Rekam Medis
Rekam Medis
Dokter yang menjalankan praktek kedokteran wajib membuat suatu catatan yang harus dibuat dengan segera setelah pasien menerima pelayanan. Setiap pelayanan Kesehatan harus mencatat dan mendokumentasikan hasil pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Pasal 46 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menentukan:
- Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran wajib membuat rekam medis;
- Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan Kesehatan;
- Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau Tindakan.
Dari ketentuan Pasal 46 Undang-undang Praktek Kedokteran di atas jelas bahwa pencatatan yang dimaksudkan adalah rekam medis. Dalam praktek istilah rekam medik ini berkembang istilah-istilah lain, yaitu:
- Medical Document = Dokumen Medis;
- Medical Notes = Catatan Medis;
- Medical Record = Rekam Medis;
- Health Record = Rekaman Kesehatan;
- Personal Health Record = Rekaman Kesehatan Pribadi;
- Medical Report = Laporan Medis.
Setiap pencatatan (rekam medis) yang dilakukan harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga Kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan Kesehatan secara langsung. Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan harus segera dilakukan pembetulan yang dilakukan dengan pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi atau tenaga pelayanan Kesehatan yang bersangkutan. Pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien, itulah yang secara umum disebut rekam medis.
Penyelenggaraan rekam medis pada suatu sarana pelayanan Kesehatan merupakan salah satu cara mengukur mutu pelayanan pada pelayanan Kesehatan tersebut. Berdasarkan data pada rekam medis akan dapat dinilai apakah pelayanan yang diberikan sudah cukup baik mutunya atau tidak, serta apakah sudah sesuai standar atau tidak. Untuk itulah, rekam medis yang semula diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis, kemudian diperbaharui dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis. Adapun diatur lebih lanjut pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.
Pengertian Rekam Medis
- Dalam pasal 1 huruf ke 1, 6, dan 7 dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan adalah tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala Tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan Kesehatan. Dokumen adalah catatan dokter, dokter gigi dan/atau tenaga Kesehatan tertentu, laporan hasil pemeriksaan penunjang, catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman baik berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging) dan rekaman elektro diagnostic.
- Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
- Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 55 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perekam Medis, Khususnya dalam Pasal 1 ayat (2) Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada fasilitas Kesehatan.
- Menurut Ery Rustiyanto, rekam medis adalah siapa, Dimana dan bagaimana perawatan pasien selama di rumah sakit untuk melengkapi rekam medis harus memiliki data yang cukup tertulis dalam rangkaian guna menghasilkan suatu diagnosis, jaminan, pengobatan dan hasil akhir.[1]
- Menurut Gemala R. Hatta, rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, Tindakan dan pelayanan lain kepada pasien di sarana pelayanan Kesehatan.[2]
- Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, Rekam Medis adalah dokumen yang berisikan identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Isi Rekam Medis
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis Pasal 26 ayat 6 menyatakan:
Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 2 paling sedikit terdiri atas:
- Identitas pasien;
- Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang;
- Diagnosis, pengobatan, dan rencana tindak lanjut pelayanan Kesehatan; dan
- Nama dan tanda tangan Tenaga Kesehatan pemberi pelayanan Kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis Pasal 26 ayat 7 Rekam Medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat oleh penanggung jawab pelayanan.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Zaeni Asyhadie, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Rajawali Pers, Depok.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.
[1] Ery Rustiyanto, 2009, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 5.
[2] Gemala R. Hatta, 2008, Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 73.
Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS
Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS adalah Organ Perseroan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Perseroan mempunyai tiga organ yang terdiri atas:
- RUPS
- Direksi; dan
- Dewan Komisaris.
Selanjutnya keberadaan RUPS sebagai organ Perseroan, ditegaskan lagi pada pasal 1 angka 4 yang mengatakan, RUPS adalah organ Perseroan. Dengan demikian menurut hukum, RUPS adalah organ Perseroan yang tidak dapat dipisahkan dari Perseroan. Melalui RUPS tersebutlah para pemegang saham sebagai pemilik (eigenaar, owner) Perseroan melakukan kontrol terhadap kepengurusan yang dilakukan direksi maupun terhadap kekayaan serta kebijakan kepengurusan yang dijalankan menejemen Perseroan.
Kewenangan RUPS
Secara umum, menurut Pasal 1 angka 4 RUPS sebagai organ Perseroan, mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, namun dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar Perseroan.
Kemudian kewenangan RUPS tersebut, dikemukakan ulang lagi pada Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi: RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
Jadi secara umum, kewenangan apa saja yang tidak diberikan kepada Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menjadi kewenangan RUPS. Oleh karena itu, dapat dikatakan RUPS merupakan organ tertinggi Perseroan. Namun, hal itu tidak persis demikian, karena pada dasarnya ketiga organ Perseroan itu sejajar dan berdampingan sesuai dengan pemisahan kewenangan (separation of power) yang diatur dalam undang-undang dan anggaran dasar. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan RUPS lebih tinggi dari Direksi dan Dewan Komisaris. Masing-masing mempunyai posisi dan kewenangan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab yang mereka miliki.
Jika dideskripsi, kewenangan RUPS yang paling utama sesuai dengan undang-undang Perseroan Terbatas tahun 2007, antara lain sebagai berikut:
- Menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan pendiri atau kuasanya (Pasal 13 ayat 1);
- Menyetujui perbuatan hukum atas nama Perseroan yang dilakukan semua anggota Direksi, semua anggota Dewan Komisaris bersama-sama pendiri dengan syarat semua pemegang saham hadir dalam RUPS, dan semua pemegang saham menyetujuinya dalam RUPS tersebut (Pasal 14 ayat 4);
- Perubahan Anggaran Dasar ditetapkan oleh RUPS (Pasal 19 ayat 1);
- Memberi persetujuan atas pembelian kembali atau pengalihan lebih lanjut saham yang dikeluarkan Perseroan (Pasal 38 ayat 1);
- Menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan Keputusan RUPS atas pembelian kembali atau pengalihan lanjut saham yang dikeluarkan Perseroan (Pasal 39 ayat 1);
- Menyetujui penambahan modal Perseroan (Pasal 41 ayat 1);
- Menyetujui pengurangan modal Perseroan (Pasal 44 ayat 1);
- Menyetujui rencana kerja tahunan apabila Anggaran Dasar menentukan demikian (Pasal 64 ayat 1 jo. ayat 3);
- Memberi persetujuan laporan tahunan dan pengesahan laporan keuangan serta laporan tugas pengawasan Dewan Komisaris (Pasal 69 ayat 1);
- Memutuskan penggunaan laba bersih, termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk Cadangan wajib dan Cadangan lain (Pasal 71 ayat 1);
- Menetapkan pembagian tugas dan pengurusan Perseroan antara anggota Direksi (Pasal 92 ayat 5);
- Mengangkat anggota Direksi (Pasal 94 ayat 1);
- Menetapkan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi (Pasal 96 ayat 1);
- Menunjuk pihak lain untuk mewakili Perseroan apabila seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan (Pasal 99 ayat 2 huruf c);
- Memberi persetujuan kepada Direksi untuk:
- Mengalihkan kekayaan Perseroan, atau
- Menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan, Persetujuan itu diperlukan apabila lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak (Pasal 102 ayat 1);
- Memberi persetujuan kepada Direksi untuk mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga (Pasal 104 ayat 1);
- Memberhentikan anggota Direksi (Pasal 105 ayat 2);
- Menguatkan Keputusan pemberhentian sementara yang dilakukan Dewan Komisaris terhadap anggota Direksi (Pasal 106 ayat 7);
- Mengangkat anggota Dewan Komisaris (Pasal 111 ayat 1);
- Menetapkan tentang besarnya gaji atau honorarium dan tunjangan anggota Dewan Komisaris (Pasal 113);
- Mengangkat Komisaris Independen (Pasal 120 ayat 2);
- Memberi persetujuan atas Rancangan Penggabungan (Pasal 223 ayat 3);
- Memberi persetujuan mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan atau Pemisahan (Pasal 127 ayat 1);
- Memberi Keputusan atas pembubaran Perseroan (Pasal 142 ayat 1 huruf a);
- Menerima pertanggungjawaban likuidator atas penyelesaian likuidasi (Pasal 143 ayat 1).
