Pembelaan Terpaksa dan Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam KUHP diatur pada Pasal 49 ayat (1) yang menyatakan, “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”. Kendatipun dalam Memorie van Toelichting tidak ditemukan istilah “Pembelaan Terpaksa” namun ketentuan Pasal 49 ayat (1) secara implisit memberikan persyaratan terhadap pembelaan terpaksa.
Pada awalnya, pembelaan terpaksa tidak dikenal karena didasarkan pada postulat di zaman kuno yang menyatakan, vim vi repellere licet. Artinya, kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan[1]. Dalam perkembangannya adagium ini sudah ditinggalkan dalam rangka menegakkan ketertiban umum. Demikian pula prinsip moral dalam proses pidana (non scripta sed nata lex)[2], tidak selayaknya orang yang melakukan pembelaan terpaksa dijatuhi pidana. Esensi dari pembelaan terpaksa adalah pelaku melakukan tindakan untuk menghindari kejahatan yang lebih besar atau menghindari bahaya yang mengancam[3]. Pembelaan terpaksa adalah alasan pembenar yang menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan. Necessitas excusat aut extenuate delictum in capitalibus, quod non operator idem in civilibus. Artinya, pembelaan terpaksa membebaskan seseorang dari hukuman namun tidak demikian dalam perkara perdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP, ada beberapa persyaratan pembelaan terpaksa. Pertama, ada serangan seketika. Kedua, serangan tersebut bersifat melawan hukum. Ketiga, pembelaan merupakan keharusan. Keempat, cara pembelaan adalah patut[4]. Mengenai persyaratan keempat ini tidak disebut dalam pasal a quo. Perihal persyaratan pertama dan kedua, ongeblikkelijke wederrechtelijke aanranding atau serangan seketika yang melawan hukum, paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dipilah. Apa yang dimaksud dengan serangan? Apa yang dimaksud dengan seketika? Dan apa yang dimaksud dengan melawan hukum?
Pengertian serangan dalam pasal a quo adalah serangan nyata yang berlanjut, baik terhadap badan, martabat atau kesusilaan dan harta benda[5]. Sedangkan Pengertian seketika, yaitu antara saat melihat adanya serangan dan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada selang waktu yang lama. Tegasnya, begitu terjadi serangan, seketika ada pembelaan[6]. Sementara Pengertian melawan hukum adalah serangan yang bertentangan atau melanggar undang-undang[7].
Perhatikan ilustrasi berikut: A memukul B dengan sekuat tenaga dan hanya dalam satu kali pukulan mengenai muka B sehingga B terjatuh, A kemudian berbalik dan meninggalkan B. ketika A berbalik, B kemudian berdiri dan memukul A. tindakan B tidak termasuk dalam pembelaan terpaksa. Argumentasinya: Pertama, A telah menghentikan serangan. Artinya, serangan itu tidak berlanjut. Kedua, tidak ada pembelaan seketika dari B saat A memukulnya.
Contoh lain: X menunggu Y yang sedang berada di dalam kelas. Niat X adalah untuk menganiaya Y saat keluar dari kelas. Y diberitahu oleh Z, bahwa kalau ia keluar kelas, X berniat menganiayanya. Ketika Y keluar dari kelas, dengan seketika Y memukul X. tindakan Y tidak termasuk pembelaan terpaksa karena X yang menunggu Y diluar untuk dianiaya bukanlah suatu serangan nyata.
Bandingkan dengan contoh berikut: C tidak senang dengan D. ketika berjalan di jalan yang sepi, C kemudian menodong D dengan pistol. Seketika D langsung menendang tangan C yang memegang pistol hingga terjatuh. Tindakan D digolongkan pembelaan terpaksa karena C yang menodongkan pistol ke arah D termasuk ancaman serangan.
Perihal serangan Vos memberikan peryataan dan ilustrasi sebagai berikut:
“…. De aanranding kan nog voortduren en verdediging nog toelaatbaar zijn, ook als is het delict, waarin de aanranding bestaat, reeds voltooid. Men kan zeggen, dat de aanranding voortduurt, zolang de aanrander nog binnen het bereik van de aangevallene is, mits natuurlijk verdere benadeling dreight en er du snog iets te verdedigen valt. Voorbeeld: iemand ziet een dief met het gestolen goed weglopen, maar ziet kans hem het voorwerp met geweld te ontrukken, voordat hij buiten zijn bereik is gekomen; er is dan een voltooid delict van diefstal maar verdediging is nog teogelaten”[8].
