memanggil dengan sebutan “ma” kepada si pemohon. Hal ini memberi persangkaan dan Hakim dapat menarik suatu persangkaan bahwa memang benar anak tersebut telah di pelihara oleh si A (pemohon).
Ad. 4 Alat Bukti Pengakuan (Bekentenis Confession)
Pada dasarnya pengakuan merupakan suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau lisan dari salah satu pihak berperkara di mana isinya membenarkan dalil lawan baik sebagian atau seluruhnya. Jadi konkretnya pengakuan merupakan keterangan sepihak dan untuk itu tidaklah diperlukan persetujuan dari pihak lainnya.
Menurut pandangan doktrina pada asasnya pengakuan (pasal 1923 BW) dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Pengakuan di muka Hakim di Persidangan (Gerechtelijke Bekentenis)
Pengakuan di muka persidangan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs) dan mengikat yang bersangkutan atau dengan perantaraan seorang yang khusus di kuasakan untuk itu (Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg dan Pasal 1925 BW). Dalam konteks ini berarti bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang diakui sebagai benar dan mengabulkan gugatan berdasarkan atas dalil-dalil tersebut.
b. Pengakuan di luar Sidang
Pengakuan di luar sidang adalah lawan atau kebalikan dari pengakuan dalam persidangan atau di muka hakim yang digariskan Pasal 1925 BW dan Pasal 174 HIR. Berupa pengakuan atau pernyataan “pembenaran” tentang dalil gugatan atau bantahan maupun hak atau fakta, namun pernyataan itu disampaikan atau diucapkan di luar sidang pengadilan.
Dalam praktik pengakuan di luar sidang dapat dilakukan dengan bentuk tertulis atau lisan dan diatur dalam pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg dan Pasal 1927-1928 BW.
Dalam praktik dan menurut ilmu pengetahuan hukum maka selain 2 (dua) macam pengakuan tersebut maka dikenal pula adanya 3 (tiga) macam pengakuan lainnya, yaitu:
- Pengakuan murni (Aveu pur et Simple): pengakuan murni ini sifatnya adalah sederhana dan pada pokoknya membenarkan semua dalil lawan (Penggugat).
- Pengakuan dengan kualifikasi (Gequaliceerde Bekentenis/Aveu Qualifie): pada pokoknya pengakuan dengan kualifikasi merupakan pengakuan-pengakuan disertai penyangkalan sebagian dari dalil lawan.
- Pengakuan dengan klausula (Geelausuleerde Bekentenis/Aveu Complexe): pada dasarnya pengakuan berklausula diberikan dengan melakukan keterangan tambahan yang sifatnya membebaskan.
Ad. 5 Alat Bukti Sumpah
Pengertian sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan:
- Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu takut atas murka Tuhan, apabila dia berbohong;
- Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.
Alat bukti sumpah dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
- Sumpah Pemutus
Dalam praktik, sumpah pemutus lazim disebut dengan istilah-istilah: “sumpah menentukan”, “sumpah dicisoir” atau “decisoir eed” yang diatur dalam Pasal 156 HIR, Pasal 183 RBg dan Pasal 1930-1939 KUHPerdata. Adapun maksud esensial dari sumpah pemutus adalah sifatnya untuk memutus perkara (litis decisoir), dibebankan hakim kepada salah satu pihak atas dasar permintaan lawannya karena tiadanya alat bukti.
- Sumpah Pelengkap
Sumpah pelengkap atau lazim disebut dengan istilah-istilah: “sumpah penambah”, “sumpah supletoir” atau “supletoire eed”. Sumpah ini diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 RBg dan Pasal 1940 KUHPerdata dan diperintahkan hakim kepada salah satu pihak apabila hanya ada sedikit bukti terhadap gugatan penggugat atau untuk menguatkan kebenaran bantahan tergugat, akan tetapi bukti tersebut belumlah cukup dan tidak ada kemungkinan menambah bukti yang belum lengkap itu dengan bukti lain untuk menyempurnakan pembuktian tersebut. Dalam hal seperti itu hakim karena jabatannya (ambthalve) dapat membebankan pihak yang sebelumnya ada permulaan pembuktian untuk mengucapkan sumpah pelengkap/tambahan agar perkara dapat diputus.
