Eksepsi Pada Prosedur Hukum Acara Pidana di Indonesia
Eksepsi
Pengertian eksepsi atau exception adalah:
- Tangkisan (plead) atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap “materi pokok” surat dakwaan.
- Tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat “formal” yang melekat pada surat dakwaan.
Dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP, definisi eksepsi tidak dirumuskan secara jelas. Istilah yang digunakan adalah “keberatan”. Kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberi hak untuk mengajukan keberatan. Pengertian keberatan yang disebut dalam pasal ini, lebih dekat pengertiannya dengan objection dalam system Common Law, yang berarti perkara yang diajukan terhadap terdakwa mengandung tertib acara yang improper (tidak tepat) atau illegal (tidak sah).
Saat Mengajukan Eksepsi
Jika diperhatikan Pasal 156 ayat (1), pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas alasan “formal” oleh terdakwa atau penasihat hukum adalah “hak” dengan ketentuan:
- Prinsipnya harus diajukan pada “sidang pertama”;
- Yakni “sesaat” atau “setelah” penuntut umum membaca surat dakwaan;
- Apabila pengajuan dilakukan di luar tenggang yang disebutkan, eksepsi tidak perlu ditanggapi penuntut umum dan Pengadilan Negeri, kecuali mengenai eksepsi kewenangan mengadili yang disebut dalam Pasal 156 ayat 7.
Prinsip ini disimpulkan dari ketentuan pasal 156 ayat 2 yang menegaskan: jika hakim menerima keberatan terdakwa atau penasihat hukum maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Berarti proses pengajuan keberatan berada antara tahap pembacaan surat dakwaan. Pemeriksaan materi pokok perkara dihentikan apabila keberatan diterima. Sebaliknya pemeriksaan materi pokok perkara diteruskan langsung apabila keberatan ditolak.
Klasifikasi Eksepsi
Ada beberapa klasifikasi eksepsi yang terdapat dalam praktek peradilan, akan tetapi dalam artikel ini hanya dibahas beberapa di antaranya.
- Eksepsi Kewenangan Mengadili
Disebut “eksepsi tak berwenang” mengadili atau exception of incompetency (exception van onbevoegheid), dalam arti Pengadilan yang dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili, yang diklasifikasikan sebagai berikut:
- Tidak berwenang secara absolut.
Munculnya persoalan kewenangan absolut mengadili (absolute competence), sebagai akibat Pasal 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang telah menetapkan dan membagi “yurisdiksi substantif” untuk setiap lingkungan peradilan pada satu segi dan pada segi lain disebabkan faktor pembentukan jenis peradilan khusus yang kewenangannya secara absolut diberikan kepada peradilan khusus tersebut (seperti peradilan anak).
- Tidak berwenang secara relatif.
Disebut kewenangan relatif mengadili perkara (relative competence) di dasarkan pada faktor “daerah hukum” atau “wilayah hukum” suatu Pengadilan.
Setiap Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, terbatas daerah atau wilayah hukumnya. Patokan menentukan batas daerah atau wilayah hukum pada dasarnya disesuaikan dengan sistem pemerintahan Tingkat I (provinsi) dan Tingkat II (Kabupaten atau Kotamadya).
Landasan dasar untuk menentukan kewenangan mengadili setiap Pengadilan Negeri atau sesuatu tindak pidana yang terjadi, merujuk pada ketentuan:
- Pasal 84 ayat 1 KUHAP: Locus delicti/tempat kejadian perkara;
- Pasal 84 ayat 2 KUHAP: Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan;
- Pasal 85 KUHAP: kewenangan atas “penunjukan” Menteri Kehakiman;
- Pasal 86 KUHAP: Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasar undang-undang atas tindak pidana yang dilakukan di luar negeri.
Perlu diingat eksepsi kewenangan relatif pada prinsipnya diajukan pada peradilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri. Namun tidak mengurangi hak terdakwa atau penasihat hukum mengajukan kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding dengan jalan memasukkan dalam memori banding.
Malahan, oleh karena kewenangan mengadili merupakan ketentuan yang bersifat “aturan publik” (public order), Pengadilan Tinggi secara ex officio berwenang memeriksa dan menilai apakah Pengadilan Negeri melanggar prinsip kompetensi relative dalam mengadili perkara yang bersangkutan, meskipun hal itu tidak diajukan sebagai eksepsi dalam peradilan tingkat pertama. Penerapan yang demikian, tidak semata-mata berdasar alasan publik tetapi juga berdasar kehendak yang terkandung dalam Pasal 156 ayat (7) KUHAP, yang memberi fungsi ex officio bagi hakim memeriksa dan memutus mengenai kompetensi meskipun hal itu tidak diajukan sebagai keberatan (eksepsi).
