Perkawinan Dalam Masyarakat Adat Bali
Perkawinan Dalam Masyarakat Adat Bali
Perkawinan termasuk hukum keluarga, hukum keluarga adalah keseluruhan norma-norma hukum, tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum yang dimaksud seperti perkawinan, pengangkatan anak, dll. Hubungan kekeluargaan antara lain berisi kewajiban dan hak dalam kehidupan berkeluarga, seperti kewajiban dan hak anak terhadap orang tua atau sebaliknya.
Eksistensi hukum adat keluarga dalam masyarakat adat Bali masih sangat kuat. Artinya masih diakui dan diikuti oleh masyarakat adat Bali, diluar yang telah diatur oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sistem Kekeluargaan
Sistem kekeluargaan yang berlaku dalam suatu masyarakat adalah kunci untuk dapat memahami persoalan yang menjadi ruang lingkup hukum keluarga, terutama dalam hubungan dengan perkawinan dan waris. Sistem kekeluargaan disini diartikan sebagai cara menarik garis keturunan, sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan.
Sistem kekeluargaan yang belaku dalam masyarakat di Indonesia sangat beragam, disebabkan karena kemajemukan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia, baik dilihat dari etnis, agama, dan lainnya. Faktor inilah yang menyebabkan sulitnya pembentukan hukum keluarga yang bersifat nasional. Secara umum dalam masyarakat Indonesia dikenal tiga sistem kekeluargaan, yaitu:
- Sistem kekeluargaan patrilineal. Berdasarkan sistem ini, keturunan dilacak dari garis bapak, seperti di Batak, Nias, Sumba, Bali.
- Sistem kekeluargaan matrilineal, menurut sistem ini kekeluargaan dilacak dari garis ibu, sehingga anak yang lahir dari perkawinan akan mendapatkan garis kekeluargaan dari garis ibunya. Seperti yang terjadi di Minangkabau, Sumatera Barat.
- Sistem kekeluargaan parental, dalam sistem ini garis keturunan dilacak dari dua pihak (bilateral) yaitu baik dari garis ibu maupun garis bapak, sehingga sistem ini juga disebut sistem kekeluargaan keibu-bapaan. Dianut oleh masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan lainnya.
Masyarakat Adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dengan istilah kapurusa atau purusa. Sebagai konsekuensinya maka dalam suatu perkawinan, si istri akan masuk dan menetap dalam lingkungan keluarga suaminya dan seorang anak laki-laki dipandang mempunyai kedudukan yang lebih utama dibandingkan dengan anak perempuan. Akibatnya pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak laki-laki sering “merasa” belum memiliki keturunan.
Penting juga disebutkan bahwa klan (soroh) dalam masyarakat adat Bali yang cenderung mengarah ke sistem kasta atau wangsa, pada masa lalu sangat mempengaruhi hukum adat di Bali, seperti tercermin dari adanya larangan perkawinan antarwangsa yang disebut asupundung dan anglangkahi karangulu, yang pada tahun 1951 telah dihapuskan.
Sistem perkawinan
Dalam masyarakat adat Bali perkawinan dikenal dengan beberapa istilah seperti pawiwahan, nganten, mekerab kambe, pewarangan, dll. Perkataan “kawin” dalam bahasa sehari-hari disebut nganten dan makerab kambe, yang hakikatnya sama dengan perkawinan sebagaimana diatur dalam undang-undang perkawinan. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Gde Pudja (1975: 15) mengemukakan bahwa perkawinan menurut umat Hindu adalah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami-istri dalam rangka mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak laki-laki dalam rangka menyelamatkan arwah orang tuanya.
Tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu adalah untuk mendapatkan anak (keturunan) guna dapat menebus dosa-dosa orang tuanya. Uraian tentang pentingnya mempunyai anak, dapat diketahui dari ketentuan pasal 161 Buku IX Manawa Dharmasastra. Dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa anak diumpamakan sebagai perahu yang akan mengantar seseorang yaitu roh yang sedang menderita di neraka dan untuk menyelamatkan itu seorang anak dengan segala akibatnya harus mempunyai putra dan bila tidak berputra harus menggantinya dengan anak yang lain. Keluarga yang menderita di akhirat adalah roh-roh leluhur yang terkatung-katung di neraka sebelum dilakukan pitra yadnya oleh cucu atau putranya.