- Sumpah Penaksir
Dalam praktik lazim sumpah penaksir disebut dengan istilah-istilah: “sumpah taxatoir”, “aestimatoire eed”, “waarderingseed” atau “schattingseed”, yaitu sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya kepada penggugat (penggugat dalam konvensi/tergugat dalam rekonvensi) untuk menentukan besarnya jumlah uang pengganti kerugian. Pembebanan sumpah penaksir kepada penggugat dilakukan secara selektif dalam artian bahwa haruslah tidak ditemukan cara lain untuk menentukan besarnya tuntutan jumlah ganti kerugian dan hakim dapat menetapkan plafon jumlahnya (Pasal 1942 KUHPerdata).
Keterangan Ahli (Deskundigenbericht)
Esensi pokok dari keterangan ahli adalah memberikan pendapat terhadap hal-hal yang diajukan kepadanya sesuai dengan keahliannya dan bertujuan untuk memperjelas duduknya perkara.
Ada juga beberapa bukti seperti email, tangkapan layar, video dan foto dan lain-lain yang diatur dalam Undang-undang Informasi dan transaksi elektronik.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda dengan kami.
Sumber:
Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., 2005, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Yahya Harahap, S.H., 2008, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
Kriminologi
Kriminologi termasuk cabang ilmu yang baru. Berbeda dengan hukum pidana yang muncul begitu manusia bermasyarakat. Kriminologi baru berkembang tahun 1850 bersama-sama dengan sosiologi, antropologi dan psikologi. Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lain (homo homini lupus), selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain. Oleh sebab itu, maka diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupannya. Hal itu sangat penting demi menjamin rasa aman bagi manusia lainnya.
Nama kriminologi yang disampaikan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang antropolog Prancis, secara harfiah berasal dari kata “Crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan; maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. Beberapa sarjana memberikan Pengertian yang berbeda mengenai kriminologi ini. Diantaranya, Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
Salah satu dari teori kriminologi yang terkenal adalah teori Differential Assosiation.
Differential Association Theory
Sutherland menemukan istilah differential association untuk menjelaskan proses belajar tingkah laku kriminal melalui interaksi sosial. Setiap orang, menurutnya, mungkin saja melakukan kontak (hubungan) dengan “definition favorable to violation of law” atau dengan “definitions unfavorable to violation of law”.
Rasio dari definisi-definisi atau pandangan-pandangan tentang kejahatan ini – apakah pengaruh-pengaruh kriminal atau non-kriminal lebih kuat dalam kehidupan seseorang menentukan ia menganut atau tidak kejahatan sebagai satu jalan hidup yang diterima. Dengan kata lain rasio dari definisi-definisi (kriminal terhadap non kriminal) menentukan apakah seseorang akan terlibat dalam tingkah laku kriminal.
Sutherland memperkenalkan differential association theory dalam buku teksnya Principle of Criminology pada tahun 1939. Sejak saat itu para sarjana membaca, menguji, melakukan pengujian ulang, dan terkadang mengkritik teori ini, yang diklaim dapat menjelaskan perkembangan semua tingkah laku kriminal.
Differential association di dasarkan pada sembilan proposisi (dalil), yaitu:
- Criminal behavior is learned (tingkah laku criminal dipelajari).
- Criminal behavior is learned in interaction with other person in a process of communication (tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam proses komunikasi). Seseorang tidak begitu saja menjadi kriminal hanya karena hidup dalam suatu lingkungan yang kriminal. Kejahatan dipelajari dengan partisipasi bersama orang lain baik dalam komunikasi verbal maupun non-verbal.