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Yahya Harahap, 2016, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta.
Eksepsi Pada Prosedur Hukum Acara Pidana di Indonesia
Eksepsi
Pengertian eksepsi atau exception adalah:
- Tangkisan (plead) atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap “materi pokok” surat dakwaan.
- Tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat “formal” yang melekat pada surat dakwaan.
Dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP, definisi eksepsi tidak dirumuskan secara jelas. Istilah yang digunakan adalah “keberatan”. Kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberi hak untuk mengajukan keberatan. Pengertian keberatan yang disebut dalam pasal ini, lebih dekat pengertiannya dengan objection dalam system Common Law, yang berarti perkara yang diajukan terhadap terdakwa mengandung tertib acara yang improper (tidak tepat) atau illegal (tidak sah).
Saat Mengajukan Eksepsi
Jika diperhatikan Pasal 156 ayat (1), pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas alasan “formal” oleh terdakwa atau penasihat hukum adalah “hak” dengan ketentuan:
- Prinsipnya harus diajukan pada “sidang pertama”;
- Yakni “sesaat” atau “setelah” penuntut umum membaca surat dakwaan;
- Apabila pengajuan dilakukan di luar tenggang yang disebutkan, eksepsi tidak perlu ditanggapi penuntut umum dan Pengadilan Negeri, kecuali mengenai eksepsi kewenangan mengadili yang disebut dalam Pasal 156 ayat 7.
Prinsip ini disimpulkan dari ketentuan pasal 156 ayat 2 yang menegaskan: jika hakim menerima keberatan terdakwa atau penasihat hukum maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Berarti proses pengajuan keberatan berada antara tahap pembacaan surat dakwaan. Pemeriksaan materi pokok perkara dihentikan apabila keberatan diterima. Sebaliknya pemeriksaan materi pokok perkara diteruskan langsung apabila keberatan ditolak.
Klasifikasi Eksepsi
Ada beberapa klasifikasi eksepsi yang terdapat dalam praktek peradilan, akan tetapi dalam artikel ini hanya dibahas beberapa di antaranya.
- Eksepsi Kewenangan Mengadili
Disebut “eksepsi tak berwenang” mengadili atau exception of incompetency (exception van onbevoegheid), dalam arti Pengadilan yang dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili, yang diklasifikasikan sebagai berikut:
- Tidak berwenang secara absolut.
Munculnya persoalan kewenangan absolut mengadili (absolute competence), sebagai akibat Pasal 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang telah menetapkan dan membagi “yurisdiksi substantif” untuk setiap lingkungan peradilan pada satu segi dan pada segi lain disebabkan faktor pembentukan jenis peradilan khusus yang kewenangannya secara absolut diberikan kepada peradilan khusus tersebut (seperti peradilan anak).
- Tidak berwenang secara relatif.
Disebut kewenangan relatif mengadili perkara (relative competence) di dasarkan pada faktor “daerah hukum” atau “wilayah hukum” suatu Pengadilan.
Setiap Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, terbatas daerah atau wilayah hukumnya. Patokan menentukan batas daerah atau wilayah hukum pada dasarnya disesuaikan dengan sistem pemerintahan Tingkat I (provinsi) dan Tingkat II (Kabupaten atau Kotamadya).
Landasan dasar untuk menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan Negeri atau sesuatu tindak pidana yang terjadi, merujuk pada ketentuan:
- Pasal 84 ayat 1 KUHAP: Locus delicti/tempat kejadian perkara;
- Pasal 84 ayat 2 KUHAP: Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan;
- Pasal 85 KUHAP: kewenangan atas “penunjukan” Menteri Kehakiman;
- Pasal 86 KUHAP: Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasar undang-undang atas tindak pidana yang dilakukan di luar negeri.
Perlu diingat eksepsi kewenangan relatif pada prinsipnya diajukan pada peradilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri. Namun tidak mengurangi hak terdakwa atau penasihat hukum mengajukan kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding dengan jalan memasukkan dalam memori banding.
Malahan, oleh karena kewenangan mengadili merupakan ketentuan yang bersifat “aturan publik” (public order), Pengadilan Tinggi secara ex officio berwenang memeriksa dan menilai apakah Pengadilan Negeri melanggar prinsip kompetensi relative dalam mengadili perkara yang bersangkutan, meskipun hal itu tidak diajukan sebagai eksepsi dalam peradilan tingkat pertama. Penerapan yang demikian, tidak semata-mata berdasar alasan publik tetapi juga berdasar kehendak yang terkandung dalam Pasal 156 ayat (7) KUHAP, yang memberi fungsi ex officio bagi hakim memeriksa dan memutus mengenai kompetensi meskipun hal itu tidak diajukan sebagai keberatan (eksepsi).
- Eksepsi Kewenangan Menuntut, Gugur
Eksepsi lain yang tidak disebut dalma Pasal 156 ayat 1 KUHAP, tetapi ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan lain, antara lain dalam KUHP, adalah eksepsi yang menyatakan “kewenangan” penuntut umum untuk menuntut “hapus” atau “gugur”. Hapus atau gugurnya kewenangan penuntutan disebabkan faktor tertentu yang disebut dalam ketentuan pasal yang bersangkutan.
Mengenai jenis eksepsi ini, yang terpenting di antaranya:
- Exception judicate atau nebis in idem (Pasal 76 KUHP). Faktor yang menghapus kewenangan penuntutan dalam eksepsi ini: tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, telah pernah di dakwakan, diperiksa dan diadili serta putusannya: Telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan Putusannya bersifat positif, yakni dipidana atau dibebaskan maupun dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
- Exception in tempores (Pasal 78 KUHP). Penuntutan tindak pidana yang diajukan kepada terdakwa melampaui tenggang batas waktu yang ditentukan undang-undang (that the time priscribed by law for bringing such action or offence has expired). Seperti diketahui, Bab VIII KUHP, mulai dari Pasal 78-82 telah mengatur sistem penerapan kedaluwarsa penuntutan pidana.
- Terdakwa meninggal dunia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 77 KUHP, kewenangan menuntut pidana “hapus” atas alasan terdakwa/tertuduh “meninggal dunia”.
- Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima
Patokan untuk mengajukan eksepsi atau menjatuhkan putusan dengan amar: menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, apabila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau yang diminta ketentuan undang-undang. Ke dalam kelompok ini antara lain dapat dikemukakan:
- Eksepsi pemeriksaan penyidikan tidak memenuhi syarat ketentuan Pasal 56 ayat 1 KUHAP. Pasal 56 ayat 1 menggariskan Miranda Rule yang menegaskan, setiap penuntutan atau persidangan, tersangka atau terdakwa di dampingi penasihat hukum, ketentuan ini merupakan “syarat yang diminta” undang-undang apabila tindak pidana yang disangkakan atau di dakwakan, diancam dengan pidana mati atau pidana 15 tahun atau lebih atau bagi yang tidak mampu dan diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Pasal 56 ayat 2 KUHAP: setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Apabila ketentuan Pasal 56 ayat 1 tidak dipenuhi, dianggap pemeriksaan tidak memenuhi syarat yang diminta undang-undang, yang berakibat “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima” (MA No. 1565 K/Pid/1991, 16 September 1993).
- Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi syarat Klacht delict. Tindak pidana yang didakwakan “delik aduan” (klacht delict), tetapi ternyata penuntutannya kepada terdakwa “tanpa pengaduan” dari “korban” atau dari orang yang disebut dalam pasal delik yang bersangkutan atau tenggang waktu pengaduan yang digariskan Bab VII (Pasal 72-75 KUHP, tidak dipenuhi, oleh karena itu syarat yang diminta atau ditentukan undang-undang tidak dipenuhi oleh penyidik dan penuntut umum (tidak ada pengaduan). Berarti tuntutan penuntut umum terhadap terdakwa, tidak memenuhi syarat undang-undang, sehingga tuntutan untuk meminta pertanggung jawaban pidana kepada terdakwa “tidak dapat diterima”.
- Eksepsi Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Eksepsi ini dikonstruksi dari ketentuan Pasal 67 KUHAP, yang memperkenalkan bentuk putusan Pengadilan Negeri “lepas dari segala tuntutan hukum” atau onslag van rechtvervolging.
Selanjutnya apa yang disebut dalam Pasal 67 tentang eksepsi ini, dipertegas lagi dalam Pasal 191 ayat 2 KUHAP, yang memberi patokan tentang arti putusan “lepas dari segala tuntutan hukum”, yakni “jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi tidak merupakan sesuatu tindak pidana.
Dalam praktek, pada umumnya yang sering menjadi dasar untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apabila tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa “perdata” sehingga apa yang didakwakan pada dasarnya termasuk “sengketa perdata” yang harus diselesaikan melalui proses peradilan perdata.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Praperadilan
Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan sendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sebagai tugas pokok maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang wewenang pemeriksaan diberikan kepada Praperadilan. Hal yang diuraikan di atas, dapat dibaca dalam rumusan Pasal 1 butir 10 KUHAP, yang menegaskan: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP yang menjelaskan: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan jadwalkan konsultasi dengan kami.
Sumber:
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Nomor Telepon Darurat untuk Daerah Bali
Nomor telepon darurat yang dapat di hubungi untuk daerah Bali sebagai berikut:
- Pusat panggilan darurat: 112
- Pusat panggilan informasi: 0361 108
- Pusat Panggilan Kepolisian: 110
- BPBD adalah singkatan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah, mereka menangani: kebakaran, pohon tumbang, binatang liar (ular dan biawak) menyelinap masuk rumah, bala wisata tirtha, kecelakaan, evakuasi pasien sakit, pelayanan pengantaran jenazah gratis, penyelamatan dan pencarian korban di air. Instagram: bpbd_kota_denpasar, bpbdbadung
- BPBD Provinsi Bali: 0361 251177, 085792240799
- BPBD Kota Denpasar: 0361 223333, 081236706882
- BPBD Kabupaten Badung: 08113894000
- BPBD Kabupaten Gianyar: 0361 8958447/4795632/08113884353
- BPBD Kabupaten Bangli: 0366 91448
- BPBD Kabupaten Karangasem: 0363 22173, 081384417970
- BPBD Kabupaten Klungkung: 0366 21047/23000
- BPBD Kabupaten Tabanan: 0361 811171
- BPBD Kabupaten Jembrana: 0365 41166, 082145730669
- BPBD Kabupaten Buleleng: 0362 23022
- Basarnas (SAR/Search and Rescue/Pencarian dan Penyelamatan) Bali 0361 703300/705536, 081138115115
- PMI (Palang Merah Indonesia) Provinsi Bali: 0361 483465, 081339474681
website:
Polisi = https://www.bali.polri.go.id/
Kata kunci: Website Kepolisian Daerah Bali, Website Kepolisian Republik Indonesia, Polisi, Indonesia, Bali, Denpasar, Badung (Kota/Kabupaten di Bali).
BPBD:
https://www.penanggulanganbencana.denpasarkota.go.id/
https://bpbd.baliprov.go.id/
https://bpbd.badungkab.go.id/
Kata kunci: Website BPBD Provinsi Bali, BPBD/Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Denpasar, Badung (Kota/Kabupaten di Bali)
Rumah Sakit:
https://sanglahhospitalbali.com/home/
https://www.rsudmangusada.badungkab.go.id/
Kata kunci: Website Rumah Sakit Pemerintah Denpasar, Provinsi, Kabupaten, Kota, Denpasar, Bali, Badung (Kota/Kabupaten di Bali).
Dinas Kebakaran dan Penyelamatan Kabupaten Badung= https://diskarmat.badungkab.go.id/
Telepon: 0361 411333 (pusat panggilan darurat), 0361 428449 Dinas Kebakaran dan Penyelamatan Kabupaten Badung
Kata kunci: Website Dinas Pemadam Kebakaran Denpasar, Badung (Kota/Kabupaten di Bali).
Sumber:
https://bpbd.baliprov.go.id/v/37/berita/article/2735/waspada-cuaca-ekstrem
https://diskarmat.badungkab.go.id/kontak-kami-197
https://bali.polri.go.id/yanmas/view/yanmas-120397-call-center-110
Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
Pengertian alat bukti:
Alat bukti (bewijsmiddel) bermacam-macam bentuk dan jenis, yang mampu memberi keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Alat bukti mana diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugat atau dalil bantahan. Berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Macam-macam alat bukti dalam perkara perdata
Berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUHPerdata, maka di Indonesia dikenal 5 (lima) macam alat-alat bukti utama dalam perkara perdata, yaitu:
- Bukti Surat;
- Bukti Saksi;
- Persangkaan;
- Pengakuan;
- Sumpah.
Ad. 1 Alat Bukti Surat Diklasifikasikan Menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
A. Surat Biasa
Pada prinsipnya surat biasa ini dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti. Akan tetapi, apabila kemudian hari surat tersebut dijadikan alat bukti di persidangan maka hal ini bersifat insidental (kebetulan) saja. Contohnya terhadap surat-surat cinta, surat-surat sehubungan dengan korespondensi dagang, buku catatan penggunaan uang dan sebagainya.
B. Akta Otentik
Mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (Hakim, Notaris, Juru-sita, Pegawai Catatan Sipil, dll) yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat.
Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat berwenang yang disebut pejabat umum. Dengan catatan yang membuatnya pejabat yang cakap atau berwenang dan bentuk/isinya tidak cacat.
Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Akta Otentik yakni kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende).
Konkretnya, akta otentik dibuat memang sengaja untuk pembuktian. Karena bersifat untuk pembuktian maka akta otentik berdasarkan ketentuan pasal 1868 KUH Perdata dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: pertama, akta yang dibuat oleh pegawai umum. Akta jenis ini lazim disebut dengan istilah-istilah: akta pejabat, acte ambtelijk, relaas akta atau procesverbaal acte. Misalnya akta yang dibuat oleh Notaris, Camat, Panitera, Surat Panggilan Jurusita, Putusan Hakim dan sebagainya merupakan akta otentik yang dibuat oleh pegawai umum. Kedua, akta yang dibuat di hadapan pegawai umum. Akta jenis ini lazim disebut dengan istilah, akta partai atau Acte Partij. Pada prinsipnya dalam aspek pembuatannya maka akta partai inisiatif ada pada para pihak untuk membuatnya dan pegawai umum hanya mendengarkan, menyaksikan dan meletakkan perjanjian tersebut. Misalnya akta yang dibuat di hadapan Notaris tentang suatu perjanjian (sewa-menyewa, jual-beli dan sebagainya).
C. Akta di Bawah Tangan
Pengertian akta di bawah tangan merupakan akta yang tidak dibuat oleh dan dihadapan pegawai umum yang berwenang membuatnya, atau tegasnya, sebagaimana intisari pasal 1874 KUH Perdata, akta di bawah tangan dibuat oleh para pihak sendiri tanpa bantuan pegawai umum. Misalnya: Kuitansi, perjanjian utang-piutang, surat perjanjian sewa menyewa, surat pernyataan, register, surat-surat urusan rumah tangga dan sebagainya.
Daya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik.
Ad. 2 Alat Bukti Saksi:
Mengenai alat bukti saksi pada dasarnya diatur dalam Pasal 139-152, Pasal 162-172 HIR, Pasal 165-179, Pasal 306-309 RBg dan Pasal 1895, Pasal 1902-1908 KUH Perdata.
Esensi terpenting dari alat bukti saksi bahwa secara umum setiap peristiwa dapat dibuktikan dengan kesaksian, kecuali tegas-tegas undang-undang menentukan lain. Eksepsional hal ini Nampak misalnya pada perjanjian pendirian perseroan firma di antara persero firma itu sendiri harus dibuktikan dengan suatu akta notaris (Pasal 22 KUHD).
Terhadap person sebagai saksi maka pada asasnya semua orang yang telah dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) dapat menjadi saksi dan bahkan diwajibkan memberi kesaksian apabila diminta.
Sehubungan dengan kewajiban seseorang untuk menjadi saksi maka ada beberapa ketentuan yang mengatur orang yang tidak dapat di dengar sebagai saksi dan dapat menolak serta diminta untuk dibebaskan memberi kesaksian sebagaimana dirinci dalam ketentuan Pasal 145, 146 HIR, Pasal 172, 173, 174 RBg dan Pasal 1909, 1910 KUH Perdata dan beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yakni:
Orang-orang yang tidak dapat di dengar keterangannya sebagai saksi adalah:
- Keturunan lurus yang terikat dalam hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan salah satu pihak berperkara. Hal ini ditegaskan pula sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 84 K/Sip/1973 tanggal 25 Juni 1973 dalam perkara: Karsilah lawan 1. Murati, 2. Baeah dan 3. Wari.
- Suami dari salah satu pihak berperkara walaupun mereka telah bercerai. Hal ini pararel dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 140 K/Sip/1974 tanggal 6 Januari 1976 dalam perkara: 1. Ni Tanjung alias Ni Bukit, 2. Bukit al. I Daha lawan I Ngayus; dan
- Anak-anak yang tidak di diketahui dengan pasti apakah mereka telah berusia genap lima belas tahun dan orang-orang sakit gila walaupun mereka sekali-kali dapat berpikir secara waras. Aspek ini ditegaskan pula dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1409 K/Sip/1975 tanggal 12 Mei 1976 dalam perkara: 1. Umi Kalsum dkk., lawan Roekijah dan H. Maskur dkk.
Akan tetapi dalam perkara tertentu mereka cakap menjadi saksi, meskipun pihak-pihak yang berperkara terdiri dari keluarga sedarah atau semenda maupun suami atau istri. Hal ini diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUHPerdata dan aturan lain.
Orang-orang yang dapat minta dibebaskan/dapat menolak sebagai saksi, yaitu:
- Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak berperkara.
- Keluarga keturunan lurus serta saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak berperkara dan
- Semua orang berdasarkan kedudukannya, usahanya atau jabatannya yang sah berkewajiban memegang rahasia akan tetapi semata-mata tentang pengetahuan yang karena kedudukan, usaha atau jabatan tersebut telah dipercaya kepada mereka.
Pada dasarnya apabila seseorang menjadi saksi dalam perkara perdata maka yang diterangkan hanyalah terbatas kepada apa yang di lihat, di dengar atau di alami sendiri. Kemudian tiap-tiap kesaksian tersebut haruslah disertai dengan alasan-alasan tentang apa sebabnya, bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan tersebut.
Ad. 3 Alat Bukti Persangkaan (Vermoedens)
Eksistensi alat bukti persangkaan yang lazim dalam doktrina disebut dengan istilah “vermoedens” atau “presumptions” Nampak terlihat apabila dalam pemeriksaan perkara perdata sukar ditemukan alat bukti saksi yang melihat, mendengar atau merasakan sendiri perkara itu sehingga peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan pembuktiannya melalui persangkaan-persangkaan.
Dari Pengertian Pasal 1915 BW dan praktik peradilan maka ada 2 (dua) macam persangkaan, yaitu:
- Persangkaan menurut undang-undang
- Persangkaan menurut hakim
Ad. 1) Persangkaan menurut undang-undang
Menurut ketentuan Pasal 1916 BW persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Contoh: tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya (Pasal 250 BW). Dalam konteks ini berarti undang-undang menyimpulkan bahwa dari adanya perkawinan maka anak yang lahir selama perkawinan itu ditumbuhkan oleh sang suami.
Ad. 2) Persangkaan menurut Hakim
Identik dengan persangkaan menurut undang-undang maka dalam konteks ini penarikan kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa adalah hakim. Misalnya: dalam perkara permohonan pengangkatan anak di mana si A (pemohon) akan mengangkat anak yang Bernama si B. pada persidangan di Pengadilan Negeri si A menerangkan bahwa anak yang akan diangkat tersebut telah lama dipelihara olehnya. Kemudian dalam persidangan ternyata anak tersebut telah memanggil dengan sebutan “ma” kepada si pemohon. Hal ini memberi persangkaan dan Hakim dapat menarik suatu persangkaan bahwa memang benar anak tersebut telah di pelihara oleh si A (pemohon).
Ad. 4 Alat Bukti Pengakuan (Bekentenis Confession)
Pada dasarnya pengakuan merupakan suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau lisan dari salah satu pihak berperkara di mana isinya membenarkan dalil lawan baik sebagian atau seluruhnya. Jadi konkretnya pengakuan merupakan keterangan sepihak dan untuk itu tidaklah diperlukan persetujuan dari pihak lainnya.