Bentuk Perkawinan
Di atas sudah dijelaskan bahwa sistem kekerabatan yang dianut oleh warga masyarakat adat Bali adalah sistem kekerabatan patrilineal (kapurusa). Sejalan dengan sistem kekerabatan yang dianut, di Bali dikenal adanya dua bentuk perkawinan yaitu perkawinan biasa dan perkawinan nyentana. Bentuk perkawinan nyentana sesungguhnya adalah jalan alternatif yang dapat dilewati oleh pasangan suami istri yang kebetulan hanya dikaruniai anak perempuan saja dan tidak dikaruniai anak laki-laki.
Perkawinan Biasa
Sesuai namanya perkawinan biasa atau nganten biasa, bentuk perkawinan ini paling umum (banyak atau biasa) dilangsungkan oleh warga masyarakat adat Bali. Perkawinan biasa adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan pihak perempuan meninggalkan rumahnya, untuk melangsungkan upacara perkawinan di tempat kediaman suaminya dan kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban (swadharma) orang tua serta leluhur suaminya secara sekala (alam nyata) maupun secara niskala (alam gaib). Perkawinan ini dianggap perkawinan biasa karena dilangsungkan sesuai dengan sistem kekerabatan yang dianut di Bali, yaitu patrilineal (kebapaan).
Dalam perkawinan biasa, anak-anak yang dilahirkan akan mengikuti garis keturunan ayahnya. Umumnya orang Bali-Hindu melangsungkan perkawinan biasa. Oleh karena itu, jarang muncul masalah terkait pelaksanaan bentuk perkawinan ini, baik yang berhubungan dengan cara melaksanakannya, pelaksanaan upacaranya maupun ketika pasangan pengantin menyelesaikan administrasi perkawinan (akta perkawinan) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Perkawinan Nyentana
Selain bentuk perkawinan biasa, dikenal juga bentuk perkawinan nyentana. Perbedaan pokok kedua bentuk perkawinan ini terletak pada status hukum kedua mempelai. Dalam perkawinan biasa, mempelai laki-laki berkedudukan sebagai kapurusa, sedangkan dalam perkawinan nyentana, mempelai wanita yang berkedudukan sebagai kapurusa. Perkawinan nyentana adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam mana pihak laki-laki meninggalkan rumahnya untuk melangsungkan upacara perkawinan di tempat kediaman istrinya dan kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban (swadharma) orang tua serta leluhur istrinya, secara sekala (alam nyata) maupun niskala (alam gaib).
Kalau dalam perkawinan biasa pihak wanita yang meninggalkan keluarganya, sedangkan dalam perkawinan nyentana, justru pihak laki-laki yang meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga istrinya. Bentuk perkawinan ini dipilih dalam hal ada satu keluarga hanya dikaruniai beberapa anak perempuan tanpa dikaruniai anak laki-laki. Dalam keadaan seperti ini, salah seorang anak perempuannya akan dikukuhkan statusnya menjadi “laki-laki”. Anak perempuan yang berstatus laki-laki ini dikenal dengan sebutan sentana rajeg. Kalau seorang sentana rajeg melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang berasal dari keluarga yang terdiri dari beberapa orang anak laki-laki maka dia tidak akan meninggalkan rumahnya dan ikut suaminya, melainkan suaminyalah yang ikut istrinya, untuk kemudian bertempat tinggal tetap di tempat kediaman istrinya. Dalam hal ini suaminya disebut meawak luh (berstatus wanita/predana) sementara istrinya berstatus kapurusa (berstatus laki-laki).
Perkawinan ini dilangsungkan di tempat kediaman pihak istrinya. Oleh karena itu, pada saat perkawinan dilangsungkan, keluarga wanita relatif lebih sibuk dibandingkan dengan keluarga laki-laki. Kesibukan upacara perkawinan termasuk menyelesaikan administrasi perkawinan. Pihak keluarga laki-laki lebih banyak menunggu (madia) atau mengikuti rangkaian upacara sesuai tata urutan penyelenggaraan upacara perkawinan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh keluarga Wanita.