- The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal groups (bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok orang yang intim/dekat). Keluarga dan kawan-kawan dekat mempunyai pengaruh paling besar dalam mempelajari tingkah laku menyimpang. Komunikasi-komunikasi mereka jauh lebih banyak daripada media massa, seperti film, televisi, dan surat kabar.
- When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes (ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pembelajaran itu termasuk (a) Teknik-teknik melakukan kejahatan yang kadang sangat sulit, kadang sangat mudah dan (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap). Delinquent muda bukan saja belajar bagaimana mencuri di toko, membongkar kotak, membuka kunci dan sebagainya, tapi juga belajar bagaimana merasionalisasi dan membela tindakan-tindakan mereka. Seorang pencuri akan ditemani pencuri lain selama waktu tertentu sebelum dia melakukan sendiri. Dengan kata lain, para penjahat juga belajar ketrampilan dan memperoleh pengalaman.
- The specific direction of motives and drives is learned from definition of the legal codes as favorable or unfavorable (arah khusus dari motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia menguntungkan atau tidak). Di beberapa masyarakat seorang individu dikelilingi oleh orang-orang yang tanpa kecuali mendefinisikan aturan-aturan hukum sebagai aturan yang harus dijalankan, sementara di tempat lain dia dikelilingi oleh orang-orang yang definisi-definisinya menguntungkan untuk melanggar aturan-aturan hukum. Tidak setiap orang dalam masyarakat kita setuju bahwa hukum harus ditaati. Beberapa orang mendefinisikan aturan hukum itu sebagai tidak penting.
- A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definitions unfavorable to violation of law (seseorang menjadi delinquent karena definisi-definisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum). Ini merupakan prinsip kunci (key principle) dari differential association, arah utama dari teori ini. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku kriminal bukanlah semata-mata persoalan hubungan dengan teman/kawan yang buruk. Tetapi, mempelajari tingkah kriminal tergantung pada berapa banyak definisi yang kita pelajari yang menguntungkan untuk pelanggaran hukum sebagai lawan dari definisi yang tidak menguntungkan untuk pelanggaran hukum.
- Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity (asosiasi differential itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi/kekerapannya, lamanya, prioritasnya dan intensitasnya). Tingkat dari asosiasi-asosiasi/definisi-definisi seseorang yang akan mengakibatkan kriminalitas berkaitan dengan kekerapan kontak, berapa lamanya dan arti dari asosiasi/definisi kepada si individu.
- The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning (proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola-pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain). Mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal adalah mirip sekali dengan mempelajari pola-pola tingkah laku konvensional dan tidak sekedar suatu persoalan pengamatan dan peniruan.
- While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same needs and values (walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku non kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama). Pencuri toko mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang-orang lain bekerja untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Motif-motif – frustasi, nafsu untuk mengumpulkan harta serta status sosial, konsep diri yang rendah dan semacamnya menjelaskan baik tingkah laku kriminal maupun non kriminal.
Kritik terhadap Teori Differential Association:
- Mengapa tidak setiap orang yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku kriminal yang lebih banyak menjadi seorang penjahat?
- Apakah teori ini benar dapat menjelaskan semua kejahatan, mungkin ia dapat diterapkan untuk pencurian, tetapi bagaimana dengan pembunuhan yang disebabkan oleh kemarahan karena cemburu?
- Mengapa beberapa orang yang mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal tidak terlibat dalam perbuatan kriminal?
- Teori ini menjelaskan bagaimana tingkah laku kriminal dipelajari, tetapi ia tidak menjelaskan bagaimana pertama kali Teknik-teknik dan definisi-definisi kriminal itu ada? Atau dengan kata lain, teori ini tidak menjelaskan kepada kita bagaimana penjahat yang pertama menjadi penjahat.
Sumber:
Yesmil Anwar dan Adang, 2010, Kriminologi, PT. Refika Aditama, Bandung.