Menurut pandangan doktrina pada asasnya pengakuan (pasal 1923 BW) dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Pengakuan di muka Hakim di Persidangan (Gerechtelijke Bekentenis)
Pengakuan di muka persidangan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs) dan mengikat yang bersangkutan atau dengan perantaraan seorang yang khusus di kuasakan untuk itu (Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg dan Pasal 1925 BW). Dalam konteks ini berarti bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang diakui sebagai benar dan mengabulkan gugatan berdasarkan atas dalil-dalil tersebut.
b. Pengakuan di luar Sidang
Pengakuan di luar sidang adalah lawan atau kebalikan dari pengakuan dalam persidangan atau di muka hakim yang digariskan Pasal 1925 BW dan Pasal 174 HIR. Berupa pengakuan atau pernyataan “pembenaran” tentang dalil gugatan atau bantahan maupun hak atau fakta, namun pernyataan itu disampaikan atau diucapkan di luar sidang pengadilan.
Dalam praktik pengakuan di luar sidang dapat dilakukan dengan bentuk tertulis atau lisan dan diatur dalam pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg dan Pasal 1927-1928 BW.
Dalam praktik dan menurut ilmu pengetahuan hukum maka selain 2 (dua) macam pengakuan tersebut maka dikenal pula adanya 3 (tiga) macam pengakuan lainnya, yaitu:
- Pengakuan murni (Aveu pur et Simple): pengakuan murni ini sifatnya adalah sederhana dan pada pokoknya membenarkan semua dalil lawan (Penggugat).
- Pengakuan dengan kualifikasi (Gequaliceerde Bekentenis/Aveu Qualifie): pada pokoknya pengakuan dengan kualifikasi merupakan pengakuan-pengakuan disertai penyangkalan sebagian dari dalil lawan.
- Pengakuan dengan klausula (Geelausuleerde Bekentenis/Aveu Complexe): pada dasarnya pengakuan berklausula diberikan dengan melakukan keterangan tambahan yang sifatnya membebaskan.
Ad. 5 Alat Bukti Sumpah
Pengertian sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan:
- Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu takut atas murka Tuhan, apabila dia berbohong;
- Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.
Alat bukti sumpah dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
- Sumpah Pemutus
Dalam praktik, sumpah pemutus lazim disebut dengan istilah-istilah: “sumpah menentukan”, “sumpah dicisoir” atau “decisoir eed” yang diatur dalam Pasal 156 HIR, Pasal 183 RBg dan Pasal 1930-1939 KUHPerdata. Adapun maksud esensial dari sumpah pemutus adalah sifatnya untuk memutus perkara (litis decisoir), dibebankan hakim kepada salah satu pihak atas dasar permintaan lawannya karena tiadanya alat bukti.
- Sumpah Pelengkap
Sumpah pelengkap atau lazim disebut dengan istilah-istilah: “sumpah penambah”, “sumpah supletoir” atau “supletoire eed”. Sumpah ini diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 RBg dan Pasal 1940 KUHPerdata dan diperintahkan hakim kepada salah satu pihak apabila hanya ada sedikit bukti terhadap gugatan penggugat atau untuk menguatkan kebenaran bantahan tergugat, akan tetapi bukti tersebut belumlah cukup dan tidak ada kemungkinan menambah bukti yang belum lengkap itu dengan bukti lain untuk menyempurnakan pembuktian tersebut. Dalam hal seperti itu hakim karena jabatannya (ambthalve) dapat membebankan pihak yang sebelumnya ada permulaan pembuktian untuk mengucapkan sumpah pelengkap/tambahan agar perkara dapat diputus.
- Sumpah Penaksir
Dalam praktik lazim sumpah penaksir disebut dengan istilah-istilah: “sumpah taxatoir”, “aestimatoire eed”, “waarderingseed” atau “schattingseed”, yaitu sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya kepada penggugat (penggugat dalam konvensi/tergugat dalam rekonvensi) untuk menentukan besarnya jumlah uang pengganti kerugian. Pembebanan sumpah penaksir kepada penggugat dilakukan secara selektif dalam artian bahwa haruslah tidak ditemukan cara lain untuk menentukan besarnya tuntutan jumlah ganti kerugian dan hakim dapat menetapkan plafon jumlahnya (Pasal 1942 KUHPerdata).
Keterangan Ahli (Deskundigenbericht)
Esensi pokok dari keterangan ahli adalah memberikan pendapat terhadap hal-hal yang diajukan kepadanya sesuai dengan keahliannya dan bertujuan untuk memperjelas duduknya perkara.
Ada juga beberapa bukti seperti email, tangkapan layar, video dan foto dan lain-lain yang diatur dalam Undang-undang Informasi dan transaksi elektronik.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda dengan kami.
Sumber:
Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., 2005, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Yahya Harahap, S.H., 2008, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
Kriminologi
Kriminologi termasuk cabang ilmu yang baru. Berbeda dengan hukum pidana yang muncul begitu manusia bermasyarakat. Kriminologi baru berkembang tahun 1850 bersama-sama dengan sosiologi, antropologi dan psikologi. Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lain (homo homini lupus), selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain. Oleh sebab itu, maka diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupannya. Hal itu sangat penting demi menjamin rasa aman bagi manusia lainnya.
Nama kriminologi yang disampaikan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang antropolog Prancis, secara harfiah berasal dari kata “Crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan; maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. Beberapa sarjana memberikan Pengertian yang berbeda mengenai kriminologi ini. Diantaranya, Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
Salah satu dari teori kriminologi yang terkenal adalah teori Differential Assosiation.
Differential Association Theory
Sutherland menemukan istilah differential association untuk menjelaskan proses belajar tingkah laku kriminal melalui interaksi sosial. Setiap orang, menurutnya, mungkin saja melakukan kontak (hubungan) dengan “definition favorable to violation of law” atau dengan “definitions unfavorable to violation of law”.
Rasio dari definisi-definisi atau pandangan-pandangan tentang kejahatan ini – apakah pengaruh-pengaruh kriminal atau non-kriminal lebih kuat dalam kehidupan seseorang menentukan ia menganut atau tidak kejahatan sebagai satu jalan hidup yang diterima. Dengan kata lain rasio dari definisi-definisi (kriminal terhadap non kriminal) menentukan apakah seseorang akan terlibat dalam tingkah laku kriminal.
Sutherland memperkenalkan differential association theory dalam buku teksnya Principle of Criminology pada tahun 1939. Sejak saat itu para sarjana membaca, menguji, melakukan pengujian ulang, dan terkadang mengkritik teori ini, yang diklaim dapat menjelaskan perkembangan semua tingkah laku kriminal.
Differential association di dasarkan pada sembilan proposisi (dalil), yaitu:
- Criminal behavior is learned (tingkah laku criminal dipelajari).
- Criminal behavior is learned in interaction with other person in a process of communication (tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam proses komunikasi). Seseorang tidak begitu saja menjadi kriminal hanya karena hidup dalam suatu lingkungan yang kriminal. Kejahatan dipelajari dengan partisipasi bersama orang lain baik dalam komunikasi verbal maupun non-verbal.