Bentuk perkawinan ini kurang umum dilangsungkan di kalangan orang Bali-Hindu dibandingkan dengan bentuk perkawinan biasa. Dalam arti, hanya dilangsungkan oleh keluarga yang tidak dikaruniai anak laki-laki saja. Oleh karena itu, menjadi masuk akal ketika pada awal diberlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada beberapa keluarga yang melangsungkan perkawinan nyentana, mengalami kesulitan dalam menyelesaikan administrasi perkawinan (akta perkawinan) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, karena perkawinan nyentana yang menempatkan istri sebagai kapurusa (berstatus laki-laki), ternyata tidak sejalan dengan format akte perkawinan seperti yang ditentukan dalam aturan tentang perkawinan.
Syukurnya pihak yang berwenang (dalam hal ini Pemprov. Bali, khususnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kabupaten se-Bali), tidak melaksanakan UU Perkawinan secara murni dan konsekuen, sehingga penyelesaian administrasi perkawinan (akta perkawinan) bagi pasangan yang melangsungkan perkawinan nyentana dapat diselesaikan dengan bijaksana, yaitu dengan cara menambahkan “catatan” dalam akte perkawinan yang menerangkan bahwa “… dan Ni Made Yuliani, S.Sos, berkedudukan sebagai purusa”, masalah selesai.
Mungkin karena adanya perubahan status ini, maka pihak wanita berubah status menjadi meawak muani atau kapurusa dan pihak laki-laki berubah status menjadi meawak luh atau predana, menyebabkan perkawinan ini kurang diminati oleh sebagian kaum laki-laki.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa perkawinan nyentana pada umumnya dilangsungkan oleh keluarga yang tidak dikaruniai anak laki-laki. Perkawinan nyentana dipilih dengan maksud agar segala tanggung jawab dan kewajiban (swadharma) yang harus dilaksankaan oleh keluarga ini ada yang meneruskan. Tetapi dalam beberapa hal, walaupun satu keluarga telah dikaruniai anak laki-laki dan perempuan, masih merasa perlu melangsungkan perkawinan nyentana bagi anak perempuannya. Ini terjadi manakala orang tuanya merasa amat saying kepada anak perempuannya dan calon pengantin laki-laki setuju memilih bentuk perkawinan nyentana.
Perkawinan status seperti disinggung di atas, terkait erat dengan masalah pewarisan di kemudian hari, serta garis keturunan bagi anak-anak yang kemudian dilahirkan. Dalam hal perkawinan biasa, anak-anak yang dilahirkan mengikuti garis ayahnya yang berstatus kapurusa, sementara dalam perkawinan nyentana, anak-anak yang dilahirkan akan mengikuti garis keturunan ibunya, yang berstatus kapurusa. Konsekuensi lain dari perkawinan nyentana adalah, bahwa pihak laki-laki secara hukum dianggap ninggal kedaton atau putus hubungan dengan keluarganya, sehingga segala haknya untuk meneruskan warisan menurut hukum adat Bali juga dianggap gugur.
Perkawinan Matunggu
Mengutip hasil penelitian V.E.Korn dalam bukunya berjudul Het Adatrecht van Bali (1932), Pangkat (1971) mengemukakan bahwa perkawinan matunggu atau ninggonin ialah salah satu bentuk perkawinan di Bali. Bentuk perkawinan ini dipilih apabila si suami tidak bisa membayar uang petukon (harga pembeli) istrinya, karena itu ia terpaksa harus meninggu di rumah si mertua. Disana ia bekerja, biasanya mengerjakan sawah ladang tanpa upah, hingga uang petukon itu dibayar lunas atau diperhitungkan dengan upah atau hasil yang harus menjadi bagian si suami (mertua).