Topo Santoso, S.H.,M.H., dan Eva Achjani Zulfa, S.H., 2009, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta.
Daktiloskopi
Daktiloskopi berasal dari bahasa Yunani yakni daktulos, yang artinya jari dan skopioo yang artinya mengamati. Jadi secara harafiah berarti mengamati sidik jari.
Pentingnya sidik jari telah dikenal orang sejak berabad-abad yang lalu. Ditemukan di Babilon mata uang dari tanah liat yang bercap jari. Di Cina pun dikenal tanah liat seperti itu, pada zaman dinasti Tang dikenal kontak dagang yang bersidik jari (cap jempol) (618-907). Tetapi sidik jari sejak berabad-abad yang lalu itu belum dipakai untuk tujuan praktis.
Professor Marcello Malpighi, seorang anatomis Italia dalam tahun 1686 menulis tentang pinggir-pinggir sidik jari. Ia menunjukkan dapatnya ditarik garis lurus dan spiral pada pinggir jari-jari. Tetapi tidak dikembangkan lebih jauh pengetahuan ini. Sezaman dengan dia, Dr. Nehemiah Grew dengan bukunya The Description and Use of the Pores in the Skin of the Hands and Feel, London, 1684, diikuti oleh G. Bidloo dari Belanda di tahun 1685, Christion J.H. Hintze dari Jerman di tahun 1707 dan Bernard S. Albinus dari Jerman di tahun 1764.
Pada tahun 1880 Sir Francis Galtom seorang antropolog Inggris yang sering disebut peletak dasar daktiloskopi yang memperkenalkan metode ilmu pertama tentang klasifikasi bentuk-bentuk sidik jari.
Dalam tahun 1882, pertama kali di Amerika Serikat dibuat catatan resmi dengan sidik jari, ialah Gilber Thompsom menulis perintahnya dengan sidik jarinya sendiri untuk menghindari pemalsuan.
Sidik jari digolongkan dalam 3 golongan besar, yaitu golongan L (dari kata Loops, artinya sangkutan, dan W dari kata Whorls, artinya putaran). Golongan L dibagi lagi atas tiga golongan, yaitu sangkutan, busur dan tiang busur. Sedangkan golongan W dibagi atas 5 golongan lagi, yaitu lingkaran, saku sisi, sangkutan kembar, saku dalam dan gambar luar biasa, golongan ketiga ialah Arches (artinya: lengkungan) yang dibagi lagi atas yang datar (plai) dan yang seperti tenda (tented).
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Dr. Andi Hamzah, S.H., 1986, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Wasiat atau Testament
Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal. Pasal 875 dan 874 BW yang menerangkan tentang arti wasiat atau testament, memang sudah mengandung suatu syarat, bahwa isi pernyataan itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Yang paling lazim, suatu testament berisi apa yang dinamakan suatu “erfstelling”, yaitu penunjukan seorang atau beberapa orang menjadi “ahli waris” yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan.
Menurut bentuknya ada tiga macam testament, yaitu:
- “openbaar testament”;
- “olographis testament”;
- “testament tertutup atau rahasia”.
Suatu “openbaar testament” dibuat oleh seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan menghadap pada notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris itu membuat suatu akte yang dihadiri oleh dua orang saksi. Bentuk ini paling banyak dipakai dan juga memang yang paling baik, karena notaris dapat mengawasi isi surat wasiat itu, sehingga ia dapat memberikan nasehat-nasehat supaya isi testament tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang.
“olographis testament” harus ditulis dengan tangan orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri (eigenhandig). Harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan. Penyerahan tersebut harus pula dihadiri oleh dua orang saksi. Sebagai tanggal testament itu berlaku diambil tanggal akte penyerahan (akte van depot). Penyerahan pada notaris dapat dilakukan secara terbuka atau secara tertutup.