- The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal groups (bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok orang yang intim/dekat). Keluarga dan kawan-kawan dekat mempunyai pengaruh paling besar dalam mempelajari tingkah laku menyimpang. Komunikasi-komunikasi mereka jauh lebih banyak daripada media massa, seperti film, televisi, dan surat kabar.
- When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes (ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pembelajaran itu termasuk (a) Teknik-teknik melakukan kejahatan yang kadang sangat sulit, kadang sangat mudah dan (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap). Delinquent muda bukan saja belajar bagaimana mencuri di toko, membongkar kotak, membuka kunci dan sebagainya, tapi juga belajar bagaimana merasionalisasi dan membela tindakan-tindakan mereka. Seorang pencuri akan ditemani pencuri lain selama waktu tertentu sebelum dia melakukan sendiri. Dengan kata lain, para penjahat juga belajar ketrampilan dan memperoleh pengalaman.
- The specific direction of motives and drives is learned from definition of the legal codes as favorable or unfavorable (arah khusus dari motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia menguntungkan atau tidak). Di beberapa masyarakat seorang individu dikelilingi oleh orang-orang yang tanpa kecuali mendefinisikan aturan-aturan hukum sebagai aturan yang harus dijalankan, sementara di tempat lain dia dikelilingi oleh orang-orang yang definisi-definisinya menguntungkan untuk melanggar aturan-aturan hukum. Tidak setiap orang dalam masyarakat kita setuju bahwa hukum harus ditaati. Beberapa orang mendefinisikan aturan hukum itu sebagai tidak penting.
- A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definitions unfavorable to violation of law (seseorang menjadi delinquent karena definisi-definisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum). Ini merupakan prinsip kunci (key principle) dari differential association, arah utama dari teori ini. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku kriminal bukanlah semata-mata persoalan hubungan dengan teman/kawan yang buruk. Tetapi, mempelajari tingkah kriminal tergantung pada berapa banyak definisi yang kita pelajari yang menguntungkan untuk pelanggaran hukum sebagai lawan dari definisi yang tidak menguntungkan untuk pelanggaran hukum.
- Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity (asosiasi differential itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi/kekerapannya, lamanya, prioritasnya dan intensitasnya). Tingkat dari asosiasi-asosiasi/definisi-definisi seseorang yang akan mengakibatkan kriminalitas berkaitan dengan kekerapan kontak, berapa lamanya dan arti dari asosiasi/definisi kepada si individu.
- The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning (proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola-pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain). Mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal adalah mirip sekali dengan mempelajari pola-pola tingkah laku konvensional dan tidak sekedar suatu persoalan pengamatan dan peniruan.
- While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same needs and values (walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku non kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama). Pencuri toko mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang-orang lain bekerja untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Motif-motif – frustasi, nafsu untuk mengumpulkan harta serta status sosial, konsep diri yang rendah dan semacamnya menjelaskan baik tingkah laku kriminal maupun non kriminal.
Kritik terhadap Teori Differential Association:
- Mengapa tidak setiap orang yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku kriminal yang lebih banyak menjadi seorang penjahat?
- Apakah teori ini benar dapat menjelaskan semua kejahatan, mungkin ia dapat diterapkan untuk pencurian, tetapi bagaimana dengan pembunuhan yang disebabkan oleh kemarahan karena cemburu?
- Mengapa beberapa orang yang mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal tidak terlibat dalam perbuatan kriminal?
- Teori ini menjelaskan bagaimana tingkah laku kriminal dipelajari, tetapi ia tidak menjelaskan bagaimana pertama kali Teknik-teknik dan definisi-definisi kriminal itu ada? Atau dengan kata lain, teori ini tidak menjelaskan kepada kita bagaimana penjahat yang pertama menjadi penjahat.
Sumber:
Yesmil Anwar dan Adang, 2010, Kriminologi, PT. Refika Aditama, Bandung.
Topo Santoso, S.H.,M.H., dan Eva Achjani Zulfa, S.H., 2009, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta.
Pembelaan Terpaksa dan Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam KUHP diatur pada Pasal 49 ayat (1) yang menyatakan, “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”. Kendatipun dalam Memorie van Toelichting tidak ditemukan istilah “Pembelaan Terpaksa” namun ketentuan Pasal 49 ayat (1) secara implisit memberikan persyaratan terhadap pembelaan terpaksa.
Pada awalnya, pembelaan terpaksa tidak dikenal karena didasarkan pada postulat di zaman kuno yang menyatakan, vim vi repellere licet. Artinya, kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan[1]. Dalam perkembangannya adagium ini sudah ditinggalkan dalam rangka menegakkan ketertiban umum. Demikian pula prinsip moral dalam proses pidana (non scripta sed nata lex)[2], tidak selayaknya orang yang melakukan pembelaan terpaksa dijatuhi pidana. Esensi dari pembelaan terpaksa adalah pelaku melakukan tindakan untuk menghindari kejahatan yang lebih besar atau menghindari bahaya yang mengancam[3]. Pembelaan terpaksa adalah alasan pembenar yang menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan. Necessitas excusat aut extenuate delictum in capitalibus, quod non operator idem in civilibus. Artinya, pembelaan terpaksa membebaskan seseorang dari hukuman namun tidak demikian dalam perkara perdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP, ada beberapa persyaratan pembelaan terpaksa. Pertama, ada serangan seketika. Kedua, serangan tersebut bersifat melawan hukum. Ketiga, pembelaan merupakan keharusan. Keempat, cara pembelaan adalah patut[4]. Mengenai persyaratan keempat ini tidak disebut dalam pasal a quo. Perihal persyaratan pertama dan kedua, ongeblikkelijke wederrechtelijke aanranding atau serangan seketika yang melawan hukum, paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dipilah. Apa yang dimaksud dengan serangan? Apa yang dimaksud dengan seketika? Dan apa yang dimaksud dengan melawan hukum?
Pengertian serangan dalam pasal a quo adalah serangan nyata yang berlanjut, baik terhadap badan, martabat atau kesusilaan dan harta benda[5]. Sedangkan Pengertian seketika, yaitu antara saat melihat adanya serangan dan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada selang waktu yang lama. Tegasnya, begitu terjadi serangan, seketika ada pembelaan[6]. Sementara Pengertian melawan hukum adalah serangan yang bertentangan atau melanggar undang-undang[7].
Perhatikan ilustrasi berikut: A memukul B dengan sekuat tenaga dan hanya dalam satu kali pukulan mengenai muka B sehingga B terjatuh, A kemudian berbalik dan meninggalkan B. ketika A berbalik, B kemudian berdiri dan memukul A. tindakan B tidak termasuk dalam pembelaan terpaksa. Argumentasinya: Pertama, A telah menghentikan serangan. Artinya, serangan itu tidak berlanjut. Kedua, tidak ada pembelaan seketika dari B saat A memukulnya.
Contoh lain: X menunggu Y yang sedang berada di dalam kelas. Niat X adalah untuk menganiaya Y saat keluar dari kelas. Y diberitahu oleh Z, bahwa kalau ia keluar kelas, X berniat menganiayanya. Ketika Y keluar dari kelas, dengan seketika Y memukul X. tindakan Y tidak termasuk pembelaan terpaksa karena X yang menunggu Y diluar untuk dianiaya bukanlah suatu serangan nyata.