Perkawinan Paselang
Menurut Artadi (2009) perkawinan paselang atau disebut perkawinan ditoroni, adalah bentuk perkawinan yang lazim dilakukan di kalangan Puri Bali, yang tujuannya mencegah terjadinya kacamputan di Puri tersebut. Sebagaimana diketahui, jumlah orang berkasta (golongan Puri) relatif tidak sebanyak orang kebanyakan sehingga sering terjadi, betapa sulitnya mencari jodoh bagi dan untuk anak perempuan tunggal, yang kebetulan mempunyai nasib “sulit jodoh”, sedangkan harta warisan Puri baik immaterial maupun materiil yang harus dipikul sangat banyak, sehingga pelanjut keturunan adalah hal yang mutlak harus ada di puri tersebut. Apabila anak perempuan sulit mencari jodoh, hingga lewat masanya dan kepadanya terbebani kewajiban melanjutkan keturunan di Puri, jalan apapun tidak mungkin, termasuk jalan mengangkat anak, karena si anak perempuan itu belum kawin, sehingga terdapat satu jalan “ekseptional” adalah melakukan perkawinan paselang. Perkawinan paselang adalah perkawinan dengan meminjam (paselang) laki-laki yang sudah kawin dari puri lain untuk kepentingan pembuahan keturunan untuk kelanjutan kewarisan di rumah si perempuan.
Lebih jauh dikemukakan bahwa mengenai tata cara pelaksaan perkawinan paselang tersebut, belum ditemukan penjelasannya. Akan tetapi, putusan Majelis Pengadilan Kerta di Denpasar No. 2/1948 tertanggal 3 Februari 1948. Berhubungan dengan putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 23/Pdt.G/2007/PN. Dps tanggal 18 September 2007 dan dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1042 K/PDT/2008, tanggal 21 Oktober 2008 menyatakan perkawinan paselang adalah sah.
Dalam perkawinan paselang tersebut, diangkat dua orang anak laki-laki secara sah, yaitu anak kandung dari si laki paselang itu dalam perkawinannya dengan istrinya yang lain. Kedua anak laki-laki itu selanjutnya mewaris secara sah di puri yang baru tersebut dan kelanjutan pewarisan tersebut dinyatakan sah oleh yurisprudensi tersebut di atas.
Perkawinan Pada Gelahang
Telah dikemukakan di atas bahwa bentuk perkawinan biasa paling umum dilangsungkan di Bali dan relatif tidak ada masalah baik dalam hubungan dengan upacaranya maupun penyelesaian akte perkawinannya. Bentuk perkawinan nyentana sesungguhnya jalan alternatif yang dapat dilewati oleh pasangan suami-istri yang hanya dikaruniai anak perempuan saja dan tidak dikaruniai keturunan laki-laki. Pertanyaannya, bentuk perkawinan apa yang harus dipilih apabila ada keluarga yang hanya dikaruniai satu anak laki-laki, bermaksud melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang kebetulan juga anak tunggal dalam keluarganya? Atau dalam hal satu keluarga dikaruniai beberapa orang anak tetapi diyakini bahwa hanya seorang di antara anak-anaknya yang mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, karena sesuatu sebab tertentu. Berdasarkan beberapa kasus yang ditemui di beberapa desa pakraman di Bali, keadaan seperti itu diatasi dengan memilih bentuk perkawinan pada gelahang, yang berarti duwenang sareng atau “miliki bersama”.
Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk menyebut bentuk perkawinan pada gelahang seperti perkawinan negen dua (Banjar Pohmanis, Penatih, Denpasar), mepanak bareng (Banjar Kukub Perean, Tabanan, Banjar Cerancam, Kesiman, Denpasar), negen dadua mapanak bareng (Lingkungan Banjar Kerta Buana Denpasar, Desa Adat Peguyangan, Denpasar), nadua umah (Kerambitan, Tabanan), makaro lemah (Desa Pakraman Gianyar, Gianyar), magelar warang (Sangsit, Buleleng dan Melaya, Jembrana). Ada juga yang menyebutnya dengan ungkapan lumayan panjang seperti “Perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit”, seperti yang dikenal di Kerobokan, Denpasar). Dalam ungkapan I Gusti Ketut Kaler (1967), perkawinan ini disebut “perkawinan parental”.
Sumber:
Dr. Wayan P. Windia, S.H.,M.Si, dkk, 2009, Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Denpasar, Udayana University Press.
Dharma Na Gara
Latest Posts
Hak Tersangka dan Terdakwa
Hak Tersangka dan Terdakwa KUHAP/Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 50 KUHAP 1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh...
Rekam Medis
Rekam Medis Dokter yang menjalankan praktek kedokteran wajib membuat suatu catatan yang harus dibuat dengan segera setelah pasien menerima pelayanan....