“Testament tertutup atau rahasia”, juga dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan ia menulis dengan tangannya sendiri. Suatu testament rahasia harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri oleh empat orang saksi.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Prof. Subekti, S.H., 2003, Pokok-pokok Hukum Perdata Cetakan XXXIV, penerbit PT. Intermasa, Jakarta.
Pembelaan Terpaksa dan Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam KUHP diatur pada Pasal 49 ayat (1) yang menyatakan, “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”. Kendatipun dalam Memorie van Toelichting tidak ditemukan istilah “Pembelaan Terpaksa” namun ketentuan Pasal 49 ayat (1) secara implisit memberikan persyaratan terhadap pembelaan terpaksa.
Pada awalnya, pembelaan terpaksa tidak dikenal karena didasarkan pada postulat di zaman kuno yang menyatakan, vim vi repellere licet. Artinya, kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan[1]. Dalam perkembangannya adagium ini sudah ditinggalkan dalam rangka menegakkan ketertiban umum. Demikian pula prinsip moral dalam proses pidana (non scripta sed nata lex)[2], tidak selayaknya orang yang melakukan pembelaan terpaksa dijatuhi pidana. Esensi dari pembelaan terpaksa adalah pelaku melakukan tindakan untuk menghindari kejahatan yang lebih besar atau menghindari bahaya yang mengancam[3]. Pembelaan terpaksa adalah alasan pembenar yang menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan. Necessitas excusat aut extenuate delictum in capitalibus, quod non operator idem in civilibus. Artinya, pembelaan terpaksa membebaskan seseorang dari hukuman namun tidak demikian dalam perkara perdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP, ada beberapa persyaratan pembelaan terpaksa. Pertama, ada serangan seketika. Kedua, serangan tersebut bersifat melawan hukum. Ketiga, pembelaan merupakan keharusan. Keempat, cara pembelaan adalah patut[4]. Mengenai persyaratan keempat ini tidak disebut dalam pasal a quo. Perihal persyaratan pertama dan kedua, ongeblikkelijke wederrechtelijke aanranding atau serangan seketika yang melawan hukum, paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dipilah. Apa yang dimaksud dengan serangan? Apa yang dimaksud dengan seketika? Dan apa yang dimaksud dengan melawan hukum?
Pengertian serangan dalam pasal a quo adalah serangan nyata yang berlanjut, baik terhadap badan, martabat atau kesusilaan dan harta benda[5]. Sedangkan Pengertian seketika, yaitu antara saat melihat adanya serangan dan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada selang waktu yang lama. Tegasnya, begitu terjadi serangan, seketika ada pembelaan[6]. Sementara Pengertian melawan hukum adalah serangan yang bertentangan atau melanggar undang-undang[7].
Perhatikan ilustrasi berikut: A memukul B dengan sekuat tenaga dan hanya dalam satu kali pukulan mengenai muka B sehingga B terjatuh, A kemudian berbalik dan meninggalkan B. ketika A berbalik, B kemudian berdiri dan memukul A. tindakan B tidak termasuk dalam pembelaan terpaksa. Argumentasinya: Pertama, A telah menghentikan serangan. Artinya, serangan itu tidak berlanjut. Kedua, tidak ada pembelaan seketika dari B saat A memukulnya.
Contoh lain: X menunggu Y yang sedang berada di dalam kelas. Niat X adalah untuk menganiaya Y saat keluar dari kelas. Y diberitahu oleh Z, bahwa kalau ia keluar kelas, X berniat menganiayanya. Ketika Y keluar dari kelas, dengan seketika Y memukul X. tindakan Y tidak termasuk pembelaan terpaksa karena X yang menunggu Y diluar untuk dianiaya bukanlah suatu serangan nyata.
Bandingkan dengan contoh berikut: C tidak senang dengan D. ketika berjalan di jalan yang sepi, C kemudian menodong D dengan pistol. Seketika D langsung menendang tangan C yang memegang pistol hingga terjatuh. Tindakan D digolongkan pembelaan terpaksa karena C yang menodongkan pistol ke arah D termasuk ancaman serangan.