Bandingkan dengan contoh berikut: C tidak senang dengan D. ketika berjalan di jalan yang sepi, C kemudian menodong D dengan pistol. Seketika D langsung menendang tangan C yang memegang pistol hingga terjatuh. Tindakan D digolongkan pembelaan terpaksa karena C yang menodongkan pistol ke arah D termasuk ancaman serangan.
Perihal serangan Vos memberikan peryataan dan ilustrasi sebagai berikut:
“…. De aanranding kan nog voortduren en verdediging nog toelaatbaar zijn, ook als is het delict, waarin de aanranding bestaat, reeds voltooid. Men kan zeggen, dat de aanranding voortduurt, zolang de aanrander nog binnen het bereik van de aangevallene is, mits natuurlijk verdere benadeling dreight en er du snog iets te verdedigen valt. Voorbeeld: iemand ziet een dief met het gestolen goed weglopen, maar ziet kans hem het voorwerp met geweld te ontrukken, voordat hij buiten zijn bereik is gekomen; er is dan een voltooid delict van diefstal maar verdediging is nog teogelaten”[8].
(Serangan tidak terbatas pada selesainya perbuatan yang merupakan serangan itu. Serangan itu merupakan delik sehingga serangannya tidak terbatas pada selesainya delik. Serangan itu masih berlangsung selama masih ada kemungkinan bahwa penyerang dapat melanjutkan perbuatan-perbuatan merugikan orang yang diserang. Selama masih ada kemungkinan tersebut, maka masih tetap ada keharusan untuk membela diri. Contohnya: seseorang mencuri barang di dalam rumah. Selama pencuri masih berada di dalam rumah, maka masih ada kesempatan bagi yang punya barang untuk merebut Kembali barang tersebut. Selama pencuri masih berada di dalam rumah, maka masih ada serangan).
Berikut adalah persyaratan ketiga pembelaan terpaksa yaitu pembelaan merupakan keharusan. Artinya sudah tidak ada lagi jalan lain untuk menghindar dari serangan tersebut. Misalnya, dalam sebuah ruangan tertutup, S yang berniat membunuh T, tiba-tiba masuk dan mengunci pintu kemudian S dengan pisau yang terhunus mendekati T untuk menusuknya. T kemudian memberikan perlawanan atas tindakan S dengan menggunakan ilmu bela diri yang dikuasainya. Tindakan T termasuk dalam pembelaan terpaksa karena ada serangan seketika yang melawan hukum dan pembelaan tersebut merupakan suatu keharusan. Bandingkan jika S yang berniat membunuh T, kemudian dengan pisau yang terhunuh S mendekati T tetapi keduanya berada di tanah lapang. Disini, T masih bisa menghindar dari S dengan melarikan diri.
Selanjutnya terkait persyaratan keempat bahwa cara pembelaan adalah patut. Terhadap persyaratan keempat, demikian pula persyaratan ketiga di atas, sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dalam alasan penghapus pidana pada umumnya termasuk juga pembelaan terpaksa. Pertama, prinsip subsidaritas. Artinya, tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan lain sehingga pembelaan tersebut harus dilakukan. Tegasnya, pembelaan tidak menjadi keharusan selama masih bisa menghindar[9].
Kedua, prinsip proporsionalitas. Artinya, harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar. Dalam konteks pembelaan terpaksa, delik yang dilakukan untuk pembelaan diri harus seimbang dengan serangan yang dihadapi[10]. Moeljatno memberi contoh Putusan Hoge Raad tahun 1934. Duduk perkara: seorang pemilik sero (perangkap) ikan menggunakan tali untuk menghubungan sero dengan pelatuk pistol. Jika ada pencuri yang akan mengambil ikan dalam sero tadi, maka tali akan bergerak sehingga melepaskan tembakan. Ketika ada pencuri yang menyentuh sero, dengan sendirinya tali bergerak dan melepaskan tembakan mengenai mata pencuri yang mengakibatkan kebutaan. Hoge Raad menolak pembelaan terpaksa pemilik sero atas dasar Pasal 49 ayat (1) KUHP dengan alasan tidak memenuhi prinsip proporsionalitas[11].
Ketiga, prinsip culpa in causa. Artinya, seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa[12]. Sebagai misal, A menghina B secara lisan. Oleh karena hinaan tersebut, B menghampiri A dan hendak menamparnya. Ketika B hendak menampar A, dengan seketika A memukul B sehingga terjatuh. Tindakan A tidak dapat dikatakan pembelaan terpaksa karena ulah A sendiri yang mengakibatkan B menamparnya.
Selanjutnya terkait kepentingan apa saja yang mungkin diserang sehingga pembelaan terpaksa dibolehkan. Pasal a quo secara tegas menyatakan bahwa serangan tersebut baik terhadap diri sendiri atau orang lain, terhadap kehormatan dan terhadap harta benda. Serangan terhadap diri sendiri adalah dalam Pengertian serangan terhadap nyawa dan atau fisik. Sedangkan serangan terhadap kehormatan yang dimaksud adalah kehormatan dalam kaitannya dengan kesusilaan. Sementara serangan terhadap harta benda termasuk di dalamnya adalah hak keperdataan[13]. Kendatipun demikian, Fletcher membatasi pembelaan terpaksa hanya meliputi nyawa dan tubuh seseorang (… the scope of the defense is likely to be limited to saving one’s own life or limb[14]).
Penulis (Prof. Eddy O.S. Hiariej) tidak sependapat dengan Fletcher atas dasar argumentasi sebagai berikut: Pertama, Pasal 49 ayat (1) secara tegas telah mentukan objek serangan yang boleh dilakukan pembelaan terpaksa. Tidak hanya nyawa dan tubuh semata, melainkan juga kehormatan dan harta benda. Kedua, merujuk pada fungsi melindungi dari hukum pidana, bahwa kepentingan individu yang dilindungi adalah nyawa, kehormatan dalam pengertian kesusilaan dan harta benda.
Pembelaan terpaksa melampaui batas
Kalau pembelaan terpaksa digolongkan sebagai pembenar, maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas merupakan alasan pemaaf. Artinya, elemen dapat dicelanya pelaku dihapuskan. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweerexces terdapat dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan[15]. Ilustrasi penulis (Prof. Eddy O.S. Hiariej) sebagai berikut: seorang Wanita dalam ruangan tertutup hendak diperkosa oleh seorang pria. Pria tersebut sudah berhasil menangkap badan Wanita, namun dengan sekuat tenaga wanita tersebut menedang alat vital pria hingga terjatuh. Tidak berhenti sampai di situ, Wanita tersebut memukulnya dengan benda-benda di sekelilingnya sampai pria tersebut tidak berdaya. Dalam konteks yang demikian secara teoretis Wanita tersebut melakukan dua pembelaan. Pembelaan pertama adalah noodweer dengan cara menendang alat vital pria itu, sedangkan pembelaan kedua adalah noodweerexces, ketika Wanita tersebut memukulkan benda-benda yang ada disekelilingnya kepada pria itu hingga tidak berdaya.
