Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
Pengertian alat bukti:
Alat bukti (bewijsmiddel) bermacam-macam bentuk dan jenis, yang mampu memberi keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Alat bukti mana diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugat atau dalil bantahan. Berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Macam-macam alat bukti dalam perkara perdata
Berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUHPerdata, maka di Indonesia dikenal 5 (lima) macam alat-alat bukti utama dalam perkara perdata, yaitu:
- Bukti Surat;
- Bukti Saksi;
- Persangkaan;
- Pengakuan;
- Sumpah.
Ad. 1 Alat Bukti Surat Diklasifikasikan Menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
A. Surat Biasa
Pada prinsipnya surat biasa ini dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti. Akan tetapi, apabila kemudian hari surat tersebut dijadikan alat bukti di persidangan maka hal ini bersifat insidental (kebetulan) saja. Contohnya terhadap surat-surat cinta, surat-surat sehubungan dengan korespondensi dagang, buku catatan penggunaan uang dan sebagainya.
B. Akta Otentik
Mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (Hakim, Notaris, Juru-sita, Pegawai Catatan Sipil, dll) yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat.
Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat berwenang yang disebut pejabat umum. Dengan catatan yang membuatnya pejabat yang cakap atau berwenang dan bentuk/isinya tidak cacat.
Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Akta Otentik yakni kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende).
Konkretnya, akta otentik dibuat memang sengaja untuk pembuktian. Karena bersifat untuk pembuktian maka akta otentik berdasarkan ketentuan pasal 1868 KUH Perdata dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: pertama, akta yang dibuat oleh pegawai umum. Akta jenis ini lazim disebut dengan istilah-istilah: akta pejabat, acte ambtelijk, relaas akta atau procesverbaal acte. Misalnya akta yang dibuat oleh Notaris, Camat, Panitera, Surat Panggilan Jurusita, Putusan Hakim dan sebagainya merupakan akta otentik yang dibuat oleh pegawai umum. Kedua, akta yang dibuat di hadapan pegawai umum. Akta jenis ini lazim disebut dengan istilah, akta partai atau Acte Partij. Pada prinsipnya dalam aspek pembuatannya maka akta partai inisiatif ada pada para pihak untuk membuatnya dan pegawai umum hanya mendengarkan, menyaksikan dan meletakkan perjanjian tersebut. Misalnya akta yang dibuat di hadapan Notaris tentang suatu perjanjian (sewa-menyewa, jual-beli dan sebagainya).
C. Akta di Bawah Tangan
Pengertian akta di bawah tangan merupakan akta yang tidak dibuat oleh dan dihadapan pegawai umum yang berwenang membuatnya, atau tegasnya, sebagaimana intisari pasal 1874 KUH Perdata, akta di bawah tangan dibuat oleh para pihak sendiri tanpa bantuan pegawai umum. Misalnya: Kuitansi, perjanjian utang-piutang, surat perjanjian sewa menyewa, surat pernyataan, register, surat-surat urusan rumah tangga dan sebagainya.
Daya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik.
Ad. 2 Alat Bukti Saksi:
Mengenai alat bukti saksi pada dasarnya diatur dalam Pasal 139-152, Pasal 162-172 HIR, Pasal 165-179, Pasal 306-309 RBg dan Pasal 1895, Pasal 1902-1908 KUH Perdata.
Esensi terpenting dari alat bukti saksi bahwa secara umum setiap peristiwa dapat dibuktikan dengan kesaksian, kecuali tegas-tegas undang-undang menentukan lain. Eksepsional hal ini Nampak misalnya pada perjanjian pendirian perseroan firma di antara persero firma itu sendiri harus dibuktikan dengan suatu akta notaris (Pasal 22 KUHD).
Terhadap person sebagai saksi maka pada asasnya semua orang yang telah dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) dapat menjadi saksi dan bahkan diwajibkan memberi kesaksian apabila diminta.
Sehubungan dengan kewajiban seseorang untuk menjadi saksi maka ada beberapa ketentuan yang mengatur orang yang tidak dapat di dengar sebagai saksi dan dapat menolak serta diminta untuk dibebaskan memberi kesaksian sebagaimana dirinci dalam ketentuan Pasal 145, 146 HIR, Pasal 172, 173, 174 RBg dan Pasal 1909, 1910 KUH Perdata dan beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yakni:
Orang-orang yang tidak dapat di dengar keterangannya sebagai saksi adalah:
- Keturunan lurus yang terikat dalam hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan salah satu pihak berperkara. Hal ini ditegaskan pula sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 84 K/Sip/1973 tanggal 25 Juni 1973 dalam perkara: Karsilah lawan 1. Murati, 2. Baeah dan 3. Wari.