Perihal serangan Vos memberikan peryataan dan ilustrasi sebagai berikut:
“…. De aanranding kan nog voortduren en verdediging nog toelaatbaar zijn, ook als is het delict, waarin de aanranding bestaat, reeds voltooid. Men kan zeggen, dat de aanranding voortduurt, zolang de aanrander nog binnen het bereik van de aangevallene is, mits natuurlijk verdere benadeling dreight en er du snog iets te verdedigen valt. Voorbeeld: iemand ziet een dief met het gestolen goed weglopen, maar ziet kans hem het voorwerp met geweld te ontrukken, voordat hij buiten zijn bereik is gekomen; er is dan een voltooid delict van diefstal maar verdediging is nog teogelaten”[8].
(Serangan tidak terbatas pada selesainya perbuatan yang merupakan serangan itu. Serangan itu merupakan delik sehingga serangannya tidak terbatas pada selesainya delik. Serangan itu masih berlangsung selama masih ada kemungkinan bahwa penyerang dapat melanjutkan perbuatan-perbuatan merugikan orang yang diserang. Selama masih ada kemungkinan tersebut, maka masih tetap ada keharusan untuk membela diri. Contohnya: seseorang mencuri barang di dalam rumah. Selama pencuri masih berada di dalam rumah, maka masih ada kesempatan bagi yang punya barang untuk merebut Kembali barang tersebut. Selama pencuri masih berada di dalam rumah, maka masih ada serangan).
Berikut adalah persyaratan ketiga pembelaan terpaksa yaitu pembelaan merupakan keharusan. Artinya sudah tidak ada lagi jalan lain untuk menghindar dari serangan tersebut. Misalnya, dalam sebuah ruangan tertutup, S yang berniat membunuh T, tiba-tiba masuk dan mengunci pintu kemudian S dengan pisau yang terhunus mendekati T untuk menusuknya. T kemudian memberikan perlawanan atas tindakan S dengan menggunakan ilmu bela diri yang dikuasainya. Tindakan T termasuk dalam pembelaan terpaksa karena ada serangan seketika yang melawan hukum dan pembelaan tersebut merupakan suatu keharusan. Bandingkan jika S yang berniat membunuh T, kemudian dengan pisau yang terhunuh S mendekati T tetapi keduanya berada di tanah lapang. Disini, T masih bisa menghindar dari S dengan melarikan diri.
Selanjutnya terkait persyaratan keempat bahwa cara pembelaan adalah patut. Terhadap persyaratan keempat, demikian pula persyaratan ketiga di atas, sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dalam alasan penghapus pidana pada umumnya termasuk juga pembelaan terpaksa. Pertama, prinsip subsidaritas. Artinya, tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan lain sehingga pembelaan tersebut harus dilakukan. Tegasnya, pembelaan tidak menjadi keharusan selama masih bisa menghindar[9].
Kedua, prinsip proporsionalitas. Artinya, harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar. Dalam konteks pembelaan terpaksa, delik yang dilakukan untuk pembelaan diri harus seimbang dengan serangan yang dihadapi[10]. Moeljatno memberi contoh Putusan Hoge Raad tahun 1934. Duduk perkara: seorang pemilik sero (perangkap) ikan menggunakan tali untuk menghubungan sero dengan pelatuk pistol. Jika ada pencuri yang akan mengambil ikan dalam sero tadi, maka tali akan bergerak sehingga melepaskan tembakan. Ketika ada pencuri yang menyentuh sero, dengan sendirinya tali bergerak dan melepaskan tembakan mengenai mata pencuri yang mengakibatkan kebutaan. Hoge Raad menolak pembelaan terpaksa pemilik sero atas dasar Pasal 49 ayat (1) KUHP dengan alasan tidak memenuhi prinsip proporsionalitas[11].