Kedua, orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya drastis untuk membela diri[16]. Ilustrasinya: seorang polisi yang begitu sampai di rumah melihat istrinya diperkosa oleh dua orang perampok. Dengan serta merta, polisi tersebut mengambil pistol yang dibawanya dan langsung menembak ke arah pelaku sehingga mengakibatkan mati. Dalam situasi ini yang timbul sebenarnya adalah noodweer, namun polisi tersebut melakukan pembelaan yang tidak seimbang. Artinya prinsip proporsionalitas dalam pembelaan terpaksa dilanggar sehingga perbuatan polisi yang menembak para pelaku menjadi pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Ada dua syarat untuk dapat menyatakan seseorang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pertama, harus ada situasi yang menimbulkan pembelaan terpaksa seperti yang telah dibahas di atas (Pasal 49 ayat (1) KUHP). Kedua, harus ada kegoncangan jiwa yang hebat akibat serangan tersebut sehingga menimbulkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Menurut Hazewinkel Suringa kegoncangan jiwa yang hebat tidak hanya asthenische affecten berupa kecemasan, rasa takut, atau ketidakberdayaan, tetapi juga sthenische affecten seperti kemarahan, kemurkaan atau ketersinggungan.
Menurut Sudarto, ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pertama, kelampauan batas yang diperlukan. Kedua, pembelaan dilakukan sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat. Ketiga, kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan. Artinya ada hubungan kausalitas antara kegoncangan jiwa dengan serangan. Alasan tidak dijatuhi pidana terhadap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas bukan karena tidak ada kesalahan, namun pembentuk undang-undang menganggap adil jika pelaku yang menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi pidana. Hal ini berdasarkan adagium non tam ira, quam causa irae excusat, artinya tindakan atas suatu serangan yang provokatif, dimaafkan.
Silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H.,M.Hum., 2014, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
[1] Hazewinkel Suringa, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[2] G.A. van Hamel, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[3] Routhledge, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[4] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[5] Jan Remmelink, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[6] Moeljatno, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[7] Hazewinkel Suringa, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[8] H.B. Vos Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[9] J.E. Jonkers, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[10] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[11] Moeljatno, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[12] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[13] D. Simons, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[14] George P. Fletcher, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[15] Jan Remmelink, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[16] Loc. Cit.
Actio Pauliana.
Untuk melindungi hak tuntutan kreditur-kreditur, pasal 1341 KUHPerdata memberikan wewenang kepada setiap kreditur untuk dalam keadaan tertentu mengajukan pembatalan terhadap perbuatan debitur yang tidak diwajibkan yang merugikan kreditur-kreditur.
Gugatan berdasarkan pasal 1341 disebut actio pauliana dengan syarat-syarat:
- Perbuatan tersebut dalam pasal 1341 KUHPerdata, harus merupakan perbuatan hukum.
Terhadap perbuatan nyata, misalnya merusak yang mengakibatkan berkurangnya kekayaan debitur atau perbuatan melawan hukum, tidak dapat dimintakan pembatalan oleh kreditur.
- Bukan merupakan perbuatan hukum yang diwajibkan.
Yang dimaksud dengan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan adalah perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan bukan oleh karena kewajiban yang ditimbulkan oleh undang-undang atau persetujuan.
Pembayaran atas utang yang sudah dapat ditagih merupakan perbuatan hukum yang merupakan kewajiban dari debitur sehingga pembayaran semacam itu tidak dapat diganggu gugat oleh kreditur lainnya, bahkan jika pembayaran terhadap salah seorang kreditur merugikan kreditur-kreditur lainnya.
- Hanya kreditur yang dirugikan berhak mengajukan pembatalan.
Ketentuan undang-undang yang menentukan, bahwa setiap kreditur dapat mengajukan batalnya perbuatan-perbuatan yang merugikan kreditur-kreditur, dapat menimbulkan kesan seolah-olah bahwa kerugian tersebut harus mengenai semua kreditur.
Akan tetapi sebenarnya yang dimaksud oleh undang-undang adalah bahwa seorang kreditur yang menggugat berdasarkan pasal 1341 KUHPerdata, haruslah seorang kreditur yang dirugikan oleh perbuatan-perbuatan hukum daripada debitur.
- Debitur dan pihak ketiga harus mengetahui bahwa perbuatannya merugikan kreditur.
Perkataan “mengetahui” bahwa perbuatan itu merugikan kreditur harus diukur dengan obyektif, yaitu harus diartikan bahwa debitur dan orang dengan siapa ia melakukan perbuatan secara jelas/nyata seharusnya mengerti bahwa perbuatannya merugikan kreditur.
Jadi yang harus mengetahui tidak hanya debitur yang bersangkutan saja tetapi juga pihak yang mengadakan hubungan dengan debitur tersebut.
Sumber:
R. Setiawan, S.H., Pokok-pokok Hukum Perikatan, 1978, Binacipta, Bandung.
Viktimologi
Viktimologi
Viktimologi berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan korban dan atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Perumusan ini membawa akibat perlunya suatu pemahaman, yaitu:
- Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional;
- Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi;
- Sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh unsur struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu.
Viktimologi memberikan Pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan-penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya adalah tidak untuk menyanjung-nyanjung para korban, tetapi hanya untuk memberikan penjelasan mengenai peranan sesungguhnya para korban dan hubungan mereka dengan para korban. Penjelasan ini adalah penting dalam rangka mengusahakan kegiatan-kegiatan dalam mencegah kejahatan berbagai viktimisasi, mempertahankan keadilan sosial dan peningkatan kesejahteraan mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam suatu viktimisasi. Khususnya dalam bidang informasi dan pembinaan untuk tidak menjadi korban kejahatan struktural atau non struktural.
Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam system peradilan pidana.
Menurut J.E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, dalam perkembangannya di tahun 1985 Separovic mempelopori pemikiran agar viktimologi khusus mengkaji korban karena adanya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau bencana alam karena korban bencana alam di luar kemauan manusia (out of man’s will).
Objek studi atau ruang lingkup perhatian viktimologi menurut Arif Gosita adalah sebagai berikut:
- Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalitas.
- Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.
- Para peserta yang terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas. Seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim pengacara dan sebagainya.
- Reaksi terhadap viktimisasi criminal.
- Respon terhadap suatu viktimisasi kriminal: argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-usaha prevensi, represi, tindak lanjut (ganti kerugian) dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan.
- faktor-faktor viktimogen/kriminogen.
Tujuan viktimologi dikatakan Muladi adalah:
- menganalisis perbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
- berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; dan
- mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.
Pengertian Korban
Mengenai Pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Menurut Mandelsohn, berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi lima macam, yaitu:
- yang sama sekali tidak bersalah;
- yang menjadi korban karena kelalainnya;
- yang sama salahnya dengan pelaku;
- yang lebih bersalah daripada pelaku;
- yang korban adalah satu-satunya yang bersalah.
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu:
- nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
- Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
- Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
- Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
- False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
Hak-hak Korban
Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan bahwa korban berhak untuk:
Ayat (1)
- Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
- Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
- Memberikan keterangan tanpa tekanan.
- Mendapat penerjemah.
- Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
- Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus.
- Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan
- Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan.
- Dirahasiakan identitasnya.
- Mendapat identitas baru.
- Mendapat tempat kediaman sementara.
- Mendapat tempat kediaman baru.
- Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
- Mendapat nasihat hukum.
- Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir, dan/atau
- Mendapat pendampingan.
Ayat (2)
Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Ayat (3) selain kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
Sumber:
- Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta.
- Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo., Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.