- Eksepsi Kewenangan Menuntut, Gugur
Eksepsi lain yang tidak disebut dalma Pasal 156 ayat 1 KUHAP, tetapi ditemukan dalam ketentuan perundang-undangan lain, antara lain dalam KUHP, adalah eksepsi yang menyatakan “kewenangan” penuntut umum untuk menuntut “hapus” atau “gugur”. Hapus atau gugurnya kewenangan penuntutan disebabkan faktor tertentu yang disebut dalam ketentuan pasal yang bersangkutan.
Mengenai jenis eksepsi ini, yang terpenting di antaranya:
- Exception judicate atau nebis in idem (Pasal 76 KUHP). Faktor yang menghapus kewenangan penuntutan dalam eksepsi ini: tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, telah pernah di dakwakan, diperiksa dan diadili serta putusannya: Telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan Putusannya bersifat positif, yakni dipidana atau dibebaskan maupun dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
- Exception in tempores (Pasal 78 KUHP). Penuntutan tindak pidana yang diajukan kepada terdakwa melampaui tenggang batas waktu yang ditentukan undang-undang (that the time priscribed by law for bringing such action or offence has expired). Seperti diketahui, Bab VIII KUHP, mulai dari Pasal 78-82 telah mengatur sistem penerapan kedaluwarsa penuntutan pidana.
- Terdakwa meninggal dunia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 77 KUHP, kewenangan menuntut pidana “hapus” atas alasan terdakwa/tertuduh “meninggal dunia”.
- Eksepsi Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima
Patokan untuk mengajukan eksepsi atau menjatuhkan putusan dengan amar: menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, apabila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau yang diminta ketentuan undang-undang. Ke dalam kelompok ini antara lain dapat dikemukakan:
- Eksepsi pemeriksaan penyidikan tidak memenuhi syarat ketentuan Pasal 56 ayat 1 KUHAP. Pasal 56 ayat 1 menggariskan Miranda Rule yang menegaskan, setiap penuntutan atau persidangan, tersangka atau terdakwa di dampingi penasihat hukum, ketentuan ini merupakan “syarat yang diminta” undang-undang apabila tindak pidana yang disangkakan atau di dakwakan, diancam dengan pidana mati atau pidana 15 tahun atau lebih atau bagi yang tidak mampu dan diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Pasal 56 ayat 2 KUHAP: setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Apabila ketentuan Pasal 56 ayat 1 tidak dipenuhi, dianggap pemeriksaan tidak memenuhi syarat yang diminta undang-undang, yang berakibat “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima” (MA No. 1565 K/Pid/1991, 16 September 1993).
- Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi syarat Klacht delict. Tindak pidana yang didakwakan “delik aduan” (klacht delict), tetapi ternyata penuntutannya kepada terdakwa “tanpa pengaduan” dari “korban” atau dari orang yang disebut dalam pasal delik yang bersangkutan atau tenggang waktu pengaduan yang digariskan Bab VII (Pasal 72-75 KUHP, tidak dipenuhi, oleh karena itu syarat yang diminta atau ditentukan undang-undang tidak dipenuhi oleh penyidik dan penuntut umum (tidak ada pengaduan). Berarti tuntutan penuntut umum terhadap terdakwa, tidak memenuhi syarat undang-undang, sehingga tuntutan untuk meminta pertanggung jawaban pidana kepada terdakwa “tidak dapat diterima”.
- Eksepsi Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Eksepsi ini dikonstruksi dari ketentuan Pasal 67 KUHAP, yang memperkenalkan bentuk putusan Pengadilan Negeri “lepas dari segala tuntutan hukum” atau onslag van rechtvervolging.
Selanjutnya apa yang disebut dalam Pasal 67 tentang eksepsi ini, dipertegas lagi dalam Pasal 191 ayat 2 KUHAP, yang memberi patokan tentang arti putusan “lepas dari segala tuntutan hukum”, yakni “jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi tidak merupakan sesuatu tindak pidana.
Dalam praktek, pada umumnya yang sering menjadi dasar untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apabila tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa “perdata” sehingga apa yang didakwakan pada dasarnya termasuk “sengketa perdata” yang harus diselesaikan melalui proses peradilan perdata.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Yahya Harahap, S.H., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Dharma Na Gara
Latest Posts
Hak Tersangka dan Terdakwa
Hak Tersangka dan Terdakwa KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 50 KUHAP 1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh...
Rekam Medis
Rekam Medis Dokter yang menjalankan praktek kedokteran wajib membuat suatu catatan yang harus dibuat dengan segera setelah pasien menerima pelayanan....