Ketiga, prinsip culpa in causa. Artinya, seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa[12]. Sebagai misal, A menghina B secara lisan. Oleh karena hinaan tersebut, B menghampiri A dan hendak menamparnya. Ketika B hendak menampar A, dengan seketika A memukul B sehingga terjatuh. Tindakan A tidak dapat dikatakan pembelaan terpaksa karena ulah A sendiri yang mengakibatkan B menamparnya.
Selanjutnya terkait kepentingan apa saja yang mungkin diserang sehingga pembelaan terpaksa dibolehkan. Pasal a quo secara tegas menyatakan bahwa serangan tersebut baik terhadap diri sendiri atau orang lain, terhadap kehormatan dan terhadap harta benda. Serangan terhadap diri sendiri adalah dalam Pengertian serangan terhadap nyawa dan atau fisik. Sedangkan serangan terhadap kehormatan yang dimaksud adalah kehormatan dalam kaitannya dengan kesusilaan. Sementara serangan terhadap harta benda termasuk di dalamnya adalah hak keperdataan[13]. Kendatipun demikian, Fletcher membatasi pembelaan terpaksa hanya meliputi nyawa dan tubuh seseorang (… the scope of the defense is likely to be limited to saving one’s own life or limb[14]).
Penulis (Prof. Eddy O.S. Hiariej) tidak sependapat dengan Fletcher atas dasar argumentasi sebagai berikut: Pertama, Pasal 49 ayat (1) secara tegas telah mentukan objek serangan yang boleh dilakukan pembelaan terpaksa. Tidak hanya nyawa dan tubuh semata, melainkan juga kehormatan dan harta benda. Kedua, merujuk pada fungsi melindungi dari hukum pidana, bahwa kepentingan individu yang dilindungi adalah nyawa, kehormatan dalam pengertian kesusilaan dan harta benda.
Pembelaan terpaksa melampaui batas
Kalau pembelaan terpaksa digolongkan sebagai pembenar, maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas merupakan alasan pemaaf. Artinya, elemen dapat dicelanya pelaku dihapuskan. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweerexces terdapat dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan[15]. Ilustrasi penulis (Prof. Eddy O.S. Hiariej) sebagai berikut: seorang Wanita dalam ruangan tertutup hendak diperkosa oleh seorang pria. Pria tersebut sudah berhasil menangkap badan Wanita, namun dengan sekuat tenaga wanita tersebut menedang alat vital pria hingga terjatuh. Tidak berhenti sampai di situ, Wanita tersebut memukulnya dengan benda-benda di sekelilingnya sampai pria tersebut tidak berdaya. Dalam konteks yang demikian secara teoretis Wanita tersebut melakukan dua pembelaan. Pembelaan pertama adalah noodweer dengan cara menendang alat vital pria itu, sedangkan pembelaan kedua adalah noodweerexces, ketika Wanita tersebut memukulkan benda-benda yang ada disekelilingnya kepada pria itu hingga tidak berdaya.
Kedua, orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya drastis untuk membela diri[16]. Ilustrasinya: seorang polisi yang begitu sampai di rumah melihat istrinya diperkosa oleh dua orang perampok. Dengan serta merta, polisi tersebut mengambil pistol yang dibawanya dan langsung menembak ke arah pelaku sehingga mengakibatkan mati. Dalam situasi ini yang timbul sebenarnya adalah noodweer, namun polisi tersebut melakukan pembelaan yang tidak seimbang. Artinya prinsip proporsionalitas dalam pembelaan terpaksa dilanggar sehingga perbuatan polisi yang menembak para pelaku menjadi pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Ada dua syarat untuk dapat menyatakan seseorang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pertama, harus ada situasi yang menimbulkan pembelaan terpaksa seperti yang telah dibahas di atas (Pasal 49 ayat (1) KUHP). Kedua, harus ada kegoncangan jiwa yang hebat akibat serangan tersebut sehingga menimbulkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Menurut Hazewinkel Suringa kegoncangan jiwa yang hebat tidak hanya asthenische affecten berupa kecemasan, rasa takut, atau ketidakberdayaan, tetapi juga sthenische affecten seperti kemarahan, kemurkaan atau ketersinggungan.