- Suami dari salah satu pihak berperkara walaupun mereka telah bercerai. Hal ini pararel dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 140 K/Sip/1974 tanggal 6 Januari 1976 dalam perkara: 1. Ni Tanjung alias Ni Bukit, 2. Bukit al. I Daha lawan I Ngayus; dan
- Anak-anak yang tidak di diketahui dengan pasti apakah mereka telah berusia genap lima belas tahun dan orang-orang sakit gila walaupun mereka sekali-kali dapat berpikir secara waras. Aspek ini ditegaskan pula dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1409 K/Sip/1975 tanggal 12 Mei 1976 dalam perkara: 1. Umi Kalsum dkk., lawan Roekijah dan H. Maskur dkk.
Akan tetapi dalam perkara tertentu mereka cakap menjadi saksi, meskipun pihak-pihak yang berperkara terdiri dari keluarga sedarah atau semenda maupun suami atau istri. Hal ini diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUHPerdata dan aturan lain.
Orang-orang yang dapat minta dibebaskan/dapat menolak sebagai saksi, yaitu:
- Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak berperkara.
- Keluarga keturunan lurus serta saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak berperkara dan
- Semua orang berdasarkan kedudukannya, usahanya atau jabatannya yang sah berkewajiban memegang rahasia akan tetapi semata-mata tentang pengetahuan yang karena kedudukan, usaha atau jabatan tersebut telah dipercaya kepada mereka.
Pada dasarnya apabila seseorang menjadi saksi dalam perkara perdata maka yang diterangkan hanyalah terbatas kepada apa yang di lihat, di dengar atau di alami sendiri. Kemudian tiap-tiap kesaksian tersebut haruslah disertai dengan alasan-alasan tentang apa sebabnya, bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan tersebut.
Ad. 3 Alat Bukti Persangkaan (Vermoedens)
Eksistensi alat bukti persangkaan yang lazim dalam doktrina disebut dengan istilah “vermoedens” atau “presumptions” Nampak terlihat apabila dalam pemeriksaan perkara perdata sukar ditemukan alat bukti saksi yang melihat, mendengar atau merasakan sendiri perkara itu sehingga peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan pembuktiannya melalui persangkaan-persangkaan.
Dari Pengertian Pasal 1915 BW dan praktik peradilan maka ada 2 (dua) macam persangkaan, yaitu:
- Persangkaan menurut undang-undang
- Persangkaan menurut hakim
Ad. 1) Persangkaan menurut undang-undang
Menurut ketentuan Pasal 1916 BW persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Contoh: tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya (Pasal 250 BW). Dalam konteks ini berarti undang-undang menyimpulkan bahwa dari adanya perkawinan maka anak yang lahir selama perkawinan itu ditumbuhkan oleh sang suami.
Ad. 2) Persangkaan menurut Hakim
Identik dengan persangkaan menurut undang-undang maka dalam konteks ini penarikan kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa adalah hakim. Misalnya: dalam perkara permohonan pengangkatan anak di mana si A (pemohon) akan mengangkat anak yang Bernama si B. pada persidangan di Pengadilan Negeri si A menerangkan bahwa anak yang akan diangkat tersebut telah lama dipelihara olehnya. Kemudian dalam persidangan ternyata anak tersebut telah memanggil dengan sebutan “ma” kepada si pemohon. Hal ini memberi persangkaan dan Hakim dapat menarik suatu persangkaan bahwa memang benar anak tersebut telah di pelihara oleh si A (pemohon).
Ad. 4 Alat Bukti Pengakuan (Bekentenis Confession)
Pada dasarnya pengakuan merupakan suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau lisan dari salah satu pihak berperkara di mana isinya membenarkan dalil lawan baik sebagian atau seluruhnya. Jadi konkretnya pengakuan merupakan keterangan sepihak dan untuk itu tidaklah diperlukan persetujuan dari pihak lainnya.
Menurut pandangan doktrina pada asasnya pengakuan (pasal 1923 BW) dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Pengakuan di muka Hakim di Persidangan (Gerechtelijke Bekentenis)
Pengakuan di muka persidangan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs) dan mengikat yang bersangkutan atau dengan perantaraan seorang yang khusus di kuasakan untuk itu (Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg dan Pasal 1925 BW). Dalam konteks ini berarti bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang diakui sebagai benar dan mengabulkan gugatan berdasarkan atas dalil-dalil tersebut.
b. Pengakuan di luar Sidang
Pengakuan di luar sidang adalah lawan atau kebalikan dari pengakuan dalam persidangan atau di muka hakim yang digariskan Pasal 1925 BW dan Pasal 174 HIR. Berupa pengakuan atau pernyataan “pembenaran” tentang dalil gugatan atau bantahan maupun hak atau fakta, namun pernyataan itu disampaikan atau diucapkan di luar sidang pengadilan.