(Serangan tidak terbatas pada selesainya perbuatan yang merupakan serangan itu. Serangan itu merupakan delik sehingga serangannya tidak terbatas pada selesainya delik. Serangan itu masih berlangsung selama masih ada kemungkinan bahwa penyerang dapat melanjutkan perbuatan-perbuatan merugikan orang yang diserang. Selama masih ada kemungkinan tersebut, maka masih tetap ada keharusan untuk membela diri. Contohnya: seseorang mencuri barang di dalam rumah. Selama pencuri masih berada di dalam rumah, maka masih ada kesempatan bagi yang punya barang untuk merebut Kembali barang tersebut. Selama pencuri masih berada di dalam rumah, maka masih ada serangan).
Berikut adalah persyaratan ketiga pembelaan terpaksa yaitu pembelaan merupakan keharusan. Artinya sudah tidak ada lagi jalan lain untuk menghindar dari serangan tersebut. Misalnya, dalam sebuah ruangan tertutup, S yang berniat membunuh T, tiba-tiba masuk dan mengunci pintu kemudian S dengan pisau yang terhunus mendekati T untuk menusuknya. T kemudian memberikan perlawanan atas tindakan S dengan menggunakan ilmu bela diri yang dikuasainya. Tindakan T termasuk dalam pembelaan terpaksa karena ada serangan seketika yang melawan hukum dan pembelaan tersebut merupakan suatu keharusan. Bandingkan jika S yang berniat membunuh T, kemudian dengan pisau yang terhunuh S mendekati T tetapi keduanya berada di tanah lapang. Disini, T masih bisa menghindar dari S dengan melarikan diri.
Selanjutnya terkait persyaratan keempat bahwa cara pembelaan adalah patut. Terhadap persyaratan keempat, demikian pula persyaratan ketiga di atas, sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dalam alasan penghapus pidana pada umumnya termasuk juga pembelaan terpaksa. Pertama, prinsip subsidaritas. Artinya, tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan lain sehingga pembelaan tersebut harus dilakukan. Tegasnya, pembelaan tidak menjadi keharusan selama masih bisa menghindar[9].
Kedua, prinsip proporsionalitas. Artinya, harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar. Dalam konteks pembelaan terpaksa, delik yang dilakukan untuk pembelaan diri harus seimbang dengan serangan yang dihadapi[10]. Moeljatno memberi contoh Putusan Hoge Raad tahun 1934. Duduk perkara: seorang pemilik sero (perangkap) ikan menggunakan tali untuk menghubungan sero dengan pelatuk pistol. Jika ada pencuri yang akan mengambil ikan dalam sero tadi, maka tali akan bergerak sehingga melepaskan tembakan. Ketika ada pencuri yang menyentuh sero, dengan sendirinya tali bergerak dan melepaskan tembakan mengenai mata pencuri yang mengakibatkan kebutaan. Hoge Raad menolak pembelaan terpaksa pemilik sero atas dasar Pasal 49 ayat (1) KUHP dengan alasan tidak memenuhi prinsip proporsionalitas[11].
Ketiga, prinsip culpa in causa. Artinya, seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa[12]. Sebagai misal, A menghina B secara lisan. Oleh karena hinaan tersebut, B menghampiri A dan hendak menamparnya. Ketika B hendak menampar A, dengan seketika A memukul B sehingga terjatuh. Tindakan A tidak dapat dikatakan pembelaan terpaksa karena ulah A sendiri yang mengakibatkan B menamparnya.
Selanjutnya terkait kepentingan apa saja yang mungkin diserang sehingga pembelaan terpaksa dibolehkan. Pasal a quo secara tegas menyatakan bahwa serangan tersebut baik terhadap diri sendiri atau orang lain, terhadap kehormatan dan terhadap harta benda. Serangan terhadap diri sendiri adalah dalam Pengertian serangan terhadap nyawa dan atau fisik. Sedangkan serangan terhadap kehormatan yang dimaksud adalah kehormatan dalam kaitannya dengan kesusilaan. Sementara serangan terhadap harta benda termasuk di dalamnya adalah hak keperdataan[13]. Kendatipun demikian, Fletcher membatasi pembelaan terpaksa hanya meliputi nyawa dan tubuh seseorang (… the scope of the defense is likely to be limited to saving one’s own life or limb[14]).