Menurut Sudarto, ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pertama, kelampauan batas yang diperlukan. Kedua, pembelaan dilakukan sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat. Ketiga, kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan. Artinya ada hubungan kausalitas antara kegoncangan jiwa dengan serangan. Alasan tidak dijatuhi pidana terhadap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas bukan karena tidak ada kesalahan, namun pembentuk undang-undang menganggap adil jika pelaku yang menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi pidana. Hal ini berdasarkan adagium non tam ira, quam causa irae excusat, artinya tindakan atas suatu serangan yang provokatif, dimaafkan.
Silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H.,M.Hum., 2014, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
[1] Hazewinkel Suringa, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[2] G.A. van Hamel, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[3] Routhledge, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[4] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[5] Jan Remmelink, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[6] Moeljatno, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[7] Hazewinkel Suringa, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[8] H.B. Vos Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[9] J.E. Jonkers, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[10] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[11] Moeljatno, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[12] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[13] D. Simons, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[14] George P. Fletcher, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[15] Jan Remmelink, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[16] Loc. Cit.
Actio Pauliana.
Untuk melindungi hak tuntutan kreditur-kreditur, pasal 1341 KUHPerdata memberikan wewenang kepada setiap kreditur untuk dalam keadaan tertentu mengajukan pembatalan terhadap perbuatan debitur yang tidak diwajibkan yang merugikan kreditur-kreditur.
Gugatan berdasarkan pasal 1341 disebut actio pauliana dengan syarat-syarat:
- Perbuatan tersebut dalam pasal 1341 KUHPerdata, harus merupakan perbuatan hukum.
Terhadap perbuatan nyata, misalnya merusak yang mengakibatkan berkurangnya kekayaan debitur atau perbuatan melawan hukum, tidak dapat dimintakan pembatalan oleh kreditur.
- Bukan merupakan perbuatan hukum yang diwajibkan.
Yang dimaksud dengan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan adalah perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan bukan oleh karena kewajiban yang ditimbulkan oleh undang-undang atau persetujuan.
Pembayaran atas utang yang sudah dapat ditagih merupakan perbuatan hukum yang merupakan kewajiban dari debitur sehingga pembayaran semacam itu tidak dapat diganggu gugat oleh kreditur lainnya, bahkan jika pembayaran terhadap salah seorang kreditur merugikan kreditur-kreditur lainnya.
- Hanya kreditur yang dirugikan berhak mengajukan pembatalan.
Ketentuan undang-undang yang menentukan, bahwa setiap kreditur dapat mengajukan batalnya perbuatan-perbuatan yang merugikan kreditur-kreditur, dapat menimbulkan kesan seolah-olah bahwa kerugian tersebut harus mengenai semua kreditur.
Akan tetapi sebenarnya yang dimaksud oleh undang-undang adalah bahwa seorang kreditur yang menggugat berdasarkan pasal 1341 KUHPerdata, haruslah seorang kreditur yang dirugikan oleh perbuatan-perbuatan hukum daripada debitur.
- Debitur dan pihak ketiga harus mengetahui bahwa perbuatannya merugikan kreditur.
Perkataan “mengetahui” bahwa perbuatan itu merugikan kreditur harus diukur dengan obyektif, yaitu harus diartikan bahwa debitur dan orang dengan siapa ia melakukan perbuatan secara jelas/nyata seharusnya mengerti bahwa perbuatannya merugikan kreditur.
Jadi yang harus mengetahui tidak hanya debitur yang bersangkutan saja tetapi juga pihak yang mengadakan hubungan dengan debitur tersebut.
Sumber:
R. Setiawan, S.H., Pokok-pokok Hukum Perikatan, 1978, Binacipta, Bandung.