Dalam praktik pengakuan di luar sidang dapat dilakukan dengan bentuk tertulis atau lisan dan diatur dalam pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg dan Pasal 1927-1928 BW.
Dalam praktik dan menurut ilmu pengetahuan hukum maka selain 2 (dua) macam pengakuan tersebut maka dikenal pula adanya 3 (tiga) macam pengakuan lainnya, yaitu:
- Pengakuan murni (Aveu pur et Simple): pengakuan murni ini sifatnya adalah sederhana dan pada pokoknya membenarkan semua dalil lawan (Penggugat).
- Pengakuan dengan kualifikasi (Gequaliceerde Bekentenis/Aveu Qualifie): pada pokoknya pengakuan dengan kualifikasi merupakan pengakuan-pengakuan disertai penyangkalan sebagian dari dalil lawan.
- Pengakuan dengan klausula (Geelausuleerde Bekentenis/Aveu Complexe): pada dasarnya pengakuan berklausula diberikan dengan melakukan keterangan tambahan yang sifatnya membebaskan.
Ad. 5 Alat Bukti Sumpah
Pengertian sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan:
- Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu takut atas murka Tuhan, apabila dia berbohong;
- Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.
Alat bukti sumpah dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
- Sumpah Pemutus
Dalam praktik, sumpah pemutus lazim disebut dengan istilah-istilah: “sumpah menentukan”, “sumpah dicisoir” atau “decisoir eed” yang diatur dalam Pasal 156 HIR, Pasal 183 RBg dan Pasal 1930-1939 KUHPerdata. Adapun maksud esensial dari sumpah pemutus adalah sifatnya untuk memutus perkara (litis decisoir), dibebankan hakim kepada salah satu pihak atas dasar permintaan lawannya karena tiadanya alat bukti.
- Sumpah Pelengkap
Sumpah pelengkap atau lazim disebut dengan istilah-istilah: “sumpah penambah”, “sumpah supletoir” atau “supletoire eed”. Sumpah ini diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 RBg dan Pasal 1940 KUHPerdata dan diperintahkan hakim kepada salah satu pihak apabila hanya ada sedikit bukti terhadap gugatan penggugat atau untuk menguatkan kebenaran bantahan tergugat, akan tetapi bukti tersebut belumlah cukup dan tidak ada kemungkinan menambah bukti yang belum lengkap itu dengan bukti lain untuk menyempurnakan pembuktian tersebut. Dalam hal seperti itu hakim karena jabatannya (ambthalve) dapat membebankan pihak yang sebelumnya ada permulaan pembuktian untuk mengucapkan sumpah pelengkap/tambahan agar perkara dapat diputus.
- Sumpah Penaksir
Dalam praktik lazim sumpah penaksir disebut dengan istilah-istilah: “sumpah taxatoir”, “aestimatoire eed”, “waarderingseed” atau “schattingseed”, yaitu sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya kepada penggugat (penggugat dalam konvensi/tergugat dalam rekonvensi) untuk menentukan besarnya jumlah uang pengganti kerugian. Pembebanan sumpah penaksir kepada penggugat dilakukan secara selektif dalam artian bahwa haruslah tidak ditemukan cara lain untuk menentukan besarnya tuntutan jumlah ganti kerugian dan hakim dapat menetapkan plafon jumlahnya (Pasal 1942 KUHPerdata).
Keterangan Ahli (Deskundigenbericht)
Esensi pokok dari keterangan ahli adalah memberikan pendapat terhadap hal-hal yang diajukan kepadanya sesuai dengan keahliannya dan bertujuan untuk memperjelas duduknya perkara.
Ada juga beberapa bukti seperti email, tangkapan layar, video dan foto dan lain-lain yang diatur dalam Undang-undang Informasi dan transaksi elektronik.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan konsultasikan permasalahan anda dengan kami.
Sumber:
Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., 2005, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Yahya Harahap, S.H., 2008, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
Dharma Na Gara
Latest Posts
Hak Tersangka dan Terdakwa
Hak Tersangka dan Terdakwa KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 50 KUHAP 1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh...
Rekam Medis
Rekam Medis Dokter yang menjalankan praktek kedokteran wajib membuat suatu catatan yang harus dibuat dengan segera setelah pasien menerima pelayanan....