Penulis (Prof. Eddy O.S. Hiariej) tidak sependapat dengan Fletcher atas dasar argumentasi sebagai berikut: Pertama, Pasal 49 ayat (1) secara tegas telah mentukan objek serangan yang boleh dilakukan pembelaan terpaksa. Tidak hanya nyawa dan tubuh semata, melainkan juga kehormatan dan harta benda. Kedua, merujuk pada fungsi melindungi dari hukum pidana, bahwa kepentingan individu yang dilindungi adalah nyawa, kehormatan dalam pengertian kesusilaan dan harta benda.
Pembelaan terpaksa melampaui batas
Kalau pembelaan terpaksa digolongkan sebagai pembenar, maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas merupakan alasan pemaaf. Artinya, elemen dapat dicelanya pelaku dihapuskan. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweerexces terdapat dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan[15]. Ilustrasi penulis (Prof. Eddy O.S. Hiariej) sebagai berikut: seorang Wanita dalam ruangan tertutup hendak diperkosa oleh seorang pria. Pria tersebut sudah berhasil menangkap badan Wanita, namun dengan sekuat tenaga wanita tersebut menedang alat vital pria hingga terjatuh. Tidak berhenti sampai di situ, Wanita tersebut memukulnya dengan benda-benda di sekelilingnya sampai pria tersebut tidak berdaya. Dalam konteks yang demikian secara teoretis Wanita tersebut melakukan dua pembelaan. Pembelaan pertama adalah noodweer dengan cara menendang alat vital pria itu, sedangkan pembelaan kedua adalah noodweerexces, ketika Wanita tersebut memukulkan benda-benda yang ada disekelilingnya kepada pria itu hingga tidak berdaya.
Kedua, orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya drastis untuk membela diri[16]. Ilustrasinya: seorang polisi yang begitu sampai di rumah melihat istrinya diperkosa oleh dua orang perampok. Dengan serta merta, polisi tersebut mengambil pistol yang dibawanya dan langsung menembak ke arah pelaku sehingga mengakibatkan mati. Dalam situasi ini yang timbul sebenarnya adalah noodweer, namun polisi tersebut melakukan pembelaan yang tidak seimbang. Artinya prinsip proporsionalitas dalam pembelaan terpaksa dilanggar sehingga perbuatan polisi yang menembak para pelaku menjadi pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Ada dua syarat untuk dapat menyatakan seseorang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pertama, harus ada situasi yang menimbulkan pembelaan terpaksa seperti yang telah dibahas di atas (Pasal 49 ayat (1) KUHP). Kedua, harus ada kegoncangan jiwa yang hebat akibat serangan tersebut sehingga menimbulkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Menurut Hazewinkel Suringa kegoncangan jiwa yang hebat tidak hanya asthenische affecten berupa kecemasan, rasa takut, atau ketidakberdayaan, tetapi juga sthenische affecten seperti kemarahan, kemurkaan atau ketersinggungan.
Menurut Sudarto, ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pertama, kelampauan batas yang diperlukan. Kedua, pembelaan dilakukan sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat. Ketiga, kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan. Artinya ada hubungan kausalitas antara kegoncangan jiwa dengan serangan. Alasan tidak dijatuhi pidana terhadap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas bukan karena tidak ada kesalahan, namun pembentuk undang-undang menganggap adil jika pelaku yang menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi pidana. Hal ini berdasarkan adagium non tam ira, quam causa irae excusat, artinya tindakan atas suatu serangan yang provokatif, dimaafkan.
Silahkan konsultasikan permasalahan anda kepada kami.
Sumber:
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H.,M.Hum., 2014, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
[1] Hazewinkel Suringa, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[2] G.A. van Hamel, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[3] Routhledge, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[4] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[5] Jan Remmelink, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[6] Moeljatno, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[7] Hazewinkel Suringa, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[8] H.B. Vos Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[9] J.E. Jonkers, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[10] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[11] Moeljatno, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[12] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[13] D. Simons, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[14] George P. Fletcher, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[15] Jan Remmelink, Dalam Eddy O.S. Hiariej, 2014.
[16] Loc. Cit.
Dharma Na Gara
Latest Posts
Hak Tersangka dan Terdakwa
Hak Tersangka dan Terdakwa KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 50 KUHAP 1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh...
Rekam Medis
Rekam Medis Dokter yang menjalankan praktek kedokteran wajib membuat suatu catatan yang harus dibuat dengan segera setelah pasien menerima pelayanan....